Makassar, 24 November 2017 – Tahun ini merupakan tahun yang baik bagi para pegiat kebudayaan, karena setelah 35 tahun dirancang, akhirnya Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan disahkan pada 24 Mei 2017 lalu. Salah satu kelebihan utama UU ini adalah masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menyusun strategi kebudayaan lewat perumusan pokok pikiran kebudayaan di tingkat daerahnya masing-masing.
Agar masyarakat dapat memahami lebih lanjut tentang isi dan manfaat dari Undang-Undang ini, termasuk apa saja langkah strategis pemerintah untuk memajukan kebudayaan Indonesia dan bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi, Koalisi Seni Indonesia mengadakan sosialisasi UU Pemajuan Kebudayaan di Aula Mattulada, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Jumat, 24 November 2017. Acara ini dihadiri oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia; Abduh Aziz, Ketua Pengurus Koalisi Seni Indonesia; Asia Ramli Prapanca, pegiat seni; dan Herfida Attas, Dinas Kebudayaan Makassar.
Baca juga: Koalisi Seni Indonesia Tegakkan UU Pemajuan Kebudayaan
“Salah satu peraturan turunan dari Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan adalah regulasi mengenai penyusunan strategi kebudayaan nasional yang akan menjadi panduan untuk semua, terutama pemerintah. Penyusunannya melibatkan masyarakat, mulai dari tingkat kabupaten atau kota. Di sinilah nantinya partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan.” jelas Hilmar Farid.
Selain itu, Abduh Aziz menjelaskan bahwa salah satu masalah terbesar dalam sektor kesenian di Indonesia terletak pada belum terbentuknya ekosistem yang mendukung upaya-upaya pengelolaan dan pengembangan kesenian dengan baik. “UU Pemajuan Kebudayaan memastikan dukungan negara dan partisipasi publik seluas-luasnya untuk bersama-sama mewujudkan ekosistem yang kondusif tersebut.” ujarnya.
Baca juga: UU tentang Pemajuan Kebudayaan: Memajukan, Bukan Membatasi
Dalam UU ini, pemajuan kebudayaan dilakukan dengan beberapa upaya, yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan, serta pembinaan terhadap sumber daya manusia kebudayaan. “Mandat pertama adalah mengenali objek kebudayaan yang ada lewat pendataan, lalu mengembangkannya,” jelas Hilmar.
Walau memiliki batang tubuh yang cukup ringkas dibandingkan dengan UU lainnya, muatan UU Pemajuan Kebudayaan membawa beberapa paradigma baru, antara lain:
(1) Upaya pemajuan kebudayaan melalui rangkaian proses yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, dimulai dari pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, hingga pembinaan;
(2) Pembagian tugas antara pemerintah dan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan: pemerintah menjalankan fungsi pengaturan (regulating) dan pemberdayaan (empowering), sementara masyarakat didorong untuk menjalankan fungsi pelaksanaan (executing);
(3) Akan hadirnya Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu sebagai acuan data utama pemajuan kebudayaan;
(4) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan arah pemajuan kebudayaan melalui dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan;
(5) Pembentukan skema dana perwalian kebudayaan sebagai sumber pendanaan alternatif bagi kegiatan Pemajuan Kebudayaan; serta
(6) Dorongan motivasi bagi masyarakat untuk ikut serta dalam Pemajuan Kebudayaan dalam bentuk penghargaan, fasilitas, dan insentif.
Baca juga: Bappenas Menaruh Perhatian Besar Pada Kebudayaan Sebagai Isu Penting Pembangunan
UU Pemajuan Kebudayaan merupakan turunan dari Pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Tujuan UU Pemajuan Kebudayaan untuk meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.