/   Kabar Seni

Makassar – Perbincangan mengenai ekosistem musik lokal di Indonesia relatif jarang terjadi. Di Makassar, para pegiat musik, termasuk di antaranya anggota Koalisi Seni, berinisiatif melakukannya dalam Makassar Music Conference yang diadakan pada 17 Agustus 2019. Sebagai bagian dari Prolog Fest, konferensi ini menjadi titik saat pegiat musik kota tersebut berhenti menggerutu dan mulai bergerak sesuai kapasitas dan kehendak masing-masing.

“Untuk konteks Makassar, semestinya kita tidak hanya tahu [bagaimana cara] bermain musik, tapi juga mendiskusikan bagaimana ekosistem musik di Makassar bisa terus berkembang,” ujar Juang Manyala, Program Director Prolog Fest 2019, pada permulaan acara. 

Mengingat membangun ekosistem musik lokal membutuhkan kerja sama berbagai pihak selain pelaku musik, Rusmayani Majid selaku Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Makassar hadir pula untuk membuka acara. Ia berpesan agar hasil konferensi yang berhubungan dengan pemerintah disampaikan agar tercipta kolaborasi. 

Gagasan besar dari Makassar Music Conference adalah mencari tahu siasat berkelanjutan untuk perkembangan ekosistem musik independen di kota Makassar. Untuk menemukan siasat tersebut, benang merah ditarik dari tiga subtema yang dibahas: infrastruktur musik, musik di era digital, serta musik dan lokalitas. Tiap subtema dibedah mulai dari masalah yang sedang dihadapi, hal yang ingin diwujudkan, serta komitmen antarpihak untuk berkolaborasi mewujudkannya.

Terkait infrastruktur musik, sejumlah tantangan dihadapi pegiat musik Makassar. Mulai dari mahalnya ongkos rekaman, kurangnya kualitas dan kuantitas studio rekaman, hingga absennya dukungan dana dan ruang bagi pemusik yang ingin menampilkan karyanya. Peserta diskusi kemudian membahas pentingnya advokasi ke pemerintah lokal agar mereka mendukung sektor musik.

“Advokasi perlu dilakukan untuk terus mengawal apa yang kita ingin wujudkan bersama,” ucap Oming Putri, Koordinator Manajemen Pengetahuan Koalisi Seni, yang ikut terlibat mendampingi proses persiapan konferensi ini.

Zulkhari Burhan dari Kedai Buku Jenny berpendapat serupa. “Selama ini kita sering mengabaikan pemerintah, menganggap mereka bukan bagian penting dari proses berkarya kita. Padahal, permasalahan yang kita tuliskan bersama ini kebanyakan ditujukan pada pemerintah. Artinya, kita harus membangun relasi baik dengan pemerintah untuk perlahan-lahan mendisrupsi mereka agar meyakini bahwa ekosistem musik penting bagi kota ini,” tuturnya.

Saat membahas musik di era digital, peserta mendiskusikan potensi maupun tantangan mereka. Digitalisasi berpotensi menjangkau lebih banyak orang, namun masih ada kebingungan dalam mengemas musik sebagai konten di platform digital para musisi. Sementara itu, perbedaan kualitas antara musik saat dipublikasikan di internet dengan saat dimainkan di panggung juga memicu perdebatan hangat: apakah harus sama, atau beda pun tak apa. Abdul Chaliq DP mengingatkan, upaya merambah ranah digital ini hanya akan berbuah baik jika  musisi lokal paham mengenai aspek legalitas dan hak akan karya mereka.

Dari segi lokalitas, hadirin membahas cara gagasan lokal dapat menjadi inspirasi dalam bermusik. Mereka sepakat tidak ada pakem dalam merepresentasikan gagasan lokal, serta tidak ada genre maupun alat musik tertentu yang menjadi syarat mutlak untuk melakukannya. Tantangannya adalah ketahanan esensi sebuah gagasan lokal ketika berubah wujud menjadi sebuah karya. Musisi dapat mempertahankan esensi tersebut jika memiliki rasa tanggung jawab dan percaya pada gagasan lokal itu, serta bersandar pada landasan literatur yang kuat.

Artikel ini adalah rangkuman tulisan Wilda Yanti Salam. Tulisan lengkap tersebut akan dimuat di artefact.id.

Tulisan Terkait

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.