/   Uncategorized @en

Jakarta – Menjelang akhir masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2014-2019, pemerintah terus mendorong disahkannya Rancangan Undang-undang Ekonomi Kreatif (RUU Ekraf). Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf bahkan sempat menargetkan RUU ini rampung dibahas pada Agustus 2019. Padahal, masih ada poin-poin dalam RUU tersebut yang menimbulkan pertanyaan, termasuk dari anggota maupun mitra Koalisi Seni. Ada pasal yang terkesan represif, sementara pasal lain justru tak bergigi alias tanpa dampak.

Untuk itu, Koalisi Seni mengajukan permohonan kepada Bekraf untuk mengadakan diskusi publik. Namun, Bekraf kemudian mengundang Koalisi Seni untuk hadir dalam diskusi terbatas pada Kamis, 29 Agustus 2019. Dalam diskusi ini, anggota dan sekretariat Koalisi Seni hadir bersama perwakilan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dan Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI).

Salah satu polemik dalam RUU Ekraf ialah keberadaan pasal karet yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Pasal 5 RUU Ekraf ini—mengingatkan kita akan Pasal 5 dari Draf RUU Permusikan yang represif dan otoriter—berbunyi Pelaku Ekonomi Kreatif berkewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam kegiatan ekonomi kreatif.”

Padahal, nilai-nilai tersebut bersifat subjektif. Nilai agama atau moral yang dianut oleh seorang pelaku ekonomi kreatif belum tentu sejalan dengan nilai yang dianut oleh pelaku ekonomi kreatif yang lain. Oleh karenanya, sulit memaksakan standar objektif tentang nilai sebagai acuan baku dalam pelaksanaan sebuah perundang-undangan. “Aturan ini juga kontradiktif mengingat kebebasan berekspresi merupakan prasyarat pengembangan ekonomi kreatif. Swasensor justru menghambat munculnya terobosan baru,” ujar Koordinator Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay.

Hafez menuturkan, RUU ini juga tidak mengatur dengan jelas perihal tugas pemerintah dalam pengembangan Ekonomi Kreatif. Misalnya, Pasal 12 dan 13 tentang pembentukan sistem pengembangan pendidikan Ekonomi Kreatif. Kedua pasal itu tidak menjelaskan tugas tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau keduanya. Tidak juga disebutkan apakah hal tersebut didelegasikan kepada kementerian atau lembaga tertentu. Rumusan pasal hanya sebatas definisi dan penjabaran tanpa sifat pengaturan yang jelas.

“RUU ini juga tidak memuat bab mengenai tugas dan wewenang bagi pemerintah layaknya dalam beberapa undang-undang lain. Kita tidak tahu apakah RUU Ekraf ini dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi Pemerintah dalam menyusun kebijakan pengembangan ekonomi kreatif ke depan,” ucapnya. “Sebagai lembaga yang bergerak di bidang advokasi kebijakan, kekhawatiran utama kami adalah sumber daya yang dihabiskan dalam proses penyusunan peraturan tidak sebanding dengan kualitas peraturan yang dihasilkan. RUU ini dibahas dengan biaya yang begitu mahal untuk kunjungan kerja, rapat panitia kerja, hingga diskusi publik di berbagai daerah. Tapi pada akhirnya, RUU ini tidak mewajibkan siapapun untuk melakukan apapun. RUU ini hanya berisi narasi dan wacana tanpa sifat pengaturan yang tegas.”

Selain itu, pembahasan RUU Ekraf relatif sulit diakses publik. Tidak ada draf yang tersedia di platform resmi DPR maupun Bekraf, sedangkan rapat pembahasannya di DPR pun selau dilakukan tertutup. 

Ellena Ekarahendy dari SINDIKASI menyoroti tak dibedakannya pekerja dengan pengusaha ekonomi kreatif dalam RUU Ekraf. Keduanya justru disatukan menggunakan istilah “pelaku ekonomi kreatif” yang rancu. Untuk itu, ia mengusulkan nomenklatur mengenai pekerja ekonomi kreatif dalam RUU Ekraf. “Ini dapat dilakukan dengan menyatakan pekerja ekonomi kreatif dilindungi sesuai regulasi ketenagakerjaan yang berlaku,” ucapnya.

