/   Kabar Seni

Lahir pada 1989, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) punya rekam jejak panjang. Inilah salah sebuah upaya untuk menegakkan identitas Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan nasional.

Tahun ini sudah tiga puluh kali FKY diselenggarakan. Tapi ajang ini bahkan dapat ditelusuri riwayatnya sejak periode 1970-an. Ketika itu istilah “festival kesenian” belum digunakan, yang ada adalah “pekan kesenian”. Perhelatannya pun berupa pertunjukan sendratari saja. Barulah pada 1989, bersamaan dengan peringatan 40 tahun “Jogja Kembali”, acara tahunan pemerintah DIY ini dimatangkan menjadi festival. Alasannya, penamaan “festival” lebih familiar bagi pengunjung, terutama dari mancanegara. Dengan mengubah bentuknya menjadi festival, rentang waktu acara juga tidak terpatok satu minggu dan mutu acaranya bisa dipantau.

Namun, menginjak abad ke-21, penyelenggaraan yang rutin dan ajeg oleh pemerintah daerah membuat kegiatan ini kehilangan greget. Yang paling mudah terlihat adalah lokasi kegiatan. Sejak awal hingga FKY 24 tahun 2012, lokasinya tidak bergeser dari lingkungan Benteng Vredeburg. Waktu itu mulai dirasakan bahwa, sebagai objek cagar budaya, lokasi ini tidak kondusif lagi bagi sebuah festival. FKY harus berbenah ulang.

Ada tiga orang penggerak yang digaet pemerintah daerah, yakni Setyo Harwanto, Ishari Sahida (Ari Wulu), dan Roby Setiawan. Proses rekrutmen mereka untuk memimpin FKY terjadi tanpa prosedur yang baku. Roby mengaku diajak oleh seorang teman untuk menangani segi artistik festival, tanpa tahu siapa-siapa saja yang akan terlibat. Dengan Setyo dan Ari pun Roby belum pernah kerja bareng sebelumnya. Hal seperti ini memang masih ditemukan di Yogyakarta; suatu hajatan dikerjakan beramai-ramai atas dasar keguyuban.

“Menurutku, FKY sempat tak ‘terlihat’. Ada, tapi tidak sesuai dengan apa yang diinginkan seniman,” ujar Roby Setiawan, Ketua Umum FKY 29 & 30. Roby mulai mengawal pelaksanaan FKY 23 tahun 2013. Dari ketiganya, masing-masing bergantian menjadi Ketua Umum FKY selama dua tahun. Setyo adalah Ketua Umum FKY 25 dan 26, Ari dan Roby meneruskan selama empat pelaksanaan berikutnya.

Banyak hal terkait pengelolaan acara dan internal organisasi yang mereka evaluasi. “Jujur saja, selama satu tahun, kami masih mencari format acara yang tepat. Kami telaah [kembali] 5W1H-nya. Aku sendiri menawarkan soal rebranding,” Roby bercerita. Rebranding penting dilakukan untuk membuat kegiatan ini relevan dengan audiens yang lebih muda.

FKY yang Lebih Muda

Mengubah gaya pengelolaan yang terpola sedemikian lama bukan hal sederhana. Trio Setyo, Ari, dan Robby memutuskan untuk memulai dari gaya komunikasi visual. Anak-anak muda pekerja kreatif di Yogya dilibatkan dalam kepanitiaan, terutama untuk menciptakan karakter visual yang semuda mungkin bagi acara ini.

Hasilnya cukup sesuai dengan ekspektasi. Bandingkan saja desain poster FKY 24 tahun 2012, sebelum ditangani trio ini, menggunakan rona warna kecokelatan, yang sangat kental asosiasinya dengan warna-warna benda seni tradisional Yogyakarta. Karakter yang dipilih sebagai identitas acara adalah wayang kulit, tanpa banyak modifikasi dari bentuk aslinya. Setelah keterlibatan anak-anak muda Yogya, muncul desain karakter-karakter yang lebih dinamis. Simbol yang digunakan sebagai identitas FKY 25 masih diambil dari tradisi Jawa, yakni anyaman. Namun, tampilannya dibuat lebih segar menggunakan warna-warna terang. Mendampingi identitas itu, ada ilustrasi dua perempuan yang sedang menganyam. Perempuan yang satu sudah lanjut usia, sedangkan yang lainnya masih belia, seakan menggambarkan interaksi generasi-generasi berbeda yang saat itu menggerakkan FKY.

Dalam rapat-rapat internal, anak-anak muda juga urun rembuk mengenai strategi komunikasi. Target pengunjung, demografi, wilayah, dan pemilihan saluran komunikasi dirumuskan ulang. Promosi lewat media sosial pun digencarkan. Kebetulan, pada 2013, penggunaan Instagram sedang mulai menghangat. Momen itu mereka gunakan untuk menyasar audiens yang lebih muda.

