/   Uncategorized @en

Danau vulkanik terbesar di dunia ini menyimpan banyak cerita. Tidak hanya tentang riwayat geologisnya yang penting dalam ranah ilmu pengetahuan dunia, tetapi juga tentang masyarakatnya.

Garis pantai sepanjang 28 kilometer membatasi sebelah barat laut Danau Toba, membentuk area yang seakan terpisah dari danau terbesar di Indonesia itu. Area perairan itu dijuluki Tao Silalahi. Dalam bahasa Batak, tao berarti ‘danau’.

Tao Silalahi punya pesonanya sendiri. Konon air danau di bagian ini berwarna biru cerah, bukan hijau seperti bagian lain Danau Toba. Palung terdalam Danau Toba, dengan kedalaman 905 meter dari permukaan laut, juga disebut-sebut berada di sini.

Ada lima desa di pesisir Tao Silalahi: Silalahi I, Silalahi II, Silalahi III, Paropo, dan Paropo I. Kelimanya tercakup dalam Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi. Orang-orang Batak Toba mendominasi Silalahi. Namun, karena wilayahnya berdampingan dengan Pakpak, Karo, dan Simalungun, ada perbedaan tradisi jika dibandingkan dengan Batak Toba di Samosir.

Sayangnya, perhatian dunia lebih banyak tersedot ke Samosir daripada ke Silalahi. Ini bukan cuma karena pemerintah daerah kurang tanggap untuk mengembangkan wisata di sana. Kondisi infrastrukturnya pun tak memungkinkan. Tidak ada dermaga sehingga feri dari Parapat atau Danau Toba tidak dapat berlabuh. Jalan-jalan juga rusak parah, baik menuju Tao Silalahi maupun antar-desa di dalam Kecamatan Silahisabungan.

Sekelompok orang muda Silalahi resah menyaksikan potensi alam dan budaya mereka tak dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah. Namun, mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk mengubah kondisi itu. Oleh masyarakat, adat yang ada dipandang sebagai beban, hanya menyita waktu dan materi. Teman-teman mereka sesama orang muda seakan tak peduli. Lebih banyak yang tak acuh, lebih senang menghabiskan waktu senggang dengan berkumpul di warung sambil minum tuak dan bernyanyi-nyanyi.

Pertemuan dengan Rumah Karya Indonesia (RKI) mengubah keadaan. Komunitas anak muda yang  bermarkas di Medan ini juga punya keresahan akan sedikitnya ruang eksplorasi seni di Sumatera Utara. RKI telah melaksanakan berbagai kegiatan seni budaya di seantero Sumatera Utara. Salah satunya, Dokan Arts Festival di Kabupaten Karo.

Anak-anak muda Silalahi kemudian berkunjung ke Dokan Arts Festival, melihat bagaimana RKI mengemas seni budaya menjadi pertunjukan yang bisa dinikmati masyarakat luas. Mengetahui minat kaum muda Silalahi, RKI mengadakan kunjungan balik ke Silalahi. Di sanalah RKI yakin bahwa Silalahi memang bisa menjadi daya tarik baru pariwisata Sumut.

 

Pada Mulanya Silahisabungan Arts Festival

Melihat alam dan situs budaya Silalahi, para pegiat seni RKI tergerak untuk melakukan sesuatu. Mereka menggagas kegiatan yang dapat mempromosikan budaya dan membangun perekonomian warga di daerah itu. Selama sembilan bulan pada 2016, RKI melakukan riset di Silalahi. Muncullah ide untuk mengadakan festival seni yang diberi nama Silahisabungan Arts Festival (SAFe). Rencananya, penyelenggaraan pertama adalah Desember 2016 dan nantinya dibuat menjadi kegiatan tahunan.

RKI sendiri, meski berfokus pada seni pertunjukan, seperti tari dan teater, terdiri atas anak-anak muda yang memiliki beragam latar belakang. “Tidak hanya dari kesenian, sebenarnya. Ada juga anak teknik, elektro, pariwisata, dan lain-lain,” tutur Ojax Manalu, Direktur RKI. Keragaman ini mendorong mereka melakukan eksperimen-eksperimen karya dengan tetap mempertahankan elemen tradisi.

