/   Uncategorized @en

Katanya, orang Indonesia gemar menyumbang. Tapi, survei PIRAC pada 2007 bilang hanya 3% responden menyumbang sektor seni. Lalu, bagaimana situasi filantropi seni sekarang? Bagaimana COVID-19 mengubah ekosistem seni dan cara kita memberi?

Koalisi Seni dan Filantropi Indonesia membahasnya dalam diskusi “Filantropi Seni Pascapandemi” pada program Ruang Publik KBR, 8 Juli 2020. Empat narasumbernya ialah Amna Kusumo (Yayasan Kelola)⁣, Ratri Ninditya (Koalisi Seni)⁣, Raden Maulana (Kolase.com)⁣, dan Dr. Dina Dellyana (HMGNC & SBM ITB)⁣.

Diskusi ini adalah bagian dari peluncuran buku “Seni Memberi untuk Seni”, yang membukakan jalan bagi kita semua agar bisa menjadi filantrop seni dan memajukan ekosistem seni. Buku ini dapat diunduh secara gratis di laman ini.

Berikut rekaman video perbincangan tersebut. Audionya bisa disimak pula di podcast Ruang Usik-Usik. Notula dari bincang-bincang ini dapat dibaca di bawah video.

Ines Nirmala

Halo, selamat pagi. Sudah ramai, ya. Langsung saja deh, kita ke Ibu Amna Kusumo, Pendiri Yayasan Kelola. Bisa diceritakan nih, Ibu Amna, Yayasan Kelola bergerak untuk apa, sih?

Amna Kusumo

Yayasan Kelola itu didirikan tahun 1999 karena kami melihat dukungan untuk seni itu sangat sedikit. Yang memberi dukungan itu biasanya perusahaan-perusahaan besar, tapi mereka selalu melihat itu sebagai upaya pemasaran sehingga yang didukung itu seniman-seniman terkenal. Kalau misalnya begitu, bagaimana seniman muda yang punya potensi itu bisa tumbuh. Keprihatinan itulah yang membuat kami mendirikan Yayasan Kelola, sebenarnya begitu.

Ines Nirmala

Jadi, bibit-bibit muda ini dibantu juga melalui karya-karyanya, ya. Pagi ini kita membahas filantropi seni. Nah, bisa dijelaskan juga nih, Bu Amna, apa yang dimaksud filantropi seni itu?

Amna Kusumo

Kalau kita cari, kita Google, filantropi itu banyak sekali penjelasannya dan kadang-kadang tidak selalu sama. Yang sama, itu berasal dari dua kata di bahasa Yunani filan dan tropos, yang kalau diartikan jadi “kasih antara sesama manusia”. Kasih antara sesama manusia ini adalah yang mendorong manusia membantu sesama yang meningkatkan kesejahteraan bagi kegiatan apa saja yang dekat di hatinya: bisa kegiatan kesenian, lingkungan, anak-anak, yang diwujudkan dengan pemberian sumbangan yang dapat dianggap berguna dan juga berdampak positif bagi masyarakat. Secara ringkas begitu.

Menurut saya, di sini saya ingin fokus pada sumbangan dana. Di sini, di Indonesia masih sangat lemah. Tidak hanya seniman, pegiat lingkungan juga butuh dana, mereka tidak bisa bergerak tanpa dana. Sampai saat ini, pemberian dana itu masih sangat bergantung pada lembaga donor dari luar negeri. Sebenarnya tidak perlu lagi, kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya sudah mampu mendukung kegiatan-kegiatan yang berdampak pada kebaikan bangsa Indonesia sendiri, tidak perlu bergantung pada lembaga luar negeri.

Ines Nirmala

Nah, Bu Amna mungkin bisa menceritakan pengalaman soal seniman yang akhirnya dibantu lewat Yayasan Kelola sendiri, seniman yang sudah dibantu siapa saja, Bu?

Amna Kusumo

Banyak sekali, kalau kita mau menyebut beberapa nama misalnya dari seniman belum terkenal sampai terkenal, lagi ngetrend itu Papermoon, salah satunya. Ria, nama pengurusnya. Teater Boneka. Karya mereka dari yang belum dipentaskan sampai dipentaskan itu salah satunya mendapat hibah dari Yayasan kelola. Dari situ kita bisa melihat betapa pentingnya membantu. Kalau gak salah, Ria itu dapat tahun 2010, umurnya baru 20 berapa. Kalau ke perusahaan besar, mungkin akan dicuekin aja. Mungkin.

Ines Nirmala

(tertawa) Jadi begitu, ya. Lewat Yayasan Kelola, seniman ini jadi dibantu buat berkarya. Oke, kita lanjut ke Mbak Ratri. Selamat pagi.

Ratri Ninditya

Halo, selamat pagi.

Ines Nirmala

Ini buku terbaru ya yang diterbitkan Koalisi Seni dan Filantropi Indonesia, judul bukunya Seni Memberi Untuk Seni. Seperti apa nih, potret filantropi seni di Indonesia dari kaca mata Mbak Ratrie?

Ratri Ninditya

Aku jelasin dulu ya soal bukunya. Jadi, buku ini seperti panduan awal buat temen-temen yang punya minat pada bidang seni dan ingin mulai membantu dalam seni. Jadi, di dalem situ kita cerita bagaimana kalo membantu itu tidak harus berupa uang dan kalopun berupa uang tidak harus dalam jumlah besar. Di situ, kita juga paparkan perubahan-perubahan baru yang terjadi dalam cara orang membantu, seperti platform digital yang kita sebut juga patungan online. Kita ramai-ramai dalam jumlah kecil untuk seorang seniman agar karyanya ini jadi/dibeli.

