Sejak menjadi calon imam Keuskupan Atambua, saya sudah merasa terpanggil juga untuk menggarami dunia lewat seni dan budaya, meskipun tidak harus mengenyam pendidikan formal khusus seni dan budaya. Modalnya adalah kemauan untuk berdinamika dalam ruang sosial budaya. Semangat belajar seni dipupuk terus secara autodidak demi pengembangan diri. Dengan harapan, inisiatif ini dapat bermanfaat suatu hari nanti.
Tahun 2009 saya mengajar dan membina calon imam di Seminari Lalian Atambua. Para siswa diajari biola, gitar dan keyboard dasar dengan modal pengetahuan autodidak seadanya. Prinsipnya, ‘tidak ada rotan akar pun jadi’. Saya juga terlibat dalam aktivitas seni dan budaya di daerah. Sejak akhir 2015, bergabung dalam Perkumpulan Koalisi Seni Indonesia. Tahun 2016, menginisiasi Halte Kopi sebagai cikal bakal ruang nongkrong publik di kota kelahiran Atambua. Merintis SALT, Sanggar Belajar Alternatif untuk seni musik di Atambua. Mendirikan Komunitas Jalinan Ekokultur Fohorai sebagai komunitas budaya. Sejak tahun 2018 bersama Indonesiana menyelenggarakan festival Fohorai, sebagai festival budaya di Belu pada 9 kampung adat. Tahun 2018, mendorong dan menginisiasi PPKD Kabupaten Belu dan terlibat langsung sebagai Tim Pemutakhiran PPKD Belu Tahun 2024. Dan masih ada beberapa aktivitas seni dan budaya lain dimana saya juga ikut nimbrung di dalamnya. Sekarang bertugas sebagai Pastor Paroki St. Yohanes Pemandi Bakitolas, tapal batas Indonesia – Timor Leste.
Menjadi salah satu Tim Pemuthakiran AD-ART Koalisi Seni menjadi momentum pembelajaran yang berharga untuk memacu diri lebih mencintai ekosistem seni budaya sebagai ruang sosial yang masih dianggap minority sector dalam kebijakan publik di tingkat nasional. Dan pada akhirnya, dipercaya oleh Koalisi Seni menjadi anggota Pengawas Koalisi Seni terhitung Agustus 2024.