/   Uncategorized @en

Oleh Joned Suryatmoko
Anggota Koalisi Seni, Mahasiswa Doktoral Theatre and Performance Program, The Graduate Center- City University of New York (CUNY)

Dimuat di Harian Kompas, 13 September 2020

Sejak beberapa bulan lalu, kegiatan Konsolidasi Umum Masyarakat dan Himpunan Budaya atau KuMaHa menjadi perbincangan di kalangan pekerja seni Indonesia, termasuk pekerja teater. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ini bermaksud mendorong terciptanya asosiasi profesi budaya yang menghimpun para pelaku budaya di sektor kesenian.

Kegiatan ini mempunyai kerumitan sendiri di bidang teater, mengingat proses tumbuh, karakter kerja, dan hubungan uniknya dengan negara. Salah satu pertanyaan kunci yang muncul adalah apa yang lebih dibutuhkan teater Indonesia, asosiasi profesi atau lembaga payung untuk komunitas teater kita? Untuk membangun jawabannya, kita lihat kembali fondasi seperti apa yang teater Indonesia miliki, terutama pascareformasi.

Fondasi pertama yang harus ditunjuk adalah praktik teater itu sendiri. Teater Indonesia membuktikan dirinya resisten dan menjadi pertahanan masyarakat sipil selama rezim Orde Baru (Orba). Meski pada dekade 1970-an teater modern juga muncul di kota lain, seperti Padang dan Makassar, perhatian media dan dunia akademik global berpusat pada dinamika teater di Jawa atau malah Jakarta karena politik kita yang juga terpusat saat itu. Di satu sisi, hal ini merepresentasikan teater kita yang prodemokrasi, tapi di sisi lain representasi itu memberi kesan teater Indonesia yang terpusat.

Menjelang runtuhnya Orba pada akhir 1990-an, keterbukaan informasi membuka mata kita untuk melihat generasi baru lahir di banyak kota, seperti Bandung, Lampung, Makassar, Bali, Jakarta, Yogyakarta, dan kota lain. Generasi ini mewarisi sekaligus menyesuaikan perspektif kritis pada negara dan masyarakat lewat tema identitas, globalisasi, hingga isu lokal. Artinya, lagi-lagi teater Indonesia memilih kritis dalam melihat kenyataan sosial politik dan sekaligus tidak terpusat.

Peran Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) penting dicatat sebagai fondasi berikutnya karena praktiknya yang lama dan beragam. DKJ banyak berkontribusi dalam memproduksi pengetahuan dan konsolidasi teater Indonesia lewat berbagai pertemuan teater hingga sekarang.

Setelah reformasi ruang alternatif dan hibah seni muncul di berbagai kota yang beraktivitas teater kuat. Hal ini memperlancar produksi pengetahuan teater. Menjelang reformasi, gerakan ini bermula dari munculnya ruang alternatif, seperti Komunitas Utan Kayu (berubah menjadi Komunitas Salihara) dan pemberian hibah seni serta kegiatan magang, seperti yang dilakukan Yayasan Kelola.

Lingkaran teater kampus, institut seni di sejumlah kota, termasuk pendidikan pascasarjana berbagai universitas juga memperluas profesionalisme teater. Alhasil, profesi seperti pimpinan produksi hingga manajer/penata panggung tergambar semakin jelas karena pengetahuannya terdemistifikasi, termasuk dengan dukungan internet.

Pendek kata, dalam dua dekade terakhir lanskap teater Indonesia berubah karena dinamika teater tiap kota dan kontribusi lembaga-lembaga tadi. Teater kita yang mulanya terkesan menjulang dalam satu pohon besar di Jakarta dan Jawa berubah menjadi rimpang yang menjalar dan menyebar tanpa pokok (rhizomatic). Teater semakin berkembang di banyak kota di Pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Madura serta Nusa Tenggara dan mengunggulkan kesuburan teater kita dibandingkan dengan negara Asia Tenggara yang lain.

Bicara soal negara lain, lembaga kebudayaan dan pendana asing berperan mengembangkan keterlibatan kita pada percakapan teater global dan regional, sekaligus penguatan internal organisasi teater. Kemunculan dana kesenian dari perusahaan rokok dan instansi perbankan juga memperbanyak praktik pendanaan teater pascareformasi.

Ketika isu industri kreatif menguat sepuluh tahun terakhir, teater terlihat paling terseok mengikuti nalar itu karena dalam rimpangnya teater kita jarang tumbuh dari nalar industri. Pada saat bersamaan, teater di berbagai kota mulai mengakrabi advokasi kebijakan dengan skala dan cara yang berbeda terkait otonomi daerah. Sebagian dari mereka berkoordinasi dalam kerja kolektif, seperti dalam Koalisi Seni Indonesia, untuk memulai langkah strategis di bidang advokasi kebijakan. Dengan demikian, teater juga mulai menunjukkan gestur positif menjadi mitra pemerintah dalam merumuskan kebijakan kesenian dan kebudayaan, tanpa meninggalkan nalar kritisnya.

Tulisan ini tidak akan mampu mengulas semua lapis fondasi teater kita pascareformasi. Namun, setidaknya dengan menimbang semua itu, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Direktorat PTLK melihat teater bukan hanya sebagai bidang pekerjaan yang membutuhkan profesionalitas.

Teater perlu dilihat sebagai kerja kebudayaan yang menumbuhkan dan merawat nalar kritis masyarakat, imajinasi, dan dengan begitu memunculkan harapan bangsa Indonesia. Teater kita adalah bagian integral dari seluruh rancangan dan rakitan kerja kebudayaan Indonesia pascareformasi.

Kebutuhan strategis sekarang adalah lembaga payung yang visioner, terbuka, serta terakses yang diberi wewenang dan dana untuk merumuskan dan menumbuhkan rimpang teater Indonesia secara organik yang terhubung dengan kerja kebudayaan Indonesia, seperti amanat UU No.5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Asosiasi profesi tetap penting, bisa masuk dalam lembaga payung dan seyogyanya bagian dari konteks kerja kebudayan itu.

Rumusan ini sulit diterima jika negara mengarahkan teater melulu sebagai kerja industri kreatif dan mengabaikan fondasinya sebagai platform demokrasi atau komunitas kreatif. Pada saat bersamaan – karena sudah menjadi rimpang – teater Indonesia perlu membuka diri melihat kemungkinan lain, termasuk profesionalisme ekonomi dalam industri kreatif sehingga tidak terjadi penunggalan makna teater Indonesia.

Dengan segala fondasi pengalaman kita, teater Indonesia cukup dewasa untuk bergerak ke sana dan merumuskan pengetahuan baru tanpa harus meninggalkan semangat kritis yang menjadi visi praktiknya selama ini.

Ilustrasi: Michael Schwarzenberger via Pixabay

New Post

Leave a Comment

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.