/   
Abdi Karya
Yogyakarta

Jl.Panggang Babatan, Tempel, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, D.I.Yogyakarta 55764

Email Address: abdikarya@gmail.com

Abdi Karya bekerja sebagai seniman pertunjukan yang mengerjakan proyek multi-disiplin. Ia menyutradarai, bermain sebagai aktor, menari, menggarap karya performans, menjadi tim riset seni budaya, ko-produser hingga konsultan program. Karir keseniannya dimulai sejak Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Universitas Negeri Makassar sebagai aktor dan sutradara yang kemudian membawanya bertemu dan bekerjasama dengan banyak seniman di Makassar dan Sulawesi Selatan. Selepas kuliah di Program Studi  Business English Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di kampusnya, ia memutuskan menjadi seniman penuh-waktu. Ia pernah bekerja sebagai pengurus dan performer di Yayasan Kesenian Batara Gowa yang diasuh oleh pasangan seniman Sul-Sel; Andi Ummu Tunru dan Basri B Sila. Dari situ, perjalanan keseniannya kemudian menjadi lebih jauh dan lebih beragam. Karena akses informasi seni pertunjukan di Makassar saat itu masih sangat terbatas, ia mengikuti perkembangan seni-budaya di Indonesia dan Asia dengan menjadi distributor majalah seni budaya GONG  atas supervisi dari Halim HD, seorang networker kebudayaan . Pada saat yang sama, ia menyerap pengetahuan seni tradisi dari maestro-maestro di Sulawesi Selatan, sebagai upayanya untuk kembali melacak dan menyelami memori masa kecilnya.

 

Atas beasiswa program Magang Nusantara dari Yayasan Kelola, ia bisa menimba ilmu di Teater Koma tahun 2006-2007 dan menyerap banyak pengetahuan teater di berbagai lini. Tahun berikutnya, ia berkesempatan mengunjungi, bertemu komunitas lokal dan berpentas di sembilan kota di Jerman atas kerjasama antara KElompok BelaJAR di Solo dan Eurythmie Mobile di Jerman. Tahun 2007, ia diboyong oleh Robert Wilson untuk belajar di Watermill Center for The Arts di New York setelah dipertemukan melalui produksi teater I La Galigo di Indonesia akhir tahun 2005. Sejak itu, Abdi menghabiskan setiap musim panasnya di padepokan Bob Wilson tersebut selama kurun waktu 2007-2016 untuk belajar, berbagi, berkolaborasi, berpentas dan berjejaring dengan ratusan seniman dari berbagai negara setiap tahunnya. Selain itu, atas grant dari Japan Foundation, Abdi juga belajar pada master teater dari Asia, Tadashi Suzuki melalui program Suzuki Method for Actors’ Training Summer Program di Desa Toga, prefektur Toyama di Jepang.

 

Sebagai seniman yang telah memiliki jaringan lokal, terutama perguruan tinggi dan komunitas, Abdi kemudian dilibatkan sebagai bagian dari pembangunan ruang seni budaya independen di Makassar yang diinisiasi oleh dua seniman kelahiran Makassar; sutradara film Riri Riza dan penulis, Lily Yulianti Farid. Sejak Rumata’ Art Space berdiri tahun 2011, Abdi telah mengelola menjaga dan mengembangkan program di ruang tersebut hingga tahun 2017 sebagai Direktur Pengembangan dan Kerjasama. Selain itu, Abdi juga mengelola jaringan pertemanannya dengan seniman inter-lokal dan inter-Asia. Tahun 2015,  bersama rekannya, Ethan Chia, ia mendirikan kolektif seniman, 5Tomidnight International, yang beranggotakan penulis, sutradara, penari, pembuat film dan aktor dari Singapura, Indonesia, Jepang, Taiwan dan Perancis.

 

Sebagai seniman teater dan performans, ia telah menampilkan karyanya di sejumah ajang lintas disiplin; The 1st Colombo International Theatre Festival-Sri Lanka, Makassar International Writers Festival, Ubud Readers & Writers Festival, Singapore Writers Festival, ARTJOG, Castlemaine State Festival-Australia, Nairobi Summit ICPD25 di Kenya, Cabaret Chairil-Teater Garasi, Djakarta Theater Platform, Jogja Biennale.

