/   Uncategorized @en

Krisis ekonomi dunia pada 2008 nyatanya masih menjadi landasan kebijakan kebudayaan Uni Eropa hingga sekarang. Situasi krisis yang bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika Serikat tersebut menyebabkan sistem produksi, yang didominasi oleh para pelaku industri raksasa, tidak dapat menghasilkan keuntungan akibat menurunnya daya beli masyarakat. Saat itu, bank sentral didorong untuk turut memompa dana demi memberi bantuan kepada sektor riil, yang juga sebenarnya ikut terancam likuiditas pasar.

Parlemen Uni Eropa, termasuk komisi untuk kebudayaan, menjawab hal ini dengan menerapkan strategi yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan peluang kerja. Programnya adalah Creative Europe. Strategi ini, untungnya, didukung oleh data yang menunjukkan bahwa ada sekitar 3,1% tenaga kerja di 25 negara EU bekerja di bidang kebudayaan, dengan sumbangsih PDB 2,6%.[1]  Pemerintah UE lantas mencanangkan sejumlah agenda terhadap industri budaya dan sektor kreatif, antara lain pengembangan manajemen, kewirausahaan, dan pembukaan akses terhadap sumber pendanaan.

Bank-yang telah disinggung di atas-dijadikan sebagai pihak yang dapat memberikan kredit kepada para pelaku sektor kreatif (secara individu maupun lembaga), meski selalu ada kekhawatiran tentang nilai pinjaman negatif para penerimanya. Setidaknya, sumber pendanaan ini perlu tetap diusahakan sebagai opsi pelengkap, mengingat terjadi dampak langsung krisis ekonomi di periode awal: pemangkasan anggaran sektor kebudayaan mulai dari tingkat nasional hingga regional.

Aspek yang ditekankan adalah membangun jaringan terbuka (open network) lembaga keuangan yang dikhususkan untuk seni budaya. Mereka menyebutnya semacam “cross sectoral strand”–ruang lintas sektoral yang mempertemukan pihak pendana dan pihak pelaku seni. Hal ini menunjukkan adanya perubahan cara pandang terhadap pelaku kreatif yang dulunya dipandang sebagai area nirlaba, menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi. Konsep fasilitas jaminan keuangan yang diusahakan Komisi Uni Eropa, yang sudah dipikirkan jauh sebelumnya, akhirnya beroperasi mulai 2016 dengan sasaran pinjaman sebesar €750 juta dari bank.[2]

Bukan berarti realisasi lintas sektoral ini dapat ditempuh dengan mudah. Contohnya terjadi di dalam sebuah forum di London pada 2009. Para lembaga keuangan di sana menyatakan keberatan dalam memberikan pinjaman kepada industri kreatif.[3] Tentu, respon ini merupakan respon klasik dari para pemodal yang diminta untuk berinvestasi pada sektor kebudayaan.

Komisi Eropa mengakui bahwa fasilitas jaminan pinjaman tidak dapat secara sama rata melayani berbagai subsektor kebudayaan. Fasilitas jaminan pinjaman diberikan bergantung terhadap besar nilai keuntungannya. Bagi subsektor dengan pasar yang besar seperti games, musik, dan penerbitan, skema pendanaan ini dianggap sebagai cara mengurangi ketergantungan mereka terhadap subsidi pemerintah.

Negosiasi kepada lembaga keuangan juga melibatkan Dewan dan Parlemen Eropa. Hasil  yang pertama adalah perluasan area jaminan pinjaman bank yang mencakup semua subsektor dengan variasi indikator pinjaman dan pengukuran. Hasil yang kedua dapat dilihat dari alokasi dana Creative Europe selama tahun berjalan 2014-2020. Dari total anggaran €1,46 milyar, 56% anggaran jatuh kepada subsektor audiovisual dan film, sedangkan 31%-nya kepada seni pertunjukan dan seni visual.[4]

Rosa Perez Monclus dari Culture Action Europe, sebuah lembaga independen di bidang kebijakan kebudayaan Uni Eropa, menyatakan bahwa Creative Europe memberi kesempatan bagi pemerhati seni budaya untuk unjuk diri di ranah kebijakan. Keterlibatan mereka berperan di dalam desain pendanaan yang dibuat lebih partisipatif, mulai dari pengembangan program, tujuan industri kreatif, sampai prosedur pinjaman bank.[5]

Selain perubahan pada mekanisme pendanaan, langkah lain yang ditempuh adalah mendorong kerjasama internasional. Aspek yang ditekankan adalah kolaborasi satu sama lain, bukan soal duta kebudayaan resmi. Kerjasama internasional diyakini tidak hanya menjadi ajang promosi kebudayaan dan keragaman (dampak sosial), namun juga mendorong pemasukan tidak langsung bagi kedua belah pihak penyelenggara (dampak ekonomi).

