Setelah lima tahun Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK) disahkan, Pemerintah akhirnya meluncurkan Dana Indonesiana. Dana ini diharapkan dapat menjaga nyala api berbagai kegiatan pemajuan kebudayaan di Nusantara. Namun, jika dilihat dengan seksama, masih banyak masalah yang terkandung dalam proses pemajuan kebudayaan dari akar hingga batangnya. Hal ini meliputi penyusunan dokumen pedoman pemajuan kebudayaan yaitu Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).
Sejak pembuatan PPKD pertama kali diamanatkan melalui Peraturan Presiden No 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan (Perpres PPKD), baru 34 PPKD Provinsi dan 393 kabupaten/kota yang memiliki PPKD. Angka ini masih di bawah ekspektasi, mengingat ini sudah masuk tahun kelima implementasi perpres tersebut. Idealnya, seluruh kabupaten, kota dan provinsi telah selesai menyusun PPKD sebelum Strategi Kebudayaan dirumuskan pada KKI 2018. Ekspektasi di atas terbentuk karena menurut UUPK Pasal 13 Ayat 2, Abstrak yang terkandung dalam PPKD Provinsi, Kab/Kota akan digunakan sebagai basis dari Strategi Kebudayaan Daerah, yang merupakan acuan dari Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Tanpa data yang valid, sumber daya objek pemajuan kebudayaan di Indonesia sulit untuk membangun visi yang konkret dalam memajukan kebudayaan ke depannya.
Selain fungsi yang telah tertera sebelumnya, PPKD merupakan dokumen yang penting dalam proses pemajuan kebudayaan, karena merupakan awal dari pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan di level daerah. Dalam kata lain, dokumen inilah yang mendorong urusan seni budaya untuk memiliki basis yang konkret sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres PPKD Pasal 4 yang telah mengamanahkan implementasi pemajuan kebudayaan harus disertai tujuan, sasaran, tahapan kerja, capaian tiap tahapan kerja dan indikator capaian. Dengan begitu, urusan seni tidak bergantung pada perspektif kepala daerah atau pihak pemerintah lainnya, hingga anggaran dapat dialokasikan secara lebih ke dalam urusan seni budaya.
Dari pengamatan di lapangan, terdapat tiga masalah dalam proses penyusunan PPKD. Masalah pertama adalah pemahaman kebudayaan yang belum sejalan dengan perspektif pemajuan kebudayaan. Masalah kedua, proses penyusunan PPKD yang belum sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 46 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (“pedoman penyusunan PPKD”). Selain itu, persoalan lainnya terkait ketersediaan sumber daya, khususnya anggaran dan sumber daya manusia. Perlu kita mengerti, bahwa proses pemajuan kebudayaan yang telah direncanakan sedemikian rupa di level Pemerintah Pusat akan sulit tercapai jika proses tersebut masih bermasalah di level awal. Sesuai dengan UUPK Pasal 9 dan 10 yang telah mengamanatkan bahwa proses ini dilakukan secara berjenjang, yaitu melalui pemerintah daerah yang menjadi pihak pelaksana pemajuan kebudayaan di level kabupaten, kota hingga provinsi. Maka dari itu, penyaringan aspirasi masyarakat dan pendataan objek pemajuan kebudayaan seluas – luasnya oleh pemerintah daerah menjadi sangat penting
Masalah pertama adalah pengertian “pemajuan kebudayaan”. Menurut UUPK, proses pemajuan kebudayaan perlu berasaskan keberagaman dan kelokalan dalam waktu yang bersamaan. Dengan ini, dapat dimengerti bahwa identitas kebudayaan suatu daerah dapat diwakilkan oleh/dari suku, etnis, gender, usia dan kelas yang berbeda-beda pula. Semakin kompleks segmentasi dan demografi suatu daerah, semakin besar pula tantangan untuk mengikutsertakan berbagai lapisan masyarakat yang berbeda dalam proses pembuatan PPKD.
Pedoman penyusunan PPKD telah mengatur pihak mana saja yang dapat menjadi tim penyusunnya. Namun dalam realitanya, aspek perbandingan representasi tim terkait dengan dinamika budaya setempat, luput dipertimbangkan. Hal ini terjadi dalam proses penyusunan PPKD DKI Jakarta, sesuai dengan wawancara yang dilakukan dengan Hikmat Darmawan selaku Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Jakarta yang turut menyusun dokumen PPKD DKI Jakarta pertama.
