Jakarta – Selama ini, eksakta alias ilmu pasti kerap diusung sebagai penggerak utama pendidikan untuk pembangunan. Namun, makin banyak bukti ilmiah menyoroti pentingnya seni untuk menyeimbangkan eksakta. Jika dulu fokus pendidikan hanya pada STEM (science, technology, engineering, mathematics/sains, teknologi, rekayasa, matematika), kini unsur seni acap dimasukkan sehingga paket komplitnya menjadi STEAM (science, technology, engineering, arts, mathematics/sains, teknologi, rekayasa, seni, matematika).
“Seni punya banyak kebebasan. Tidak seperti sains yang rigid, dingin, dan kadang angkuh, seni adalah hal yang longgar dan bebas. Seni membuka relasi dan dikonsumsi oleh masyarakat secara aman,” ujar Premana W. Premadi, ahli astrofisika sekaligus Direktur Observatorium Bosscha, dalam sesi khusus yang diadakan Koalisi Seni pada Indonesia Development Forum (IDF) 2019 pada 23 Juli 2019.
Menurut Premana, astronomi sangat bisa menjadi pintu masuk untuk pembelajaran STEAM bagi sumber daya manusia (SDM). Keindahan langit seringkali menjadi rujukan universal sains dan juga sumber inspirasi seni, imajinasi, kekuatan spiritual, sehingga ia dapat menyambungkan STEM dan Arts. “Tapi, pembelajaran melalui metode STEAM harus mementingkan konteks generasi muda kita. Sebab pembelajaran hanya bermakna hanya kalau kontekstual dan relevan,” ucap anggota Koalisi Seni itu.
Moe Chiba, Programme Specialist and Head of Unit Culture UNESCO Jakarta, mengamini pentingnya seni dalam memajukan pembangunan. Ia mengambil studi kasus percontohan UNESCO di India pada 2015-2019. Di India, seni dan pegiat seni bukanlah bagian dalam rencana pembangunan. Bermitra dengan organisasi lokal, UNESCO meningkatkan kapasitas 30.000 seniman di desa-desa di Bengali Barat dan membukakan akses mereka ke pasar. Program itu berhasil memicu komunitas untuk bangga dan percaya diri, mengurangi laju urbanisasi, serta mengerek rata-rata pendapatan peserta hingga 10 kali lipat. Kerukunan antara penduduk beragama Hindu dan Islam pun meningkat.
Chiba yakin, Indonesia memiliki potensi besar dalam memanfaatkan seni untuk pembangunan, sebab seni sudah menjadi bagian rencana pembangunan. Tapi, Indonesia belum memiliki SDM seni mumpuni, semisal belum cukup ada lembaga pendidikan produksi film dan penerjemah karya sastra. Lebih lanjut, “Budaya itu perlu dikelola, sehingga Indonesia perlu tenaga manajemen data, pengelola SDM, serta mekanisme pendanaan yang mumpuni. Di bagian ini Indonesia, juga negara-negara Asia pada umumnya, masih sangat lemah. Untuk mendanai sektor budaya, kita tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Contohnya di India, ada pajak 2% bagi botol bir untuk mendanai kebudayaan,” tuturnya.
Maria Tri Sulistyani, Pendiri dan Ko-Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre, mengungkapkan tiga tantangan yang sering dihadapi seniman di Indonesia. “Tidak mudah mementaskan karya di negeri kami sendiri. Hal yang harus dipikirkan: akses untuk mengapresiasi, agar masyarakat dapat melihat pertunjukan yang berkualitas. Seni harus dirasakan secara panca indera, tidak bisa hanya via YouTube. Seni harus ditemui, dicium, diraba. Kemudian, akses produksi. Ketika sudah terinsipirasi, seseorang dapat menghasilkan karya, namun ia perlu akses ke produksi agar bisa mewujudkannya.Ketiga, akses presentasi. Karya seni haruslah ditampilkan agar semakin banyak orang yang melihat,” kata perempuan yang akrab disapa Ria itu.
Ria menyarankan semua orang segera mencari dan menonton agenda pertunjukan seni terdekat. “Ajak teman dan keluarga yang tidak pernah nonton seni. Kalau sudah bisa mengajak mereka menonton, kalian sedang memajukan ekosistem kesenian dan kebudayaan di Indonesia,” ucap penggagas teater boneka yang juga anggota Koalisi Seni tersebut.
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengakui Indonesia masih perlu mengatasi tantangan mengurus rantai tata kelola kebudayaan. “Ada lima komponen rantai tata kelola tersebut, yaitu kreasi, produksi, diseminasi, eksibisi, dan konsumsi. Dari rantai nilai tersebut, Indonesia baru bisa mengisi 30% dari yang tersedia. Banyak ide bagus tidak bisa dieksekusi bukan karena tidak punya uang, tapi tidak memiliki tenaga teknis yang cukup,” ujarnya.
Ia menyatakan pemerintah melakukan banyak upaya untuk mengatasinya. Antara lain, membangun mekanisme dana perwalian kebudayaan seperti diamanatkan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan, untuk memastikan keberlanjutan dan ketersambungan inisiatif masyarakat. Sehingga, kreator bisa menyelenggarakan kegiatannya tidak semata demi tujuan komersial, tapi juga untuk kepentingan publik.
“Kebudayaan terlalu serius kalau hanya untuk diurus pemerintah. Keterlibatan publik juga penting,” ucap Hilmar dalam pernyataan penutupnya.
Meminjam pernyataan tersebut, Premana mengatakan, “Alam semesta terlalu besar dan kaya untuk dinikmati astronom sendiri. STEAM harus hidup di hati dan pikiran.”
Mengakhiri sesi khusus ini, tim Papermoon menghadirkan seni di dalam forum secara nyata. Abak, boneka setinggi lebih dari tiga meter, berjalan pelan di tengah-tengah area peserta. “Abak adalah orang tua kita yang merindukan anaknya yang pergi terlalu jauh,” kata Ria memperkenalkannya.
Boneka ini pertama kali ditampilkan Papermoon dalam konser Monokrom Tulus, sebagai perwujudan kakek sang penyanyi yang tak pernah ditemuinya. Seperti saat konser itu, ketika Abak hadir di IDF 2019, banyak hadirin tak kuasa menahan air mata. Lewat seni, Papermoon sukses memicu hadirnya memori dan emosi penonton saat menafsirkan cerita.
Koalisi Seni mengucapkan banyak terima kasih bagi semua anggota yang telah berpartisipasi dalam Indonesia Development Forum sebagai penampil, pembicara dan fasilitator: Papermoon Puppet Theatre; Premana W. Premadi, Direktur Observatorium Bosscha; Dede Pramayoza dari Jaringan Festival Kebudayaan Berbasis Masyarakat; Irma Hidayana dari Kios Ojo Keos; Purnama Sari Pelupessy dari Sang Akar Institute; Gustaff Hariman Iskandar dari Common Room; serta Dani Wahyu Moenggoro dan Budhita Kismadi dari INSPIRIT.
Simak siaran pers sesi khusus tersebut di sini. Catatan lengkap sesi ini tersedia di laman ini.