Kesenian memiliki peran besar dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Selain kerap dimanfaatkan untuk menarik publik dalam penggalangan dana, kesenian pun menjadi wadah perjumpaan budaya, dipakai mengobati luka masyarakat sebagai post trauma therapy, serta bisa mendorong lahirnya keanekaragaman dan transkulturalisme melalui kolaborasi.
Sayangnya, kesenian belum memperoleh dukungan yang memadai dari pemerintah, lembaga, dan masyarakat. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, dalam diskusi buku Filantropi di Indonesia; Mengapa tidak untuk Kesenian? yang diadakan Koalisi Seni Indonesia, di kantor Tribun Timur Makassar, Rabu (22/2).
“Kesenian ibarat penumpang gelap yang berjuang untuk hidup di rumahnya sendiri,” kata Hamid Abidin.
Minimnya Pendanaan Aktivitas Seni
Selama lima tahun terakhir, seperti dikutip dari buku Filantropi di Indonesia; Mengapa tidak untuk Kesenian? anggaran negara untuk sektor kebudayaan—di mana kesenian termasuk di dalamnya—hanya berkisar antara Rp 1,2 hingga Rp 1,8 triliun per tahunnya. Belum lagi anggaran ini mesti dibagi ke dalam lima direktorat yang ada di Dirjen Kebudayaan.
Seni dan budaya juga berada di peringkat tiga terbawah untuk sektor yang disumbang oleh perusahaan. Sedangkan kegiatan keagamaan, pendidikan, lingkungan, dan kesehatan masih menjadi prioritas sumbangan dari sektor swasta.
Disebutkan, pembiayaan kesenian dari masyarakat, baik individu ataupun kelompok, juga terbilang minim. Sebagian besar masyarakat lebih memilih memberikan pendanaan untuk urusan lingkungan, pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan olahraga. Lagi-lagi, dari survei yang dilakukan Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) tentang perilaku menyumbang masyarakat, dukungan untuk sektor kesenian berada di level bawah.
Rendahnya dukungan terhadap kesenian, menurut Hamid, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai fungsi seni dan budaya. Kesenian dianggap tidak memiliki dampak secara langsung terhadap perbaikan hidup masyarakat.
Bahkan, menurut perwakilan Bank Sulselbar, yang turut hadir dalam acara ini, kesenian dinilai belum mampu memberikan umpan balik bagi perusahaan. Oleh karena itu, Bank Sulselbar lebih memprioritaskan bantuannya pada pembangunan infrastruktur, ketimbang kesenian.
Kedua, kapasitas seniman dalam menggalang dukungan untuk pendanaan aktivitas berkesenian masih minim. Hal ini disebabkan, manajemen organisasi seni yang kurang rapi, seperti belum memiliki akta berbadan hukum, nomor penduduk wajib pajak (NPWP), serta laporan dan perencanaan aktivitas berkesenian yang belum terukur.
Bagi seniman-seniman muda yang menguasai teknologi digital, dukungan bisa saja dilancarkan melalui media sosial. Akan tetapi, bagi seniman generasi tua yang fokus kepada seni tradisi dan umumnya memiliki patron pendanaan, dukungan melalui teknologi digital agak sulit dilakukan. Sehingga, mau tidak mau, mereka mesti melengkapi berbagai syarat administratif, agar bisa mempermudah pendanaan.
Seniman yang memiliki jejaring kuat ke instansi pemerintah, perusahaan, atau masyarakat, tentu lebih mudah memperoleh pedanaan. Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki jaringan, dibutuhkan peran lembaga perantara yang dapat membantu untuk memperoleh dukungan. Terutama bagi kesenian rakyat yang tidak serta-merta menghasilkan manfaat ekonomis.
Masih menurut buku Filantropi di Indonesia; Mengapa tidak untuk Kesenian? dalam banyak kasus, kesenian semacam ini membutuhkan dukungan yang besar agar dapat bertahan hidup. Belum lagi kesejahteraan para senimannya yang kerap jatuh bangun menghidupi diri. Dengan hadirnya lembaga perantara, seniman dapat berkonsentrasi menghasilkan karya.
Faktor ketiga adalah minimnya insentif pemerintah, berupa hibah dan dukungan terhadap aktivitas seni. Di samping anggaran yang minim, seniman juga mengalami kesulitan dalam perizinan oleh pemerintah setempat. Selain itu, mereka mesti membayar sewa ruangan yang dikelola pemerintah. Belum lagi stigma “menyimpang” terhadap aktivitas seniman.
Keterbatasan bantuan dari pemerintah setidaknya kini bisa disiasati dengan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang insentif pajak untuk bencana alam, olahraga, dan pendidikan. Sumbangan dari perusahaan, pada gilirannya, dapat menjadi insentif atau pengurangan pajak dari negara. Peraturan ini bisa menjadi nilai tawar bagi seniman untuk menggalang bantuan dari sektor swasta, sejauh organisasi seni tersebut memiliki akta berbadan hukum dan NPWP, yang setiap tahun membayar pajak.
Menjembatani Seniman dan Pendonor
Baik seni tradisi maupun modern, keduanya tetap membutuhkan program yang terencana dan terukur. Rotary Club, misalnya. Organisasi pelayanan nonprofit yang secara internasional sudah berdiri 110 tahun lalu, dan bercabang di Makassar sejak 1990-an, menilai bahwa program yang terencana dan terukur akan lebih mudah mendapatkan bantuan.
“Para seniman juga harus masuk ke organisasi seperti itu untuk memberi penjelasan betapa pentingnya kesenian bagi kehidupan, karena gap yang terjadi selama ini diakibatkan oleh minimnya informasi yang di dapatkan suatu perusahaan tentang manfaat kesenian,” kata anggota Rotary Club yang juga aktif di organisasi seni Batara Gowa, Ridho.
Menjembatani seniman dan lembaga pendonor merupakan hal penting bagi kelangsungan hidup kesenian. Walau tantangan yang merintangi cukup sulit dilalui, seperti sulitnya merawat jejaring sosial dengan donatur, kurangnya akuntabilitas, minimnya sikap kritis (memikirkan dampak yang berkelanjutan dalam memberikan bantuan), hingga program kesenian yang ditawarkan seringkali belum berorientasi panjang. Maka, agenda pengembangan filantropi harus dikembangkan.
Agenda tersebut, pertama, perlunya kajian dan pemetaan sumber daya untuk pendanaan seni, agar mendorong perusahaan untuk menomorsatukan kesenian lokal dalam acara-acara perusahaan. Kedua, memberikan pemahaman kepada donatur individu, perusahaan, atau yayasan amal mengenai pentingnya memberikan dukungan terhadap kesenian, baik dukungan finansial maupun nonfinansial.
Ketiga, meningkatkan kapasitas pegiat dan pengelola seni dalam mengemas, mengomunikasikan, dan memasarkan produk dan kegiatan seni. Keempat, pentingnya mengaitkan seni dengan kebutuhan, konteks, dan persoalan yang dihadapi mitra atau donatur dan publik.
Kelima, memperluas cakupan insentif pajak dan memperjelas mekanisme untuk mendapatkannya. Keenam, mendorong pemerintah untuk mempermudah dan menyederhanakan regulasi yang berkaitan dengan kegiatan filantropi.
Terakhir, mengembangkan dana abadi untuk mendukung perkembangan seni yang sulit mendapatkan dukungan. Dengan usaha-usaha tadi, kesenian nonkomersil dapat bertahan dan memperkaya khazanah pikiran orang-orang Indonesia.