Keberlangsungan aktivitas kesenian di Makassar sebagian besar berjalan secara mandiri melalui earned income (pendapatan yang diperoleh). Beberapa organisasi seni, menyiasati minimnya dukungan lewat pendekatan individu dengan pemangku jabatan terkait, atau merencanakan proposal program kerjanya setahun sebelum hari acara.
Kurangnya bantuan dari pemerintah, perusahaan, dan individu, tidak menyurutkan semangat berkesenian warga Makassar. Namun, tanpa dukungan yang memadai, aktivitas kesenian tentu saja akan berjalan kurang maksimal.
“Pengalaman selama ini hanya menggalang dana (fundraising) di dalam kampus, karena di masyarakat sendiri susah melihat benefit yang bakal ia dapatkan,” kata perwakilan Sanggar Seni Karampuang Universitas Fajar dalam acara cultural hospot Koalisi Seni Indonesia (KSI) bertajuk “Strategi dan Taktik Fundraising untuk Pelaku Kesenian,” di Tribun Timur Makassar, Rabu (22/2).
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia sekaligus penulis buku Filantropi di Indonesia; Mengapa tidak untuk Kesenian? Hamid Abidin, dan bendahara Koalisi Seni Linda Hoemar, menjadi narasumber diskusi ini.
Cara Meraih Dana
Kondisi soal pendanaan tadi akhirnya mendorong Sanggar Seni Karampuang untuk menggalang dana lewat hubungan perkawanan, menjual makanan, hingga mengadakan bazar dengan memanggil teman sebanyak-banyaknya untuk berpartisipasi.
Namun, Sanggar Seni Karampuang tidak sendirian. Kedai Buku Jenny (KBJ)─komunitas seni dan budaya yang bergerak di bidang musik hingga isu sosial─juga membiayai diri dari hasil penjualan buku dan kaset musik. Bahkan, KBJ mulai merambah ke sektor pendidikan seni untuk anak-anak di lingkungan sekitar markasnya.
Jika KBJ dan Sanggar Seni Karampuang bergerak secara mandiri, Batara Gowa—organisasi seni yang berfokus pada seni pertunjukan, tari, musik, teater, ritual, dan permainan rakyat—turut menggalang dukungan dari sektor swasta. Bahkan, Direktur Batara Gowa, Ridho, juga bergabung dengan Rotary Club untuk memperluas jaringan. Saat ini, Batara Gowa bekerja sama dengan sutradara Prancis, untuk memproduksi film “Pakarena”, sebuah tarian tradisional Sulawesi Selatan.
Sementara itu, kemitraan dengan pihak pemerintah digalang oleh Rumah’ta Art Space—komunitas seni yang berkonsentrasi pada seni urban, di luar seni tradisi. Dari program Makassar International Writers Festival (MIWF), Rumah’ta Art Space dapat memperoleh bantuan dari pemerintah.
Siasat dengan pendekatan individu dilakukan Rumah Budaya Nusantara. Salah satunya dengan mengadakan program Hari Tani Sedunia, yang menampilkan kesenian tradisional.
Rumah Budaya Nusantara menggunakan jejaring kekerabatannya, dan memberi pemahaman kepada partisipan tentang tujuan lain dari program, yakni pelestarian budaya. Untuk biaya konsumsi, mereka menyiasati dengan meminta sumbangan makanan dan minum kepada anggota Dewan Perwakilan Daerah setempat.
Di sisi lain, hingga kini, festival masih menjadi tren aktivitas kesenian di Makassar. Namun, tampaknya terdapat perbedaan pemahaman tentang festival, antara pihak pemerintah dan komunitas seni. Bila pemerintah menitikberatkan festival sebagai ajang perlombaan, maka komunitas seni melihat festival tidak hanya sekadar pertunjukan, tapi juga di dalamnya ada berbagai isu sosial-budaya.
Oleh karena itu, kebutuhan untuk menyambungkan pengertian tentang festival antara komunitas dengan pemerintah dinilai penting, sehingga kesenian menjadi milik bersama warga Makassar. Meski aktivitas kesenian cukup ramai, namun sampai saat ini belum tersedia ruang bersama yang bisa diakses secara bebas oleh para seniman di Makassar.
Fokus Dana, Lupa Kebutuhan
Belakangan, angin segar mulai berembus. Ruang untuk menjalin kerja sama antara pemerintah dan para seniman kini dimungkinkan menjadi semakin terbuka, mengingat Dinas Kebudayaan Kota Makassar telah berdiri sendiri, terpisah dari Dinas Pendidikan.
Sebagai langkah pertama, Dinas Kebudayaan Kota Makassar melakukan pendataan komunitas seni yang ada di Makassar. Di situlah tahap awal untuk membangun kerja sama dengan pemerintah bisa dimulai, walau anggarannya masih terbatas dan tugas pokoknya masih dalam proses perampungan.
Sementara itu, yang signifikan dari proses penggalangan bantuan, menurut Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, adalah hati-hati saat melakukan identifikasi kebutuhan saat melakukan perencanaan.
“Banyak yang fokus sama budget, bukan kebutuhan. Jadi minta sana-sini budget dan lupa kebutuhannya,” katanya.
Bantuan tidak selamanya berupa dana segar. Pegiat seni mesti berpikir taktis untuk memperoleh jenis bantuan lainnya dan menyesuaikan jenis bantuan itu dengan concern masing-masing donatur, baik individu maupun kelompok, swasta, ataupun negara. Tak lupa, perencanaan yang matang tetap harus dilakukan.
“If you feel to plan, you plan to feel”, kata bendahara Koalisi Seni, Linda Hoemar.