Langkah berikutnya, lokasi utama FKY 25 dipindahkan ke Plasa Pasar Ngasem, dengan rangkaian acara yang tersebar di seputar wilayah DIY. Titik-titik acara di antaranya adalah Stasiun Tugu, Plengkung Gading, dan Kaki Lima Malioboro. Sejak itu, lokasi utama festival berubah setiap dua tahun. FKY 27 dan 28 di Taman Kuliner Condongcatur, sedangkan FKY 29 dan 30 untuk pertama kalinya menggunakan venue milik swasta, di Planet Pyramid. Pemilihan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan, fasilitas yang memadai, dan aspek-aspek lain yang memudahkan pengunjung. Pada FKY 30, panitia bahkan menyediakan fasilitas yang lebih lengkap seperti ruang laktasi, ruang media, musala, dan arena main anak-anak.

Roby mengaku, awalnya, sejak dilakukannya rebranding, FKY masih dipandang sebelah mata oleh seniman-seniman Yogya. Masyarakat pun belum percaya bahwa FKY dengan konsep baru bisa menyuguhkan sesuatu yang berbeda dari yang sudah-sudah. Belum lagi, saat itu masih ada ganjalan anggaran. “Pada 2013, kami mengakalinya dengan format acara Live Cooking,” tukasnya. Dalam mata acara ini, seniman-seniman diundang bukan untuk pameran, tapi untuk memasak bersama. “Acaranya bersenang-senang. Memasak itu ‘kan simpel dan sederhana. Kami ingin menyapa seniman muda dan tua,” lanjutnya.

Indie Guerillas, Agung Hanafi, Tita Rubi, Steven Buana, dan 14 perupa lainnya diundang untuk meramaikan.  Mereka ditantang untuk menciptakan “karya seni” berupa masakan dari berbagai bahan dan metode. Hasilnya dinilai oleh juru masak profesional, kemudian dibagikan untuk dicicipi para pengunjung. Kegiatan dengan pendekatan seni peristiwa (happening art) ini sukses menarik minat masyarakat.

Satu lagi program baru yang menyegarkan adalah Open Studio. Dalam mata acara ini, perupa-perupa besar dari Yogyakarta membuka studionya untuk publik. Sasaran utamanya adalah pelajar dan mahasiswa, agar mereka kenal dengan karya dan proses kreatif seniman-seniman lokal yang telah berhasil, bahkan di pentas internasional.

Pengelolaan FKY oleh anak-anak muda diakui Gunawan Maryanto sebagai alasan di balik keterlibatannya. Sejak 2014, seniman peran dan penyair yang akrab disapa Cindil ini selalu menjadi bagian gelaran seni-sastra FKY. Saat disinggung mengenai perubahan yang terjadi, ia mengemukakan, “Perubahannya adalah keterkaitan satu bidang seni ke yang lain. Dahulu, setiap bidang berjalan sendiri-sendiri.”

Kini, menurut Cindil, ada satu tema besar acara yang menjadi benang merah. Tema itu kemudian bebas diterjemahkan dalam bidang-bidang seni yang digarap. Diserahi bidang sastra, ia pun menyusun antologi puisi dan mengadakan pertunjukan dengan 15 penyair muda. “Mengapa pertunjukan? Saya mencoba menggabungkan disiplin seni yang lain untuk merepons [sastra],” jelasnya. Imbasnya, seniman-seniman lintas disiplin jadi saling mendukung dan lebih solid.

Seni yang Ramah pada Publik

Pengelola FKY yang baru nampaknya sadar betul sejak awal bahwa audiens berperan penting dalam perkembangan seni. Masyarakat dilibatkan bukan hanya sebagai penonton, melainkan juga bagian dari kegiatan seni. Konsep yang memasyarakatkan seni dan membuatnya ramah terus dikembangkan hingga FKY 30 tahun ini.

Tahun ini komunitas penghayat dari Kulonprogo dilibatkan dalam acara. Agendanya termasuk diskusi tentang kehidupan sehari-hari para penghayat, lokakarya membuat tas bersama mereka, dan memutarkan presentasi tentang mereka dalam program Bioskop FKY. Konsep acara pun dibangun dengan memasukkan corak budaya masyarakat di sekitar lokasi. Di sekitar Planet Pyramid, terdapat berbagai usaha kerajinan sehingga aspek ini ikut ditonjolkan oleh penyelenggara.

Mata acara Sastra FKY pun demikian. Dijelaskan Cindil, sudah dua tahun terakhir Sastra FKY memilih lokasi yang terpisah dari lokasi utama, Planet Pyramid. Dalam FKY 30, yang dipilih adalah Kampung Matraman, di mana ada tanah terbuka yang dikelola masyarakat. Para seniman mengolah materi yang ada, misalnya narasi sejarah kampung tersebut. Selain itu, komunitas Macapat, yaitu komunitas pembaca syair-syair Jawa klasik, dilibatkan di dalamnya.

