/   
Dewa Ayu Eka Savitri Sastrawan
Bali

Bali

Dewa Ayu Eka Savitri Sastrawan atau lebih dikenal dengan Savitri Sastrawan, kurator kelahiran Bali yang memiliki gelar master dari Goldsmiths University of London. Sebelumnya, ia belajar Seni Lukis di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali dan Chelsea College of Art and Design, UAL, UK. Savitri mendapat pekerjaan sebagai kurator pada 2015 untuk mengerjakan proyek “Merayakan Murni”, sebuah pameran persembahan seniman perempuan ikonik Bali IGAK Murniasih (1966-2006) yang mengangkat isu seksualitas dan identitas dalam karya-karyanya. 

 

Perempuan yang suka menggambar sejak saat balita ini, dikenalkan dengan lukisan dan karya seni dari pamannya. Pengalaman inilah yang menggelitiknya  untuk menekuni seni pada awalnya. Sejak Sekolah Dasar, Savitri berkeyakinan untuk mengatakan pekerjaan impiannya adalah menjadi seniman. Ketertarikan kepada seni adalah karena ia memang memiliki perasaan sejak awal bahwa dengan seni dan kreativitas, dunia bahkan lebih luas lagi untuk dapat dijelajahi. Menurutnya, seni adalah cara hidup yang cenderung dilupakan orang, dan ia merasa beruntung bisa berada di dalamnya.

 

Sebagai pekerja lepas seni dan bahasa, Savitri tertarik dalam menjelajahi kemungkinan-kemungkinan antar disiplin di kesenian dan bahasa dalam kebudayaan dan masyarakat kita saat ini. Tidak terkecuali rekoleksi narasi-narasi yang ada dalam sejarah, geografi dan budaya visual yang ada di atau tentang Bali dan Indonesia. Pada 2018, Savitri menjadi kurator pameran fotografi Perjamuan Terakhir karya Syafiudin Vifick yang diadakan di Uma Seminyak. Menurut kurator Savitri, tema Perjamuan Terakhir secara harfiah menjadi refleksi terhadap apa yang terjadi di Bali setelah krisis Gunung Agung. Ia menyuarakan ide dan kegelisahannya dalam Rupa Bali Podcast yang membahas, seputar dunia kesenian dan kebudayaan di Bali. Dalam tesisnya, Savitri menulis  gerakan tolak  reklamasi yang  direncanakan di Teluk Benoa untuk menjadikannya sebagai resor, kawasan pengembangan. Yang menggelitiknya dalam gerakan itu adalah orang-orang yang terlibat adalah seniman yang vokal. Dari proses ini, ia tertarik dengan cerita-cerita kecil yang tidak diceritakan untuk melawan cerita yang lebih besar. 

 

Savitri berpikir bahwa Bali memiliki hampir semua kemungkinan untuk menjadi kreatif, baik dari tradisi atau pengaruh baru, semuanya berbaur di pulau ini. Pada 2018-2019 Savitri menjadi salah satu perintis Futuwonder, kolektif lintas disiplin yang bekerja dalam platform pengembangan kesenian dan wacana seni visual serta mendukung terjadinya aktivitas seni bagi perempuan. Ia juga terlibat di beberapa pameran atau kegiatan seni yang berbasis komunitas seperti Rurung Gallery, Kulidan Space, Taman Baca Kesiman, Uma Seminyak, Cush Cush Gallery dan sebagainya. 

 

Saat ini, Savitri berdomisili di Bali dan fokus melakukan ragam proyek seni. Ia menerbitkan buku “Things Your English Books Don’t Tell You” bersama EnglishTips4U pada 2014 dan juga sebagai kontributor di Routledge Handbook of Cultural and Creative Industries in Asia 1st Edition pada 2019.

New Post

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.