Di Belanda, kerjasama internasional dijadikan kebijakan kebudayaan khusus yang baru saja diterapkan. Nama program ini adalah “International Cultural Policy” yang berlangsung 2017-2020. Tiga sasarannya adalah 1) Membuat kebudayaan menjadi sektor unggul dengan meningkatnya pertukaran internasional dan kerjasama yang berkelanjutan, yang ditonton dan diapresiasi di luar negeri, 2) Lebih banyak ruang kontribusi bagi kebudayaan demi dunia yang aman, adil, dan sejahtera, dan 3) Menempatkan budaya sebagai diplomasi modern yang efektif.[6]

Dutch Culture, sebuah lembaga penasehat kebijakan kebudayaan internasional Belanda, mencatat bahwa ada 14.925 kegiatan di luar negeri yang terdiri dari konser, pameran, presentasi, dan publikasi. Angka tersebut naik 400 kegiatan dari tahun sebelumnya. Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis masih menjadi 10 besar negara tujuan, namun tujuan ke Cina, Brasil, dan Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.[7]

Menariknya, meski terjadi pemotongan anggaran di banyak negara di Eropa, jumlah produksi dan kerjasama internasional cenderung semakin naik tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan peningkatan kualitas manajemen dan dialog yang dinamis dalam sebuah penyelenggaraan. Kesempatan untuk berpartisipasi dalam program kesenian di museum maupun perusahaan cukup mudah, bahkan terjadi di kota-kota kecil. Seniman di Belanda sendiri tidak mendaftarkan dirinya sebagai seniman, namun sebagai freelancer, sehingga mereka bisa mendapat beberapa proyek sekaligus.[8]

Creative Eropa memperlihatkan kebijakan kebudayaan berkesinambungan dengan kebijakan lainnya, yaitu kebijakan keuangan dan kebijakan diplomasi luar negeri. Fungsinya sebagai pilar pendukung perkembangan kebudayaan itu sendiri.

Annayu Maharani: Meraih gelar sarjana di Universitas Indonesia jurusan Sastra Belanda. Menulis dan menyunting dalam topik seni dan sosial. Sejak 2014 bekerja di Koalisi Seni Indonesia sebagai peneliti yang berfokus pada kajian ekonomi-politik seni dan kebijakan kebudayaan.


Catatan kaki:

[1] Agenda Kebudayaan Uni Eropa di Dunia Global oleh European Parliament, the Council, the European Economic and Social Comittee dan Committee of the Regions http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=CELEX:52007DC0242 diakses pada 11 September 2017.

[2] Peraturan (EU) No 1295/2013 Of The European Parliament And Of The Council  tentang Pembentukan Program Creative Europe (2014 to 2020) http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=OJ:L:2013:347:0221:0237:EN:PDF diakses pada 15 September 2017.

[3]  “Impact Assessment Accompanying the Document Regulation of the European Parliament and of the Council Establishing A Creative Europe Framework Programme” oleh European Commission https://www.google.be/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0ah UKEwjFJePzoHNAhXFSRoKHY8QB1kQFggrMAE&url=http%3A%2F%2Fregister.consiliu m.europa.eu%2Fdoc%2Fsrv%3Fl%3DEN%26f%3DST 1718 diakses 6 September 2017.

[4] Peraturan (EU) No 1295/2013 Of The European Parliament And Of The Council  tentang Pembentukan Program Creative Europe (2014 to 2020) http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=OJ:L:2013:347:0221:0237:EN:PDF diakses pada 15 September 2017.

[5] Wawancara Rosa Perez Monclus (Culture Action Europe) pada 15 Agustus 2017.

[6] “International Cultural Policy 2017-2020” http://dutchculture.nl/en/international-cultural-policy-2017-2020 diakses 15 September 2017.

[7] “Netherlands Cultural Exports” http://dutchculture.nl/en/netherlands/netherlands-cultural-export-2016 diakses 14 September 2017.

[8] Wawancara Rinier Klok, Marie Fol, dan Veysel Yuce (Dutch Culture) pada 7 Agustus 2017.

New Post

Leave a Comment

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.