Koalisi Seni/Amalia Ikhlasanti
Analisis Koalisi Seni terhadap peraturan terkait hak cipta di Indonesia menunjukkan belum optimalnya apresiasi terhadap pencipta dan pelaku pertunjukan. Kebijakan yang ada justru membuat posisi musisi kian rentan.
Jakarta – Riset terbaru Koalisi Seni “Diam-Diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia”, menemukan bahwa kehadiran platform musik digital tidak diimbangi dengan kebijakan yang dapat melindungi pencipta dan karyanya. Peraturan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, belum meladeni perkembangan di industri.
UU itu tak hanya bias musik, tapi juga tidak mengatur secara khusus hak cipta musik digital, termasuk konsekuensi digitalisasi yang melibatkan banyak pelaku. Padahal kini sebagian besar musisi dan pencipta lagu di Indonesia merilis dan mempromosikan karyanya di platform digital. “Peraturan yang ada justru memberi keistimewaan bagi label rekaman dan membiarkan pihak perantara di industri musik berkontrak dengan musisi tanpa rambu-rambu perlindungan yang konkret,” kata Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, di Jakarta, Kamis 25 Mei 2023.
Penelitian Koalisi Seni menjadi studi awal mengenai situasi hak cipta musik digital di Indonesia. Untuk riset yang didukung UNESCO dan KFIT ini, Koalisi menggabungkan tinjauan pustaka, wawancara, juga diskusi kelompok. Selain itu, hari ini Koalisi Seni juga merilis buku panduan untuk musisi yang terjun di industri musik digital. Buku panduan yang bisa diunduh gratis di sini menjelaskan, di antaranya, soal definisi pelaku industri musik digital, hak musisi, dan jenis royalti.
Dari risetnya, Koalisi Seni mendapati pembentukan hak cipta di Indonesia jauh dari jangkauan sebagian besar musisi. Padahal seharusnya, para musisi ini menjadi pemangku kepentingan utama. Lahirnya UU Hak Cipta pada 1982 didorong oleh tekanan industri dalam negeri dan organisasi dagang internasional, dengan basis data industri yang dipakai untuk mengkampanyekan retorika antipembajakan. Retorika itu membentuk paranoia dalam kebijakan yang menempatkan digitalisasi sebagai peluang lahirnya pembajakan model baru. “Padahal bagi banyak musisi, isu utama dalam ranah digital adalah bagaimana menciptakan sistem tata kelola royalti digital yang lebih transparan dan berpihak pada mereka,” ujar Hafez.
Sejarah panjang paranoia terhadap pembajakan salinan fisik dan teknologi menjadi salah satu faktor yang membuat kebijakan hak cipta di Indonesia terbata-bata mengatur ranah musik digital. Kebijakan masih mengidentifikasi “digital” sebagai format, bukan perubahan relasi antara aktor dan peran-peran baru dalam industri musik.
Logika pengaturan UU Hak Cipta pun masih berbasis fisik-analog. “Kebijakan masih berfokus pada pencegahan pembajakan. Walau UU Hak Cipta mengatur soal sarana kontrol teknologi, tapi para aktor dan relasi baru yang ada di industri musik digital malah tidak digubris di dalamnya,” ujar Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya Koalisi Seni Ratri Ninditya.
Dari riset ini Koalisi Seni juga mendapati situasi industri yang eksploitatif terhadap musisi. Ada pergeseran pola komodifikasi musik dan kepemilikan salinan, baik fisik maupun digital, menjadi penyediaan akses terhadap salinan (streaming) memunculkan aktor-aktor baru seperti aggregator, streaming platform, label rekaman berbasis kekayaan intelektual (KI), label rekaman 360, dan penerbit musik. Hubungan musisi dengan para pelaku baru di dalam industri ini berkembang semakin kompleks dengan berbagai benturan kepentingan.
Ratri menjelaskan, karena relasi baru yang tercipta antara aktor baru ini tidak seluruhnya diidentifikasi dalam kebijakan hak cipta, seluruh relasi yang muncul dilepaskan pada mekanisme pasar. “Tidak ada rambu yang jelas dalam menentukan persentase minimum yang harus didapatkan musisi,” ujarnya. Persentase royalti pengumuman ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penyedia layanan digital (DSP), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dan penerbit. Sementara itu, royalti mekanis ditetapkan melalui perjanjian privat antara musisi dan berbagai pihak perantara.
Poin ketiga riset Koalisi Seni menyoroti tata kelola royalti yang belum transparan. Sampai saat ini, misalnya, belum ada kewajiban bagi LMK dan LMK Nasional untuk melakukan sosialisasi agar musisi menjadi anggota LMK. Survei Koalisi Seni pada 2022 lalu menemukan lebih dari separuh responden (59,6%) tidak mengetahui siapa yang menarik royaltinya. Sebagian besar responden mengetahui soal UU Hak Cipta, tapi 41,3% di antaranya tidak pernah membaca UU tersebut.
Survei juga mencatat 77,9% responden tidak bergabung dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Adapun sebanyak 36,%% responden tidak tahu kewajiban bergabung di LMK bila ingin mendapat royalti pengumuman. Sejumlah 104 musisi menjadi responden survei Koalisi Seni yang disebarkan secara daring ke jejaring dan anggota Koalisi Seni ini. Responden terdiri dari pencipta, serta vokalis/pemain instrumen tetap dan tidak tetap.
Tata kelola royalti menjadi pekerjaan rumah yang rumit karena sejumlah hal belum diselesaikan. Sampai sekarang, LMK belum dibebankan tanggung jawab jika Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) tidak sesuai tenggat waktu. Ada juga perdebatan soal sejauh mana Pemerintah mesti terlibat, dan bagaimana LMK bisa berfungsi mandiri. Saat masih ada yang mempertanyakan transparansi LMK, komisioner LMKN saat ini mesti membereskan alih fungsi penarikan royalti.
Adapun poin keempat dari riset Koalisi Seni mencatat soal lemahnya daya tawar musisi. Ratri menjelaskan, musisi kehilangan amunisi untuk mengartikulasikan kepentingan mereka. Kecenderungan kebijakan yang tidak berpihak membuat musisi selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. “Digitalisasi justru semakin melanggengkan ketimpangan kuasa antara pengguna dan penguasa teknologi, antara musisi dan DSP, label rekaman, dan pihak-pihak perantara,” kata dia.