Oleh: Harits Rasyid Paramasatya – Peneliti Kebijakan Koalisi Seni
Hidup itu pendek, seni itu panjang–begitu terjemahan satu pepatah Latin. Mungkin itu alasan beberapa orang menjadi seniman: agar tetap diingat melalui karya-karyanya.
Untuk mendokumentasikan kiprah pegiat seni rupa, sejumlah direktori perupa disusun. Di dalamnya, tercantum nama-nama seniman dan contoh karya atau keterlibatan mereka dalam pameran-pameran seni. Beberapa direktori juga mencatat nama-nama kurator. Secara tidak langsung, direktori seni menentukan nama seniman yang masuk dalam catatan sejarah dan mengesahkan statusnya sebagai seniman di muka publik.
Sebagai bagian advokasi kebijakan seni yang adil bagi semua gender, Koalisi Seni memeriksa perbandingan jumlah nama perupa perempuan dan laki-laki dalam tiga direktori. Penyisiran direktori perupa dianggap perlu karena ia adalah basis data nama-nama seniman yang dianggap ada dalam ekosistem seni rupa Indonesia. Terdaftarnya nama seorang seniman di direktori seni rupa menyiratkan pengakuan ekosistem seni tentang status individu itu sebagai seniman. Tiga pangkalan data yang diperiksa ialah direktori Indonesia Visual Art Archive (IVAA), Indoartnow, dan BDGConnex.
Dari penyisiran tersebut, ternyata keterwakilan pelaku seni rupa perempuan di ketiga direktori jauh lebih rendah dari pelaku seni rupa laki-laki. Dari 2.561 nama individu yang disebutkan pangkalan data IVAA, 344 nama (13,4%) adalah perempuan. Di direktori Indoartnow, ada 2.700 nama individu seniman yang tercantum, dengan 555 orang (20,6%) di antaranya perempuan. Sedangkan dari 233 nama individu kurator, 72 orang (32,3%) merupakan perempuan. Terakhir, dari 217 nama individu dalam direktori BDG Connex, 94 orang (43,3%) ialah perempuan.
Walaupun persentase pelaku seni perempuan lebih rendah dari lelaki di semua direktori tersebut, tingkat ketimpangan gender di ketiga direktori berbeda. Saat direktori IVAA dan dan Indoartnow masih jauh dari keseimbangan keterwakilan perempuan, direktori yang disusun BDG Connex–walau jumlah individu tercatatnya jauh lebih sedikit dari kedua direktori yang lain–proporsi perempuan dan lelaki sudah hampir imbang. Apakah perbedaan ini karena ketiga organisasi tersebut memiliki kriteria berbeda tentang seniman yang bisa masuk ke direkori mereka? Dan apakah ketimpangan jumlah perempuan di direktori seni rupa ini disebabkan sedikitnya perempuan yang menjadi seniman, atau banyaknya seniman perempuan yang tidak dianggap sebagai seniman?
Direktur IVAA, Lisistrata Lusiandana, menyebutkan pencatatan nama seniman di IVAA sudah berlangsung dalam setidaknya 25 tahun. Ide tim IVAA tentang pencatatan nama-nama seniman di Indonesia dan pendokumentasian karyanya muncul pada dekade 1990-an. Pada dekade 2000-an, data yang terkumpul disusun dalam direktori daring. Proses pengumpulan nama tersebut masih berlangsung sampai sekarang. Tim IVAA mencatat nama seniman dari sumber sekunder seperti katalog pameran atau lelang, tetapi IVAA juga menerima seniman yang berinisiatif mengarsipkan karyanya. Seniman tidak dipungut biaya, dan satu-satunya syarat dalam pengarsipan adalah seniman harus pernah berpameran di Indonesia.