“Hampir tiap malam ada pertunjukan yang menarik dan ada perasaan saling terhubung. Justru ketika diadakan di kampung dengan lokakarya dari Komunitas Macapat dengan guru-guru TK, peserta jadi membludak,” ungkap Cindil. Apa yang dipaparkan Cindil sejalan dengan pernyataan Roby. Menurutnya, “[Agar] menampung yang tidak tertampung, dipersilakan eksperimen seluas-luasnya. Kami tidak hanya mengundang teman-teman dari Yogya untuk kolaborasi, tapi juga Ponorogo, Gunung Kidul, dan Sleman.”

Jika ditotal, ada lebih dari 4.000 pegiat seni yang turut serta dalam FKY 30. Mereka terdiri atas pelaku seni tradisi, perupa, pelaku seni pertunjukan, seniman sastra dan teater, hingga sineas. Per harinya, pengunjung acara berkisar dari 2.000 hingga 5.000 orang. Bahkan, pernah tercapai angka 6.000 pengunjung dalam satu hari saat FKY 26.

Angka kunjungan sebesar itu menghasilkan dampak ekonomi yang sudah tentu tidak kecil. “Dalam satu hari, [retribusi] parkir bisa dapat Rp8 juta. Kalau FKY 30, selama 18 hari tenant kerajinan dan kreatif bisa dapat [total] Rp900 juta. Kalau [tenant] kuliner, lebih tinggi. Bisa Rp1 miliar sendiri,” Robby memaparkan.

Kekuatan Konten dan Pendekatan Personal

Pengembangan konten acara pada akhirnya menjadi teritori tim independen yang dibentuk Setyo, Ari, dan Robby selama lima kali penyelenggaraan. Tim independen inilah yang melaksanakan pemilihan kurator, pengolahan konten, dan pemilihan panitia. Pemerintah Provinsi DIY sama sekali tidak turun tangan. “Untuk bagian konten, sudah diserahkan semuanya kepada kami,” ujar Roby. Menurutnya, ada mandat langsung kepada tim independen perihal konten.

Meski demikian, tetap ada pendampingan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Kerja pemerintah daerah lebih dominan dalam hal teknis. Soal pawai, contohnya, Dinas Kebudayaanlah yang mengatur kapan dan di mana pawai berlangsung, termasuk perizinan dan protokoler.

Menurut Roby, pengaturan wilayah kerja itu membuat para seniman lebih leluasa bereksperimen. Panitia pun bisa menambahkan berbagai elemen kontemporer, seperti video mapping, dalam konsep acara. Robby mengutarakan, “Dengan segala keterbatasannya, FKY ingin jadi etalase seni budaya yang tak lekang oleh zaman. Konten program sendiri paling hanya 30-40 persen dari acara. Sisanya, produk baru seniman muda.” Tak heran, FKY kemudian menjadi “ibu” dari festival-festival seni lainnya di Yogyakarta. Lahirnya Art|Jog, Yogyakarta Gamelan Festival, dan Yogyakarta Video Mapping Festival merupakan dampak keberhasilan FKY sejak rebranding.

Trio Setyo-Ari-Roby sendiri seperti satu paket yang sulit terpisahkan. Karena berasal dari lingkar seni Yogyakarta, pendekatan personal menjadi kelebihan mereka dalam memimpin. Pendekatan ini juga diakui Cindil lebih efektif dalam pelaksanaan, terutama ketika waktu sudah mepet. “Kami diuntungkan karena sudah saling kenal dan pernah bekerja bareng,” ujar Roby.

Namun, pendekatan personal bukan tanpa kekurangan. FKY telah begitu identik dengan ketiganya hingga banyak pihak yang begitu mengandalkan mereka agar terus memimpin. Cindil pun tak kuasa membayangkan jika FKY dikelola selain oleh trio Setyo-Ari-Robby. Padahal, ini bukan hal ideal untuk sebuah organisasi yang diharapkan terus menghasilkan produk kreatif.

Apalagi, pembenahan internal belum juga usai. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Jangka waktu persiapan adalah yang paling dikeluhkan, setidaknya oleh Cindil. Untuk ajang sebesar itu, idealnya persiapan dilakukan sejak tahun sebelumnya. Pada kenyataannya, panitia diberi waktu hanya kurang lebih tiga bulan. Kaderisasi dan estafet kepemimpinan nampaknya harus mulai menjadi prioritas, demi FKY yang tetap relevan dengan zaman, bahkan hingga tiga puluh kali penyelenggaraan selanjutnya.

 

*Artikel “Wajah Baru Festival Lawas” merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia. Buku bisa dibeli dengan mengirimkan surel ke sekretariat@koalisiseni.or.id.

Tulisan Terbaru

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.