/   
Tulus Wichaksono
Jakarta

DKI Jakarta

Tulus Wichaksono merupakan lulusan Arkeologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kemudian, ia melanjutkan strata kedua di Universitas Indonesia dengan studi Tradisi Lisan.

 

Tulus mengaku turut menikmati kehidupan seni karena bekerja dan berkegiatan yang bersinggungan dengan seni budaya. Ia mulai menekuni seni sejak berkuliah di Yogyakarta. Lingkungan di Yogyakarta dan kehidupan budaya Jawa, serta festival dan agenda seni tahunan secara tidak sadar telah membentuk kecintaan Tulus pada seni. Seperti mengikuti UKM MAPAGAMA di Gelanggang Mahasiswa UGM dan klub foto Bejo Mulyo di Fakultas Sastra UGM. Bila ada pementasan Teater (Gadjah Mada, Teater Gandrik, Teater Garasi), ia selalu mengusahakan untuk menontonnya. 

 

Sejak 2008 hingga saat ini, Tulus bekerja di Yayasan Losari yang memiliki program pelatihan tari tradisi jawa, pelatihan batik tulis warna alam, dan pelatihan gamelan Jawa. Selama tahun 2008-2009, setiap minggunya ia mengikuti dan menikmati proses kesenian tersebut. 

 

Kemudian tahun 2009, Tulus bergabung dengan MADYA (Masyarakat Advokasi Warisan Budaya) karena banyak berinteraksi dengan para seniman saat melakukan tuntutan dalam advokasi. Masih di tahun 2009, ia mengikuti Kelas Pagi Jogja untuk belajar lebih jauh mengenai fotografi.

 

Saat Tulus proses berpindah kerja di Jakarta dan terlibat dengan sejumlah acara seni baik di dalam maupun luar negeri bersama Yayasan Bali Purnati dan PT Bumi Purnati Indonesia. Tulus terlibat dalam pementasan I La Galigo (Makassar 2011 dan Bali 2018), Paviliun Indonesia di Venice Biennale (2013 dan 2015), pementasan Under The Volcano (Olimpiade Teater Beijing tahun 2014 dan TheatreWorks Singapore tahun 2016), dan pertunjukan Sakti di Pesta Raya Singapore (2014).

 

Selanjutnya di tahun 2019 Tulus melegalkan badan hukum Sanggar Olah Seni Sulolangi, yang ia dirikan bersama istrinya untuk pelestarian dan pengembangan seni tari di Indonesia. Bersama Sanggar Olah Seni Sulolangi, ia melakukan inventarisasi dan pengembangan berupa program PUSTAKA BUDAYA INDONESIA, sebuah platform kerja kolektif database kebudayaan Indonesia. Program tersebut diluncurkan pada 1 Mei 2021 dan akan berlangsung selama 3 tahun (2021-2024). 

 

Seni yang Tulus hasilkan secara individu dengan latar belakang yang bukan seniman adalah melakukan transmisi mantra dan gending dalam Ritual Sang Hyang Dedari, tradisi lisan dari Bali yang pada tahun 2015 diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Tujuan awal dari kegiatan tersebut ialah saat Tulus melakukan penelitian untuk tesisnya ketika kuliah S2, namun Tulus tidak menyelesaikan studi tersebut. Sebagian hasil penelitian pun disumbangkan kepada tim pembangunan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha, Bali sebagai bahan koleksi museum. 

 

Selain itu, Tulus juga mengamati bagaimana pola-pola kerjasama/dukungan bersama pemerintah sejak tahun 2018, tidak berbadan hukumnya lembaga seni dan akses informasi yang terkonsentrasi pada pulau tertentu saja merupakan hambatan dalam bidang seni. Bagi Tulus, dengan berjejaring dan berkoalisi seperti di Koalisi Seni merupakan salah satu solusi untuk mengatasi hambatan tersebut.

New Post

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.