Dalam kasus DKI Jakarta, dokumen PPKD yang rampung disusun pada 2018 itu tersirat belum mencakup beragam jenis budaya. Kondisi itu tentunya kontraproduktif dengan upaya PPKD untuk mendorong inklusivitas. Ke depannya, penyusunan PPKD kita harapkan merangkul perwakilan masyarakat yang lebih beragam, baik dari latar belakang pendidikan, usia, dan gendernya. Ini penting agar hasil penyusunan PPKD nantinya lebih representatif, serta memperhatikan objek dan kondisi kesenian daerah yang bersangkutan. Dengan konsiderasi ini, diharapkan tidak terjadi penyempitan ruang dan meredupnya jenis kesenian yang kurang mendapatkan perhatian dalam proses pemajuan kebudayaan.
Masalah kedua yang kami temukan adalah proses penyusunan PPKD yang belum sesuai dengan pedoman perumusannya. Riset yang kami lakukan sebelumnya mencatat, seniman masih mengeluh kesulitan dalam mengakses rancangan dokumen PPKD dan berkontribusi dalam proses penyusunan PPKD. Di beberapa daerah pun masih ada PPKD yang terbentuk tanpa forum publik dan proses konsolidasi. Termasuk PPKD Provinsi Riau, seperti dikatakan Aristofani Fahmi selaku perwakilan dari Asosiasi Seniman Riau (ASERI), saat kami wawancarai.
Dalam pertimbangannya, forum publik dan proses konsolidasi memiliki fungsi untuk menjadi sarana pengawasan pemerintah, dan corong suara masyarakat yang tidak tergabung dalam tim penyusun PPKD. Selain itu, forum ini dapat menjadi sarana komunikasi organisasi perangkat daerah (OPD) yang membidangi urusan kebudayaan, dengan pelaku seni budaya untuk merumuskan rekomendasi implementasi pemajuan kebudayaan yang lebih strategis. Karena tak memperhatikan perspektif dari para pemangku kepentingan, banyak perbedaan antara yang tertulis di dalam dokumen dengan realita di lapangan. Dalam PPKD Riau, jumlah pelaku seni dan objek budayanya berbeda dengan kenyataan .
Masalah terakhir yang ditemukan dalam proses pembuatan PPKD adalah ketersediaan sumber daya, khususnya anggaran dan sumber daya manusia. Masalah ini bisa jadi disebabkan oleh terbaginya urusan kebudayaan dengan urusan lain di dalam satu “atap”, seperti dinas pariwisata dan olahraga. Dalam jangka pendek, urusan yang terbagi ini mungkin dapat dilakukan sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dinas terkait di daerah yurisdiksinya. Namun, dalam jangka panjang hal ini dapat mengundang beberapa masalah baru yang dapat menghambat eksekusi pembentukan PPKD.
Masalah ketersediaan sumber daya pertama adalah anggaran. Sesuai dengan Pasal 11 Ayat 3 UUPK, Pemerintah Daerah telah diamanatkan untuk menyisihkan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya untuk urusan pemajuan kebudayaan. Dalam hal ini, struktur dinas kebudayaan yang masih berbagi tempat dengan urusan non kebudayaan dapat mengurangi alokasi dana untuk kegiatan pemajuan kebudayaan. Masalah ini pun ditemukan di Provinsi Riau, yang kekurangan anggaran sehingga melahirkan kendala pendataan objek pemajuan kebudayaan. Pada akhirnya, proses pendataan dilakukan melalui metode survei daring yang minim sosialisasi atas tujuan dan implikasi dari pendataan tersebut. Hasilnya, seniman pun kurang mengerti konsep dari alasan survei tersebut dan aspirasi masyarakat tidak terjaring dengan maksimal dalam PPKD.
Masalah ketersediaan sumber daya kedua adalah SDM. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Dinas Kebudayaan saat ini masih berbagi atap dengan urusan atau bidang lain. Hal ini menyebabkan kurangnya spesialisasi dan perspektif kebudayaan di level daerah. Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tergabung dalam Dinas Kebudayaan daerah sangat mungkin berasal dari OPD non kebudayaan dan tidak memiliki latar belakang maupun pengetahuan yang memadai soal kebudayaan. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan daerah tersebut untuk merancang program terkait budaya yang berkelanjutan.
