Strategi advokasi seni mulai dibicarakan di Semarang. Tepatnya, dalam acara sosialisasi insentif pajak oleh Koalisi Seni Indonesia (KSI) pada 30 November 2014 silam. Sosialisasi ini masuk dalam agenda Festival Kota Masa Depan yang diadakan oleh komunitas kreatif muda Semarang, bernama Hysteria.
Pada awalnya, sosialisasi membahas insentif pajak kesenian dan hasil penelitian Divisi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) terkait pengelolaan anggaran Kemendikbud dan Parekraf. Hafez Gumay dan Annayu Maharani, perwakilan dari KSI, menjadi narasumber hari itu. Sementara, moderator dipegang oleh Adin dari Hysteria.
Diskusi mulai mengarah pada strategi advokasi seni ketika Adin mempertanyakan cara untuk menekan pemerintah agar menjalankan kewajibannya dengan maksimal. Ia mengungkapkan pengalaman pahitnya selama ini ketika menghadiri audiensi di tingkat pemerintah daerah. Ketika meminta audit program seni budaya yang didanai oleh pemerintah, Adin harus kecewa karena pemerintah tak mengabulkan permintaannya. Alasannya, itu urusan internal.
“Pemerintah memang begitu. Kalau membiayai program tidak pernah ada audit program. Mereka lihat angkanya saja. Kalau dananya sudah tersalurkan, ya sudah. Mau programnya bagus atau tidak, mereka biasanya tidak peduli,” ungkap Hafez
Terkait hal ini, Hafez memberikan solusi nyata. Ia mengungkapkan informasi terkait agenda perencanaan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga seniman dapat mengawasi kerja pemerintah. Bahkan, tidak hanya mengawasi, seniman pun bisa mengajukan permintaan dana untuk kegiatan seni budaya. Syaratnya satu: seniman harus mengajukannya setahun sebelumnya saat pemerintah merancang anggaran untuk tahun berikutnya. Seniman harus memperhatikan hal ini karena rancangan anggaran yang dibuat pemerintah bersifat presisi. Artinya, angkanya mustahil diubah-ubah.
“Ini kelemahan pemerintah kita. Mereka tidak punya dana taktis. Makanya, seniman harus ikutan dalam perencanaan anggaran. Ini yang sedang dikerjakan oleh Koalisi Seni Indonesia. Kami berusaha mencari cara agar seniman bisa masuk dalam rapat dengar pendapat umum yang biasanya dilakukan di bulan Juni, Juli atau Agustus,” lanjut Hafez.
Selain, membicarakan tentang anggaran, pembicaraan tentang strategi advokasi seni juga mengarah pada posisi KSI dalam proses pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Menanggapi hal ini, Hafez menjelaskan bahwa KSI-dalam pergerakannya-sebisa mungkin tidak menjadi oposisi pemerintah. KSI ingin menjadi mitra pemerintah. Bukan dalam pengertian sebagai sekutu yang menyetujui segala hal yang dirancang oleh pemerintah, tetapi sebagai konsultan yang dipercaya.
Hafez melanjutkan bahwa posisi ini diambil ini karena pemerintah sering sembrono merancang program atau membangun infrastruktur seni budaya di daerah. Kondisi ini, yang menurut Hafez, ingin diperbaiki oleh KSI.
“Harapan KSI, kalau pemerintah mau bikin kebijakan tentang undang-undang yang terkait seni dan budaya, pemerintah akan manggil KSI dulu untuk berkonsultasi. Jadi, KSI bisa mengawasi dan menyampaikan aspirasi seniman. Kami sadar kalau aktivisme jaman sekarang bukan lagi cuma teriak-teriak di jalan. Harus ada satu pihak yang melunak, masuk ke dalam sistem, dan mengintervensi dari dalam. Makanya, kami butuh dukungan banyak seniman untuk memperkuat posisi tawar KSI di pemerintahan,” tutur Hafez.