Selama proses riset di Silalahi, sambutan warga lokal terhadap gagasan festival masih dingin. Mereka belum paham bagaimana festival bisa bermanfaat bagi wilayah mereka. Pada awal penyelenggaraan, SAFe bahkan memicu pro dan kontra di tengah-tengah warga. Karena itu, RKI mengadakan lokakarya-lokakarya pengelolaan festival demi mempersiapkan warga. RKI bertekad bahwa masyarakat lokal harus dilibatkan sebagai panitia penyelenggara agar timbul rasa kepemilikan terhadap festival. “Teman-teman RKI memproyeksikan dalam waktu dua tahun dari 2018, pengelolaan festival akan sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat lokal,” terang Ojax.

Dalam rentang tiga hari, SAFe 2016 punya rangkaian acara yang padat. Sebelas macam kegiatan diadakan, yakni “Festival Seni Tradisi, Cross Culture Music,” “Lomba Kreativitas Seni Pelajar,” “Opera Batak Silahisabungan,” “Lokakarya dan Diskusi Publik,” “Tabur Bibit Ikan,” “Menanam Pohon dan Bunga,” “Geobike Silalahi,” “Open Trip Dairi,” “Paket Wisata Air,” dan “Camping Ground.”

Panggung Cross Culture Music menampilkan pertunjukan lintas tradisi antara empat suku yang mempengaruhi budaya Silalahi: Pakpak, Toba, Karo, dan Simalungun. Ada 28 kelompok kesenian yang tampil di panggung selama tiga hari. Dalam penyelenggaraan pertama ini, RKI sukses melibatkan pemerintah daerah dan komunitas-komunitas lokal.

Dari kegiatan-kegiatan itu, jelas terlihat bahwa fokus penggarapan RKI di Silalahi adalah seni dan budaya yang bersentuhan dengan lingkungan. Bahkan festival dibuka dengan mata acara “Lokakarya dan Diskusi Publik tentang Geopark Kaldera Toba.” Acara ini menghadirkan narasumber dari Badan Pengurus Geopark Kaldera Toba dan Dinas Pariwisata Kabupaten Dairi. Di sana narasumber memaparkan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan geopark sebagai tempat tujuan wisata.

 

Memperkuat Festival Sembari Jalan

Respons positif masyarakat lokal mulai muncul saat festival menghadirkan ribuan wisatawan dalam program “Seribu Tenda” pada SAFe 2017. Dalam program ini, wisatawan diajak berkemah di Pulau Paropo sambil membangun kesadaran untuk ikut menjaga area tujuan wisata. Untuk itu, RKI menggandeng dua komunitas bermassa besar, komunitas pegiat media sosial dan pencinta alam. Hasilnya, ratusan tenda warna-warni menghiasi pesisir danau selama tiga hari pelaksanaan acara.

Panitia mencatat, ada sekitar 4.000 pengunjung yang hadir dalam SAFe 2017. Media-media dari luar Sumut pun menunjukkan ketertarikan mereka. SAFe 2017 sempat menghiasi halaman muka media cetak dan menjadi trending topic di media sosial.

Hermanto Situngkir, Wakil Direktur Festival tahun 2018, menyatakan bahwa mata warga lokal kini terbuka. “Mereka melihat bahwa aset seni budaya dan pemandangan alam yang mereka punya membawa dampak ekonomi,” jelasnya. Kesadaran ini bisa mendorong masyarakat untuk terus menghidupkan seni budaya, serta merawat alam dan situ-situs budaya di sekitar mereka.

Saat Hermanto menjadi Wakil Direktur pada penyelenggaraan ketiga ini, SAFe berganti nama. Kini namanya menjadi Tao Silalahi Arts Festival (TASF). Kecamatan Silahisabungan memang lebih tenar dengan sebutan “Tao Silalahi”. Nama baru ini juga lebih mudah diucapkan oleh pengunjung dari luar Sumut. Tetapi yang panitia lakukan bukan sekadar mengganti nama.

Tim RKI memperkuat konsep pengembangan pariwisata berbasis budaya dan ekologi dalam TASF 2018. Lima ribu pohon ditanam selama acara ini. Jenis pohon yang dipilih adalah pohon alpukat dan mangga. Ojax menjelaskan, “Kedua tanaman ini dipilih karena hasil dari keduanya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendapatkan penghasilan tambahan.” Diharapkan agar masyarakat lokal termotivasi merawat pepohonan yang sudah ditanam.

Yang menarik lagi adalah Festival Kopi. Beberapa tahun terakhir seluk-beluk kopi dan budaya ngopi memang telah menjadi kecenderungan jamak di seantero negeri. Panitia TASF peka melihat tren ini. Kopi lokal pun diangkat menjadi sorotan dalam serangkaian kegiatan, yaitu bincang-bincang, coffee arts, stan penjualan kopi, dan minum kopi Sidikalang 4.000 cangkir bersama-sama.