Berbagai kendala di atas menunjukkan bahwa perlu dilakukan proses pengawasan dan evaluasi PPKD secara berjenjang, yang diawasi oleh menteri di level provinsi dan gubernur di level kabupaten/kota. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi No 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi PPKD (Tata Cara Monev PPKD). Proses ini penting untuk memastikan adanya sinkronisasi antara PPKD dengan pelaksanaan program kebudayaan dalam perencanaan daerah, realisasi anggaran, dan realisasi capaian program bidang kebudayaan.
Hal ini menjadi tugas bagi Kementerian Pendidikan, Riset, Kebudayaan, Riset & Teknologi khususnya Direktorat Jenderal Kebudayaan, untuk melakukan tiga hal. Pertama, untuk mengawal proses monitoring dan evaluasi (monev) tersebut hingga PPKD di level pemerintahan terkecil yaitu kabupaten/kota. Hal ini penting, karena sesuai pasal 20 Tata Cara Monev PPKD, hasil monev akan dirujuk dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Kedua, untuk mempertahankan objektivitas dalam proses monitoring dan evaluasi PPKD karena sejauh ini, tata cara monev PPKD hanya mengikutsertakan pihak-pihak pemerintah tanpa pihak sipil.
Solusi ketiga, adalah untuk terus menggalakkan sosialisasi dan bimbingan teknis (bimtek) terkait penyusunan PPKD bagi Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) yang belum menyusun PPKD. Selain sosialisasi dan bimtek, penggalakan sosialisasi terkait pemutakhiran PPKD juga penting dilakukan bagi daerah yang telah menyusun PPKD. Hal ini dikarenakan dalam rentang waktu PPKD tersusun hingga saat ini, sangat mungkin terjadi perubahan dalam objek pemajuan kebudayaan yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal,. Urgensi pemutakhiran data juga didukung oleh faktor banyaknya PPKD yang dibuat sebelum pandemi Covid- 19. Kondisi itu bisa jadi mempengaruhi situasi di lapangan, yang mungkin tidak lagi sesuai dengan apa yang tercantum dalam PPKD.
Hal ini juga dapat dijadikan sebuah pengingat bagi Kementerian Dalam Negeri, khususnya Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah untuk terus memantau dan mengevaluasi proses penyusunan PPKD yang terjadi di level daerah. Sesuai dengan pasal 5 Tata Cara Monev PPKD, proses monitoring evaluasi PPKD di level daerah akan dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri. Hal ini menuntut sinergi yang terbangun antara kementerian untuk memastikan bahwa proses monitoring dan evaluasi dapat berjalan dengan tertib.
Bagi 115 dari 508 pemerintah kabupaten/kota yang belum merumuskan PPKD, UUPK beserta peraturan turunannya yang meliputi Pedoman Penyusunan PPKD dan Tata Cara Monev PPKD penting dijadikan acuan. Hal itu untuk memastikan keragaman latar belakang tim penyusun dapat mewakili dinamika kebudayaan setempat, menjamin transparansi pendataan dan konsolidasi data di tingkat daerah, hingga menganggarkan sumber daya yang dapat menunjang kegiatan pemajuan kebudayaan pada semestinya. Ketaatan pada ketiga aspek di atas menjadi sangat penting, karena masalah inilah yang kerap muncul dalam proses penyusunan PPKD.
Sejalan dengan semangat implementasi UUPK yang bersifat bottom up, para pegiat budaya juga perlu secara proaktif mendampingi dan mengawasi proses implementasi ini agar cita-cita pemajuan kebudayaan benar-benar mengatasnamakan seluruh kebutuhan masyarakat di tiap daerah dan lapisan. Untuk mempermudah akses terhadap perkembangan PPKD, Koalisi Seni telah meluncurkan fitur baru dalam situs pemajuankebudayaan.id. Dengan sinergi yang terjalin antara pemerintah daerah dan komunitas seni budaya, diharapkan cita-cita pemajuan kebudayaan akan dapat diakselerasi.
Ditulis oleh Aicha Grade Rebecca