/   Kabar Seni

JAKARTA, KOMPAS — Susunan terakhir Rancangan Undang-Undang Kebudayaan masih kontroversial. Kontroversi tersebut terlihat misalnya pada sesat pikir konsideran dan beberapa pasalnya, serta memberi peluang terbentuknya semacam badan sensor kebudayaan yang akan membatasi ruang kebudayaan itu sendiri.

”Konsideran tersebut sangat gamblang memperlihatkan dasar dari RUU (Rancangan Undang- Undang) ini adalah pengakuan bahwa kebudayaan Indonesia sangat rentan dan ketakutan terhadap hantu globalisasi yang akan merusak masa depan kebudayaan Indonesia,” kata Ketua Pengurus Koalisi Seni Indonesia Abduh Aziz dalam diskusi RUU Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera, Kamis (3/7), di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Narasumber lainnya anggota Komisi X DPR dari Fraksi PPP Reni Marlinawati, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan, serta Hilmar Farid dari Institut Sejarah Sosial Indonesia.

Abduh Aziz mengutip konsideran RUU Kebudayaan poin C, ”Bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai budaya dalam masyarakat”.

Dari konsideran tersebut, menurut Abduh, terjadi sesat pikir terhadap pengertian kebudayaan. Terjadi pula pengingkaran terhadap sejarah perkembangan kebudayaan yang tetap bertahan dalam pergaulan kebudayaan global hingga hari ini.

Konsideran itu juga menutup diri dari interaksi pergaulan kebudayaan global. Padahal, sejarah perkembangan kebudayaan kita dibangun dari hasil interaksi dan pengaruh kebudayaan global, seperti dari Tiongkok, India, Arab, dan Eropa.

 

Komisi Perlindungan
Adanya peluang terbentuknya semacam badan sensor kebudayaan, menurut Abduh, berpijak pada Pasal 1 Ayat 5, Pasal 4, kemudian Pasal 74 sampai Pasal 82. Pasal-pasal itu mengatur pengelolaan kebudayaan yang berujung pada pembentukan Komisi Perlindungan Kebudayaan yang bertanggung jawab kepada presiden.

”Terbuka kemungkinan komisi ini secara sepihak akan mendefinisikan dan memutuskan kebudayaan yang negatif atau tidak untuk masyarakat,” kata Abduh.

Kacung Marijan mengatakan, pada prinsipnya pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengatur masalah kebudayaan. RUU Kebudayaan dimaksudkan pula untuk melindungi multikultur yang selama ini sudah berkembang di Indonesia.

Reni Marlinawati mengemukakan, sebetulnya saat ini belum ada keputusan paripurna DPR yang menyetujui RUU Kebudayaan. Susunan RUU terakhir pada 22 Januari 2014 belum disetujui sehingga masih sangat terbuka untuk dikoreksi.

Hilmar Farid mengemukakan, institusi-institusi kebudayaan yang ada membutuhkan penguatan. (NAW)

 

Sumber tulisan:
Harian KOMPAS, 04 Juli 2014

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.