Sementara itu, General Manager Indoartnow, Hafidh Ahmad Irfanda, mengatakan tim Indoartnow menyusun direktori seniman dan kurator sejak 2011. Berawal dari keinginan mempermudah akses publik ke ekosistem seni, tim Indoartnow mencatat nama seniman dan karya mereka, serta menampilkannya pada situs web yang dapat diakses publik. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan pameran, baik yang diadakan di galeri, art fair, biennale, ataupun museum. Tim Indoartnow datang ke pameran-pameran di Indonesia untuk mendokumentasikan karya yang dipamerkan. Seiring perkembangannya, Indoartnow membentuk tim pencatat di beberapa kota, serta mencatat karya-karya seniman Indonesia yang dipamerkan di luar negeri. Di luar pencatatan, Indoartnow juga aktif membantu seniman Indonesia berpameran di luar negeri, contohnya pembentukan Paviliun Bandung di Shanghai Biennale.
Berbeda dengan IVAA dan Indoartnow, direktori BDGConnex bergantung sepenuhnya kepada inisiatif seniman. Melalui korespondensi via surel, sekretariat BDGConnex menyebutkan direktorinya mulai mencatat nama seniman pada 2018. Individu, kolektif, atau organisasi seni dapat mendaftarkan diri mereka melalui situs web BDGConnex. Sekretariat BDGConnex membebaskan siapapun menambahkan diri ke direktori. Satu-satunya syarat adalah seniman harus memiliki hubungan dengan Bandung — baik itu berkarya di Bandung, pernah berpameran di Bandung, atau didaftarkan oleh kolektif/organisasi yang bertempat di Bandung.
Ditentukan periode dan metode
Dari informasi tentang cara pengumpulan data masing-masing direktori, nampaknya ada dua faktor yang menentukan keterwakilan perempuan dalam direktori perupa: periode pendataan dan metode pengumpulan data.
Soal periode, baik direktori IVAA maupun Indoartnow mendata nama seniman dari jangka waktu lebih panjang ketimbang direktori BDGConnex. Di direktori IVAA dan Indoartnow, dapat ditemukan seniman dari era pra-kemerdekaan seperti S Sudjojono dan Raden Saleh. Sebab, IVAA mengarsipkan nama seniman dari catatan-catatan pada masa aktif seniman tersebut, sementara Indoartnow mencatat nama-nama itu karena terkadang karya seniman yang sudah tidak aktif masih dipamerkan
Walau mencantumkan beberapa nama seniman senior, direktori BDGConnex lebih banyak menampilkan nama seniman dari generasi lebih muda. Sekilas ini menyiratkan jumlah seniman perempuan di masa lalu tidak sebanyak sekarang, serta jumlah seniman perempuan di direktori IVAA dan Indoartnow lebih rendah karena mereka menyusun data dari saat jumlah seniman perempuan pun rendah.
Tetapi, asumsi ini belum tentu sepenuhnya benar. Lisis menyatakan dokumentasi mengenai seniman perempuan lebih sulit didapat dibandingkan catatan karya seniman laki-laki. Pada saat nama seniman lelaki terpampang dengan jelas di katalog pameran atau media massa, nama-nama seniman perempuan kadang tersembunyi di korespondensi pribadi. Ini berpotensi menyebabkan nama seniman-seniman perempuan terlewat dari penelusuran tim penyusun direktori.
Jika dilihat dari ruang lingkup direktori secara geografis, BDGConnex hanya mendata seniman-seniman yang pernah berpameran atau menjadi anggota organisasi kesenian di Bandung. Banyaknya porsi perempuan dalam direktori tersebut mengesankan ruang-ruang pameran dan organisasi seni di Bandung lebih inklusif terhadap perempuan dibanding tempat-tempat lain di Indonesia. Sayangnya, hal tersebut belum dapat dibuktikan secara pasti dalam tulisan ini, karena kedua direktori lain yang diperiksa mencantumkan nama seniman pada tingkat nasional. Untuk kajian mendatang yang lebih presisi, perlu ada perbandingan direktori nama seniman berlingkup geografis setingkat dengan direktori BDGConnex.
Terkait metode pendataan, IVAA dan Indoartnow menyusun direktorinya dengan mendata nama seniman dari sumber sekunder maupun primer. IVAA berfokus mencatat nama-nama seniman yang muncul di katalog pameran dan media massa, sementara Indoartnow mengutamakan pameran-pameran seni sebagai sumber pencatatan. Artinya, seniman yang tidak muncul di media massa atau katalog seni tak akan tercatat oleh IVAA, sedangkan seniman yang tidak berpameran tak akan tercatat di direktori Indoartnow.