Keterlibatan warga lokal pun lebih besar kali ini. Masyarakat lokal ikut sumbang suara dalam pembuatan konsep artistik. Kedua sanggar tari anak lokal, Sanggar Grace dan Sanggar Silalahi II, turut tampil di panggung TASF 2018. Kedua sanggar tari tradisional itu didirikan setelah lahirnya festival, tepatnya 2017 dan 2018, dan melatih anak-anak dari tingkat SD sampai SMA. Pemerintah desa menyokong lewat dana pendirian, sedangkan dana pengelolaan berasal dari swadaya masyarakat. Sebagian pengajar didatangkan dari Medan. “Mereka juga mencari pelatih dari wilayah mereka yang sudah sejak lama menghidupi tari tradisi,” tambah Hermanto.

Jumlah pengunjung dalam TASF 2018 sudah melewati angka 5.000 orang. Jadwal penyelenggaraan yang konsisten membantu calon pengunjung, terutama dari luar Sumatera dan luar negeri, untuk menyiapkan diri datang. Panitia mencatat 18 orang pengunjung dari Ceko yang hadir, berbaur dengan pengunjung dari Jakarta, Surabaya, Makassar, dan tentunya, warga Sumatera sendiri. Di luar acara, Silalahi kini dikunjungi 600-700 orang per minggu.

Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan dukungannya dengan hadir dalam TASF 2018. Pemerintah kabupaten berjanji akan berkontribusi langsung untuk menguatkan partisipasi masyarakat lokal. Karena hal ini masih dalam tahap pembicaraan, belum ada komitmen tertulis maupun tindak lanjut di lapangan. Namun, setidaknya pemerintah kabupaten telah bergerak memperbaiki akses jalan ke festival. Pengaspalan dilakukan sebelum TASF 2018, tepatnya pada Juni.

 

Tuan di Kampung Sendiri

Ditunjuknya Hermanto, pegiat budaya asal Silalahi, sebagai Wakil Direktur adalah bagian dari rencana RKI untuk menyerahkan pengelolaan festival sepenuhnya kepada warga lokal. Tahun depan, dalam penyelenggaraan keempat, Hermanto diharapkan sudah bisa menjadi Direktur Festival menggantikan Ojax.

Transisi kepengelolaan, menurut Ojax, hanyalah bagian kecil dari tujuan mereka membangun TASF. “Kami ingin membangun rasa kepercayaan dan tanggung jawab masyarakat. Seperti istilah ‘tuan di kampung sendiri’,” lanjutnya. Ia mengamati bahwa masyarakat perlahan telah mengubah sikapnya. Mereka kini lebih sadar untuk menjaga lingkungan. Mereka sadar bahwa alam dan budaya yang mereka jaga akan berdampak terhadap kenyamanan pengunjung, yang pada akhirnya berdampak terhadap penghasilan mereka.

Jumlah pengunjung yang terus meningkat mau tidak mau menyadarkan masyarakat akan dampak ekonomi TASF. Kini anak-anak muda yang ikut menjadi panitia bisa memiliki penghasilan sendiri dan belajar tentang bisnis hospitality. Pungutan liar yang dulu sering terjadi sekarang berkurang. Masyarakat malah tergerak untuk mendirikan dan mengelola beragam usaha, seperti jasa penyewaan alat-alat kemah, parkir, kebersihan, dan warung makan. Panitia sendiri tidak tinggal diam. Mereka menggalang dana lewat penjualan t-shirt. Selama penyelenggaraan ketiga yang lalu sudah terjual 50 lusin. Pembelinya adalah anggota komunitas yang berpartisipasi dalam acara.

Transisi kepengelolaan oleh Ojax dan tim RKI sekaligus menjadi cara untuk menyerahkan visi kepada warga. Visi itu pada dasarnya adalah penguatan kebudayaan di Silalahi agar panjang hidupnya, dan kesenian tumbuh dan berkembang di antara generasi lebih muda. Tentu, seni dan budaya yang hidup kuat diharapkan bisa membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal.

*Artikel “Unjuk Karsa di Tepi Toba” merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia. Buku bisa dibeli dengan mengirimkan surel ke sekretariat@koalisiseni.or.id.

New Post

Leave a Comment

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.