Pada 14 September 2022, Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan. Perpres itu secara resmi mengesahkan dokumen Strategi Kebudayaan yang telah diserahkan pada Presiden Joko Widodo sejak penutupan Kongres Kebudayaan Indonesia pada penghujung 2018. Dengan kata lain, butuh waktu lebih dari empat tahun bagi Presiden untuk mengesahkan Strategi Kebudayaan.
Meskipun terlambat, Koalisi Seni tetap mengapresiasi penerbitan Perpres ini. Sebab, dengan disahkannya Strategi Kebudayaan, Indonesia kini telah merampungkan penyusunan tiga dari empat dokumen pedoman Pemajuan Kebudayaan, yaitu: Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten/Kota, PPKD Provinsi, serta Strategi Kebudayaan. Pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya adalah menyusun Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) berdasarkan Strategi Kebudayaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 UU Pemajuan Kebudayaan.
Sebelum membahas lebih jauh langkah yang harus ditempuh pemerintah selepas Strategi Kebudayaan disahkan, mari terlebih dulu melihat materi Perpres Strategi Kebudayaan.
Perpres Strategi Kebudayaan hanya terdiri atas 5 pasal yang secara umum mengatur peran dokumen Strategi Kebudayaan dalam kerangka pemajuan kebudayaan serta mekanisme peninjauan kembali. Sementara itu, ‘strategi’ Indonesia menjalankan pemajuan kebudayaan, dijabarkan secara komprehensif dalam tujuh lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perpres ini.
Pasal 3 ayat (1) Perpres Strategi Kebudayaan mencatat bahwa Strategi Kebudayaan terdiri atas empat komponen utama, meliputi: (1) Abstrak dari PPKD Kabupaten Kota, PPKD Provinsi, dan dokumen kebudayaan lainnya di Indonesia; (2) Visi Pemajuan Kebudayaan 20 tahun ke depan; (3) Isu strategis yang menjadi skala prioritas untuk mempercepat pencapaian visi; serta (4) Rumusan proses dan metode utama pelaksanaan Pemajuan Kebudayaan. Keempat komponen tersebut dituangkan dalam lampiran satu Perpres Strategi Kebudayaan.
Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (2) Perpres tersebut menyatakan bahwa Strategi Kebudayaan juga dilengkapi beberapa dokumen pendukung, meliputi: (1) Peta perkembangan Objek Pemajuan Kebudayaan; (2) Peta perkembangan faktor budaya di luar OPK; (3) Peta Sumber Daya Manusia, Lembaga, dan Pranata Kebudayaan; (4) Identifikasi Sarana dan Prasarana Kebudayaan; (5) Peta permasalahan terkait Pemajuan Kebudayaan; serta (6) Analisis permasalahan terkait Pemajuan Kebudayaan. Keenam dokumen pendukung itu dituangkan dalam lampiran kedua hingga ketujuh Perpres Strategi Kebudayaan.
Pertanyaannya kemudian, Strategi Kebudayaan seperti apa yang akan digunakan oleh Indonesia? Secara garis besar, jawabannya dapat dilihat dalam lampiran satu Perpres Strategi Kebudayaan. Di situ dijelaskan, visi pemajuan kebudayaan Indonesia untuk 20 tahun ke depan adalah mewujudkan “Indonesia bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdaskan, mendamaikan, dan menyejahterakan”.
Masih dalam lampiran satu, visi pemajuan kebudayaan diturunkan menjadi tujuh isu strategis. Ketujuhnya adalah: (1) Pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang merusak sendi kehidupan sosial dan budaya masyarakat; (2) Meredupnya khazanah tradisi dalam gelombang modernitas; (3) Perkembangan teknologi informatika yang tidak dipimpin oleh kepentingan nasional; (4) Pertukaran budaya yang timpang dalam tatanan global menempatkan Indonesia hanya sebagai konsumen budaya dunia; (5) Belum adanya jalan keluar dari pembangunan yang merusak lingkungan hidup dan berpengaruh negatif terhadap kebudayaan lokal; (6) Belum optimalnya tata kelola dan struktur kelembagaan bidang kebudayaan; serta (7) Desain kebijakan budaya belum menempatkan masyarakat sebagai ujung tombak Pemajuan Kebudayaan.
Visi pemajuan kebudayaan beserta tujuh isu strategis dalam Strategi Kebudayaan yang telah dijabarkan tersebut merupakan resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 yang disusun berdasarkan ratusan PPKD Kabupaten/Kota dan Provinsi, serta berbagai dokumen kebudayaan lainnya. Kini, setelah Strategi Kebudayaan telah disahkan oleh Presiden, pemerintah harus secepatnya beralih ke tahap berikutnya, yaitu penyusunan RIPK.
Sebagaimana disinggung pada awal tulisan, RIPK merupakan dokumen pedoman pemajuan kebudayaan terakhir yang wajib disusun Pemerintah. Nantinya RIPK akan memuat penerjemahan aspirasi masyarakat yang terkandung dalam Strategi Kebudayaan menjadi rencana program kerja Pemerintah. Proses penyusunan RIPK sebenarnya telah dimulai sejak 2019 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sayangnya, proses penyusunannya tidak berlanjut karena tertahan oleh Strategi Kebudayaan yang tidak kunjung disahkan sejak 2018.
Berkaca dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengesahkan Strategi Kebudayaan, RIPK harus segera dirampungkan secara cepat, tanpa mengurangi kualitas proses penyusunannya. Hal itu penting untuk mengejar proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 – 2045. Mengapa? Sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 UU Pemajuan Kebudayaan, RIPK merupakan dasar penyusunan dari rencana pembangunan jangka panjang serta menengah. Para pegiat kebudayaan tentu tidak ingin aspirasi mereka yang tertuang dalam Strategi Kebudayaan gagal menjadi bagian dari RPJPN 2025 – 2045 hanya karena pemerintah lagi-lagi terlampau lamban dalam menyusun kebijakan.
Oleh karenanya, Koalisi Seni berharap pemerintah dapat belajar dari keterlambatan pengesahan Strategi Kebudayaan dan memperbaiki kinerja pembuatan kebijakan kebudayaan agar lebih inklusif, transparan, akuntabel, dan tepat waktu. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan visi pemajuan kebudayaan yang telah dirumuskan dalam Strategi Kebudayaan mampu diterjemahkan dengan baik menjadi RIPK agar dapat diimplementasikan menjadi program nyata. Tidak lupa, Koalisi Seni juga mengajak seluruh pegiat seni budaya untuk terus mengawal proses penyusunan RIPK serta RPJPN agar cita-cita menjadikan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional sebagaimana termaktub dalam UU Pemajuan Kebudayaan dapat terwujud.
Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay
BISA DAPAT KEPRES LENGKAPNYA DIMANA? TERIMA KASIH.