Sementara itu, cara pendataan direktori BDGConnex yang dilakukan secara mandiri oleh seniman bisa jadi menyebabkan keterwakilan perempuan lebih seimbang. Saat seniman perempuan lebih jarang berpameran dan namanya kerap terlewat di publikasi umum, pendataan mandiri menjadi solusi. Hanya saja, masih ada rintangan yang harus dilalui seorang seniman untuk mendaftarkan dirinya. Tidak semua orang mampu mendaftarkan dirinya secara mandiri di internet. Selain itu, belum tentu semua seniman mengetahui keberadaan direktori seni rupa BDGConnex.
Di sisi lain, kebenaran data yang diberikan oleh seniman juga menjadi pertanyaan tersendiri. BDGConnex tidak melakukan verifikasi data terhadap data seniman di direktori mereka. Walau idealnya seniman mendaftarkan dirinya dengan tepat dan jujur, tetap saja ada resiko ketidaktepatan di sebuah direktori yang mendapatkan datanya dari entri mandiri seniman.
Direktori yang ideal
Melihat keterwakilan perempuan di ketiga direktori ini lebih rendah dari seniman lelaki, muncul pertanyaan: apakah perlu menerapkan aksi afirmatif, misalnya sistem kuota, untuk nama perempuan di sebuah direktori?
Lisis berpendapat sistem kuota bukanlah solusi yang tepat untuk keterwakilan perempuan di direktori nama, khususnya di arsip IVAA. Menurutnya, jika keterwakilan perempuan di sebuah bidang rendah, maka tugas arsip adalah merekam ketidaksetaraan tersebut. Menerapkan kuota minimum justru dapat mendistorsi keadaan di lapangan. Aksi afirmatif untuk perempuan lebih tepat diterapkan di kegiatan-kegiatan penciptaan dan penyebarluasan karya seni, alih-alih di pendokumentasian.
Walaupun demikian, Lisis menyetujui pentingnya sebuah arsip untuk menyadari perbedaan dokumentasi seniman perempuan dibandingkan seniman lelaki. Pengelola direktori pun perlu lebih teliti mencari seniman perempuan yang terlewat dari rekaman sejarah arus utama.
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi: luputnya seniman perempuan dari rekam sejarah arus utama, pameran seni rupa yang lebih didominasi seniman laki-laki, kemungkinan untuk memberikan representasi yang lebih inklusif melalui direktori pendataan mandiri, serta fakta bahwa sebuah direktori pada akhirnya adalah cerminan keadaan di lapangan.
Jika kita menginginkan keterwakilan perempuan lebih tinggi dalam direktori seni, penyusun direktori–baik di seni rupa ataupun disiplin seni lain–harus menyadari seniman perempuan kerap hanya tercatat di korespondensi pribadi dan terlewat di catatan publik. Direktori juga sebaiknya membuka jalur-jalur yang memungkinkan seniman mendaftarkan dirinya secara mandiri, agar perempuan-perempuan di luar kelompok-kelompok seni arus utama juga bisa melakukannya.
Terakhir dan tak kalah penting, perlu ada aksi afirmatif di lapangan untuk menambah jumlah perempuan yang aktif di medan kesenian dan memperkuat peran mereka di sana. Baik sebagai seniman yang aktif berkarya, kurator yang menggulirkan wacana kesenian, ataupun sebagai galeris dan peran-peran lainnya.
Keterwakilan seniman perempuan pun penting diperhatikan penyelenggara pameran, mengingat penyusun direktori menggunakan pameran sebagai acuan datanya. Perlu diingat juga, keterwakilan perempuan dalam direktori perupa tak akan membaik jika penyelenggara pameran hanya mengikutsertakan perempuan seniman yang itu-itu saja.
Pada akhirnya, sebuah direktori seniman yang ideal sebaiknya mencatat semua seniman yang ingin diingat namanya. Baik mereka perempuan, lelaki, ataupun nonbiner. Mari jadikan direktori seniman, ruang pameran, dan seluruh relung ekosistem seni sebagai tempat yang inklusif untuk pelaku-pelaku seni, apapun identitas gendernya.
Ilustrasi: cyano66 melalui Canva