Jakarta – Dana Perwalian Kebudayaan yang dinanti banyak pegiat seni budaya tak lama lagi akan terwujud. Salah satu amanat Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ini telah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sebesar Rp1 triliun.
“Sebagai lembaga yang aktif dalam advokasi RUU Kebudayaan sejak diwacanakan pada 2014 hingga disahkan jadi UU Pemajuan Kebudayaan tahun 2017, Koalisi Seni ingin menjaring masukan publik terkait pemanfaatan Dana Perwalian Kebudayaan. Misalnya, program apa saja yang strategis dalam pembinaan, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan. Lalu, seperti apa mekanisme akses dan penyaluran dana yang sesuai dengan karakter pegiat seni budaya,” ujar Ketua Pengurus Koalisi Seni, Kusen Alipah, Senin, 7 Oktober 2019.
Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Koalisi Seni mengadakan diskusi publik tersebut sebagai bagian dari rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional.
Tiga orang narasumber menjadi pemantik diskusi ini. Yang pertama ialah Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Rini Widyantini. Ia akan memberikan konteks tentang bentuk dan mekanisme pengelolaan lembaga pengelola Dana Perwalian, serta prosedur pencairan dana dari APBN dan pertanggungjawabannya.
Direktur Akatara, Agung Sentausa, berbagi pendapatnya tentang potensi pemanfaatan dana oleh sektor film. “Rantai ekosistem perfilman belum lengkap, terutama dalam sektor edukasi, sehingga perlu diutamakan. Selain itu, kita perlu memposisikan film bukan hanya sebagai karya seni yang berdiri sendiri, tetapi juga medium memajukan dan mengkampanyekan objek-objek kebudayaan lainnya,” tuturnya.
“Dalam lembaga pengelola dana ini, harus ada wakil seluruh pemangku perfilman, termasuk perwakilan sektor digital. Prioritas pendanaan perlu sesuai dengan arah kiblat pemajuan perfilman, dan harus ada timbal balik prestasi yang bersifat benefit maupun profit, langsung dan tidak langsung,” ucap Agung tentang mekanisme ideal lembaga pengelola Dana Perwalian.
Dari segi pelindungan seni budaya, hadir pula Lisistrata Lusandiana, Direktur Indonesian Visual Art Archive yang fokus kegiatannya adalah eksplorasi arsip seni visual. “Untuk membangun model pengelolaan dana perwalian kebudayaan yang tepat sasaran, jangan terburu-buru membatasi definisi budaya pendokumentasian atau pengarsipan kita. Kita justru harus melihat lebih dekat, membuka mata lebar-lebar pada keberagaman corak praktik pendokumentasian yg telah diupayakan oleh para pegiat pelindungan seni budaya di seluruh penjuru Indonesia,” ucapnya mengingatkan.
“Jangan terburu-buru membuat upaya penyeragaman atau standarisasi. Perlu hati-hati juga untuk tidak terjebak pada model pendokumentasian yang ekstraktif, yakni mencerabut transformasi pengetahuan dari masyarakat dan tanahnya. Mari waspada juga terhadap sudut pandang wisata yang sering kali terpikat pada kebudayaan sebatas pada citra dan keuntungan ekonominya. Dalam pasal 47 UU Pemajuan Kebudayaan, tercantum pendanaan pemajuan kebudayaan didasarkan atas pertimbangan investasi. Ini sudah betul dan harus diperjelas bahwa investasi yang dimaksud di sini adalah investasi historis, ekologis, dan sosial,” kata Lisis menambahkan.
Masukan masyarakat dalam sesi ini akan menjadi informasi berharga bagi Kemdikbud, yang bersama Kementerian Keuangan sedang berjibaku menyiapkan Lembaga Pengelola Dana Perwalian Kebudayaan.
Unduh siaran pers ini beserta foto dan materi presentasi di bit.ly/pemanfaatanDPK.