 

Tahun 2013, atas dukungan dari Melati Suryodarmo, ia mulai memperluas vokabuler artistiknya, dari teater ke seni rupa melalui performans. Ia mempresentasikan karya-karyanya yang menggunakan material dari sarung pada Undisclosed Territory 2013 dan 2016. Kelak, karya ini kemudian berkembang dan menjadi bagian dari Jakarta Biennale:JIWA 2017. Karya sarung-nya kemudian berkembang menjadi karya instalasi dan telah dipamerkan di pameran 20 tahun Selasar Sunaryo dengan kurator Hendro Wiyanto dan pameran tunggal di Galeri Lorong, Yogyakarta tahun 2019 atas kurasi Arham Rahman.

 

Abdi selalu tertarik pada kerja-kerja kolaborasi lintas budaya, lintas disiplin dan  lintas wilayah sehingga ia terus mencari peluang untuk mengembangkan diri serta memberi kesempatan pada rekan dan komunitasnya di Sulawesi Selatan sehingga berkesempatan berproses dengan seniman dari wilayah dan disiplin lain. Ia kemudian merintis dan mengelola kolaborasi jangka panjang dengan seniman dari Yirrkala Arts Centre di Australia Utara untuk mengembangkan program-program terkait sejarah hubungan antara Australia dan Indonesia melalui perdagangan teripang pada abad 15 hingga awal abad 19. Kolaborasi ini kemudian melahirkan program BUDJUNG, pameran gerabah makassar dan lukisan aborigin dari komunitas Yolngu di Museum Kota Makassar, lalu program kolaborasi musik dan teater yang sedang dikerjakan sejak pandemi 2020 hingga kemudian saat ini, mempersiapkan sebuah pameran di salah satu gallery of modern art di Australia tahun 2021-2022 mendatang.

 

Dengan rekannya dari benua Eropa, ia terhubung oleh sains melalui tokoh Alfred Russel Wallace, ilmuwan asal Wales yang dikenal sebagai Bapak Keanekaragaman Hayati Dunia. Atas dukungan British Council Indonesia, Abdi kemudian dipertemukan dengan Theatr na nOg, salah satu teater nasional dari Wales-Inggris Raya, kota kelahiran sang ilmuwan. Bersama kelompok teater ini, Abdi menyutradarai pertunjukan You Should Ask Wallace yang ditampilkan di Wallacea Week 2019 di Makassar serta mengerjakan proyek dongeng dan teater Susur Jalin atau Invisible Threads di tahun 2020-2021 yang dikerjakan bersama komunitas pendongeng di Makassar melalui platform daring.

 

Abdi juga mencari peluang untuk bekerjasama dengan seniman di Indonesia. Tahun 2018, Abdi terlibat sebagai tim riset untuk produksi pertunjukan Setan Jawa versi 3D Sound yang disutradarai oleh Garin Nugroho bersama seniman Yasuhiro Morinaga. Tahun 2020, atas dukungan dari Asia Center Japan Foundation, Ibsen Award dan Saison Foundation, Abdi terlibat dalam proyek teater lintas-Asia; The Multitude of Peer Gynts yang dikerjakan oleh Teater Garasi Yogyakarta dengan menyajikan karya lecture-performace On The Origin(s) of Huhu yang ia tulis bersama Ugoran Prasad atas supervisi artistik dari Yudi Ahmad Tajudin. Tahun yang sama, pada event Indonesian Dance Festival, bersama Ari Dwianto, Ierfanuddin Gozali dan rekan-rekannya di Gymnastik Emporium (kolektif seniman lintas-disipli di Yogyakarta) Abdi menggarap karya koreografi #SKJ2020  yang berangkat dari sejarah senam di Indonesia yang bertujuan untuk melacak, mengembangkan dan mempertanyakan gagasan antara tari dan bukan tari (olahraga) melalui pendekatan berbasis arsip dan workshop.

 

Dua tahun terakhir ini, ia menjadi bagian dari WhaniDProject, sebuah komunitas yang dikelola oleh seniman teater Whani Darmawan melalui karya-karya pertunjukan, program practice-as-research dan training aktor mingguan di kampung Nitiprayan-Yogyakarta.

New Post

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.