UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan tidak hadir untuk membatasi kebudayaan, tetapi untuk memajukannya. Amanah ini menjadi tanggungjawab bersama, terutama masyarakat Indonesia.
“Seperti yang diketahui, budaya memerlukan kebebasan bergerak. Ketika ada Undang-Undang-nya, apakah kemudian kebudayaan menjadi terbatas atau kaku?
Pertanyaan retoris ini muncul dari Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Republik Indonesia saat ia menjadi narasumber konvensi seni bertajuk “Mainstreaming Culture in Indonesia” yang diselenggarakan oleh Koalisi Seni Indonesia bekerjasama dengan Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) pada 20 Oktober 2017. Acara ini diadakan untuk mengetahui lebih lanjut tentang isi dan manfaat UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (selanjutnya disebut UU Pemajuan Kebudayaan).
Undang-undang yang disahkan pada 27 April 2017 setelah mengalami proses pembahasan selama 35 tahun ini, ditekankan Hilmar, tak berupaya membatasi kebudayaan, tetapi memajukannya. Ini sesuai dengan amanat Pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Tujuan pemajuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.
“Dalam alinea ke-4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, disebutkan bahwa Republik ini dibangun untuk melindungi segenap bangsa dan tanah air, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Arahnya jelas. Jadi, kalau kita berbicara tentang arah kebudayaan mau kemana dan seterusnya, arahnya ini,” lanjut Hilmar.
Lalu bagaimana memajukan kebudayaan?
Dalam Undang-Undang ini, pemajuan kebudayaan dilakukan dengan beberapa upaya, yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan, serta pembinaan terhadap sumber daya manusia kebudayaan. “Mandat pertama adalah mengenali, lalu mengembangkannya,” ujarnya.
Baca juga: Perlunya Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Strategi Kebudayaan Nasional
Upaya-upaya ini penting dilakukan agar potensi budaya Indonesia bisa tergarap dengan baik. Dalam UU Pemajuan Kebudayaan ada 10 objek pemajuan kebudayaan, yaitu tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisonal; seni; bahasa; permainan rakyat; dan olahraga tradisional. Logika yang digunakan dalam memahami kesepuluh objek ini adalah taksonomi, bukan logika kategorial. Adapun 11 asas yang dianut dalam memajukan kebudayaan, yaitu manfaat, partisipatif, lintas wilayah, kelokalan, toleransi, keberagaman, keberlanjutan, keterpaduan, kesederajatan, kebebasan berekspresi dan gotong royong.
Dalam diskusi hari itu, Hilmar pun menekankan pentingnya pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kebudayaan. Perhatian terhadap sekolah musik, bahasa dan sastra, film, seni rupa dan bidang lainnya perlu ditingkatkan. “Tugas ini bukan hanya tanggungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di pusat, melainkan juga tugas para Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di masing-masing daerah. Ini adalah tugas bersama, sesuai amanah Undang-Undang ini,” ujarnya.
Baca juga: Bappenas Menaruh Perhatian Besar Pada Kebudayaan sebagai Isu Penting Pembangunan
Pengesahan UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ini baru permulaan. Setelah ini, perlu adanya regulasi yang mengatur pelaksanaannya di lapangan. “Salah satu peraturan turunan dari Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan adalah regulasi mengenai penyusunan strategi kebudayaan nasional yang akan menjadi panduan untuk semua, terutama pemerintah. Penyusunannya melibatkan masyarakat, mulai dari tingkat kabupaten atau kota. Di sinilah nantinya partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan.” jelas Hilmar Farid.
Penulis: Puteri Aliya