Selama pemaparan, Bekraf menyatakan keterbatasan kemampuannya mempengaruhi isi RUU ini. Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Bekraf Ari Juliano Gema, misalnya, menyatakan sebabnya adalah RUU ini merupakan inisiatif DPD sekian tahun sebelum Bekraf dibentuk. “Ketika DPD menyerahkan RUU ini ke DPR, DPR langsung menerima begitu saja. Tampaknya pembuatan RUU ini sangat tergesa-gesa. Ketika kami menerima, kami ‘terpaksa’ membahasnya pula. Untuk menanggapi RUU ini diperlukan instansi setingkat Kementerian, dalam hal ini Kementerian Perdagangan sebagai leading sector,” katanya memaparkan.

Ia juga meminta maaf jika ada kesan pelaku industri kreatif, termasuk pegiat seni, kurang dilibatkan. “Mohon kami dimaafkan, tidak ada maksud Bekraf meninggalkan mitra kerjanya dalam pembahasan. Kami sudah berusaha mensosialisasikannya,” ujarnya.

Kritik tentang kurangnya akses publik terhadap proses pembahasan RUU Ekraf juga ditanggapi Sabartua Tampubolon, Direktur Harmonisasi dan Regulasi Bekraf. Menurutnya, adalah DPR yang memutuskan pelaksanaan rapat pembahasan di parlemen selalu tertutup. Ia mengungkapkan Bekraf bahkan tidak memiliki kuasa untuk menentukan waktu rapat, diskusi publik, pembicara, maupun pesertanya. “Kami serba salah. Saat sosialisasi kami juga tidak bisa memberikan softcopy drafnya,” kata Sabartua.

Memang tidak semua aspirasi masyarakat diabaikan oleh Bekraf. Sabartua menjelaskan Pasal 5 yang mengancam kebebasan berekspresi sukses diganti dengan redaksi yang lebih halus dan tidak otoriter. Sanksi pidana pun lenyap dari draf terbaru.

Meski demikian, sejumlah masukan lain seperti absennya delegasi kewenangan dalam RUU serta nomenklatur pekerja ekonomi kreatif hanya ditanggapi oleh Restog Krisna Kusuma, Sekretaris Utama Bekraf, dengan menyatakan, “RUU Ekraf bersifat sebagai payung dan mengatur hal-hal yang sangat umum.” 

Bagaimanapun, status Bekraf sebagai badan yang tak berwenang jadi leading sector pembahasan RUU di DPR seharusnya tidak menjadi alasan keterbatasan pengaruh. “Berdasarkan pengalaman mengawal RUU Pemajuan Kebudayaan dan RUU Permusikan, Koalisi Seni menyadari besarnya pengaruh aspirasi masyarakat apabila terhimpun dan terfasilitasi dengan baik. RUU Permusikan bahkan belum masuk tahap pembahasan dan tanpa kementerian pengampu, namun dapat dibatalkan karena penolakan dari masyarakat. Sesungguhnya Bekraf dapat mengambil posisi sebagai penghimpun dan fasilitator aspirasi para pelaku ekonomi kreatif guna meningkatkan posisi tawarnya dalam perumusan RUU ini,” lengkap Hafez.

Anggota Koalisi Seni dari Jendela Ide, Andar Manik, menyarankan RUU Ekraf sebaiknya tidak disahkan apabila Bekraf menyetujui substansinya tidak memuaskan. “Saya merasa sangat prihatin mendengar pemaparan bahwa Bekraf terpojok. Saya bahkan melihat bahwa Bekraf sangat prihatin dengan apa yang terjadi dalam proses RUU ini, yang apabila disahkan dampaknya akan sangat besar terhadap pelaku ekonomi kreatif. Untuk ini, saya mengusulkan bahwa Bekraf mengadakan pertemuan lagi bersama Kementerian/Lembaga yang terlibat dan DPR. Koalisi Seni dapat memfasilitasi,” usulnya.

Mendengar tawaran itu, Bekraf menyambutnya. “Kami akan sangat senang sekali apabila Koalisi Seni dapat langsung menghubungi Komisi X DPR,” ucap Restog menimpali.

Menindaklanjuti pertemuan ini, Koalisi Seni berencana segera mengadakan diskusi publik dengan lebih banyak pemangku kepentingan. Komisi X DPR, Kementerian/Lembaga, serta pegiat seni dan industri ekonomi kreatif akan diundang untuk berpartisipasi. (Eduard Lazarus)

Unduh dua dokumen terkait RUU EKRAF ini untuk menelaah beleid tersebut lebih lanjut:

New Post

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.