Harian Kompas halaman 5, 10 April 2021
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan lagu dan musik, baik ciptaan dalam maupun luar negeri, untuk semua kebutuhan layanan publik komersial wajib membayar royalti. Penegasan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Freddy Haris, Jumat (9/4/2021), di Jakarta, mengatakan, bagi musisi yang biasanya santai atau tak acuh dengan kewajiban pembayaran royalti, kini tidak bisa lagi bersikap demikian. Demikian pula, para musisi yang karya lagu atau musiknya sering diputar di fasilitas layanan publik komersial, mereka semestinya semakin sadar akan haknya.
”Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik memberikan jaminan keadilan (bagi) semua musisi mendapatkan haknya,” ujarnya.
Kebutuhan layanan publik komersial mencakup penggunaan lagu dan musik secara luring ataupun daring. Sebagai contoh, seorang individu menyanyikan ulang lagu yang sudah memiliki hak cipta, lalu diunggah di platform digital dan ia mendapat pendapatan iklan, maka orang itu wajib bayar royalti.
Contoh lain, jika ada individu atau kelompok tampil di muka umum menyanyikan ulang lagu yang tercatat hak ciptanya dan penampilannya mendatangkan pemasukan, mereka juga wajib bayar royalti.
”Ketentuan di PP ini berlaku juga buat lagu dan musik asing yang memang digunakan untuk layanan publik komersial,” ungkapnya.
Freddy memperkirakan, potensi pendapatan royalti lagu dan musik bisa mencapai triliunan rupiah. Saat ini, pendapatan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sudah mencapai Rp 100 miliar.
PP No 56/2021 mengamanatkan pendirian pusat data lagu dan musik yang berasal dari e-Hak Cipta yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Pusat data itu akan dapat diakses oleh LMKN, pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, dan pengguna secara komersial.
Kemudian, LMKN akan mengelola royalti berdasarkan data yang telah terintegrasi antara pusat data musik dan/lagu milik Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dengan Sistem Informasi Lagu/Musik (SILM). Pendirian pusat data akan dilakukan pemerintah dan swasta.
”Sambil menunggu kedua infrastruktur itu jadi, besaran harga tarif royalti masih mengacu pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Kami sebenarnya membebaskan juga penentuan tarif dengan skema bisnis ke bisnis. Kalau kemahalan, pengguna bisa mendiskusikannya dengan LMK,” imbuhnya.
Kepastian kepatuhan
Marketing Director PT Indomarco Prismatama (Indomaret) Wiwiek Yusuf mengatakan, PP No 56/2021 memberikan ketegasan hukum bagi semua perusahaan ritel yang menggunakan lagu dan musik agar patuh bayar royalti. Peritel mau tidak mau harus menghargai hak cipta lagu dan musik.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, mengatakan, PHRI tidak keberatan dengan PP No 56/2021. PHRI bahkan sudah memiliki nota kesepahaman dengan LMKN.
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay berpendapat, pemerintah harus gencar melakukan sosialisasi pentingnya menjadi anggota LMKN bagi para pencipta lagu.
”LMKN juga harus memungut dan menyalurkan royalti para pencipta lagu yang tidak terdaftar di LMK secara transparan. Jangan sampai ada praktik jahat yang sengaja menutupi informasi royalti pencipta lagu yang bukan anggota LMKN, demi mengumpulkan dana cadangan untuk kepentingan sepihak bagi LMKN,” kata Hafez. (MED)
Versi panjang tulisan ini juga dimuat di kompas.id 10 April 2021, “Segala Penggunaan Lagu dan Musik untuk Komersial Wajib Bayar Royalti”
Ilustrasi: genreme via Canva