Menarik juga, selama masa pandemi, geliat komunitas/filantropi seni sangat kerasa banget atau keliatan banget dampaknya. Terutama di lingkup komunitas. Banyak temen-temen komunitas seni di berbagai daerah yang misalnya membuat ruang pribadinya jadi dapur umum, atau mengumpulkan bahan makanan di sanggarnya masing-masing, atau mungkin menyediakan ruang digital untuk temen-temen berbagi karya, berdiskusi, ada lagi yang menggunakan seni sebagai alat pemulihan. Misalnya juga, seni digunakan sebagai pemantik untuk orang membantu atau apresiasi sebagai donaturnya, banyak contoh kegiatan filantropi yang dilakukan di level komunitas.

Cuma, memang permasalahannya adalah kecil-kecil dan sporadis. Di lingkup komunitas ini udah jadi awam banget teman-teman tau kalo berkesenian dan berfilantropi bedanya tipis banget. Bantu-bantu aja. Mungkin karena jiwa solidaritas tinggi. Memang tidak berpikir atau apa, bantu ya bantu aja. Kayak memang, urgensi menghidupkan seninya tinggi banget yaudah langsung aja spontan, tanpa mikir, bekerja sama antara seniman dan non-seniman mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu. Bereksperimen tentang bentuk-bentuk kesenian yang baru selama social distancing ini.

Satu lagi, jadi saking kuatnya jiwa filantropi antara pegiat seni, mereka lupa kalo seniman juga butuh skema pendanaan yang sistemik dan berkelanjutan.

Ines Nirmala

Jadi, mungkin dibayarnya pake makasih aja karena jiwa filantropinya yang tinggi. Tapi, sebenarnya untuk berkarya butuh dibantu salah satunya dengan pendanaan. Kita juga akan ngobrol nih sama salah satu pendiri Kolase.com sebuah lembaga crowdfunding, Mas Raden Maulana. Selamat pagi, Mas Raden.

Raden Maulana

Halo, selamat pagi.

Ines Nurmala

Pagi-pagi sudah standby ya, Mas. Jadi, Kolase.com ini situs penggalangan dana. Apa yang jadi latar belakang Mas Raden membentuk Kolase.com?

Raden Maulana

Sebenarnya, ada dua latar belakang. Sebagai pribadi dan melihat Indonesia punya banyak potensi, penduduknya besar, seni banyak banget, tapi memang tata kelolanya belum baik. Sebagai pribadi, saya dulu musisi. Jadi tau masalah dan potensinya besar itu sebelah mana. Dari mulai sebagai ketidakpercayaan jadi pekerja seni sejak kecil. Jadi musisi itu, ngapain sih jadi musisi? Akhirnya, kolase ini jadi wadah yang ngebantu para musisi Indonesia dan mereka jadi sesuatu.

Ines Nirmala

Oke. Jadi pagi ini kita juga mengundang Mbak Dina Dellyana. Bersama HMGNC, Mbak Dina juga menggunakan crowdfunding untuk menghasilkan karya. Lagi sibuk apa akhir-akhir ini?

Dina Dellyana

HMGNC lagi mau rilis lagi, berusaha tetap produktif, ya.

Ines Nirmala

Wah, berusaha tetap produktif, ya. Sudah ada lima album HMGNC, ya. Jadi, bisa diceritakan apa saja karya HMGNC yang dikeluarkan lewat filantropi.

Dina Dellyana

Waktu itu ada film Demi Ucok, mungkin temen-temen pernah tau juga. Film itu dibuat juga lewat pendanaan filantropi. Soundtracknya juga dikerjakan oleh HMGNC. Kita juga rekaman buat film itu, dulu belum secanggih sekarang. Kalo rekaman kita harus ke studio. Harus bayar biaya mastering, segala macem dan dananya berasal dari crowdfunding yang dicari dan digalang oleh tim Demi Ucok. Dalam waktu lumayan singkat sekitar satu bulan, mereka berhasil crowdfund 2 sampai 3M. Itu juga buat membiayai proses produksi sampai post-produksi si albumnya HMGNC buat Demi Ucok itu. Jadi, lumayanlah.

Dari situ, selain bikin lagu buat film juga, kita dapat biaya buat bikin video klip juga, itu kan lumayan biayanya besar. Itu dari dana crowdfunding juga yang jadi pengalaman pertama kita crowdfunding bareng film Demi Ucok. Untuk mencari dana dan mempromokan juga.

Ines Nirmala

Baik, sekarang kita sapa dulu para pendengar kita yang sudah bergabung lewat telepon. Ada Bapak Owi di Cirebon. Selamat pagi, Pak. Langsung aja, nih. Apa yang ingin ditanggapi atau ditanyakan.

Bapak Owi (Penanya dari Cirebon)

Untuk di kota cirebon sepertinya belum seperti di kota-kota besar lainnya. Sedangkan, di Cirebon itu banyak seniman. Untuk menggiatkan kembali, arahannya bagaimana? Padahal, seniman di Cirebon itu banyak banget dan mereka bingung harus bagaimana? Tolong dicerahkan.

Ines Nirmala

Jadi, pertanyaan Pak Owi ini bagaimana seniman di cirebon yang jumlahnya banyak digiatkan juga, caranya bagaimana? Mungkin dari Bu Amna bisa memberikan informasinya bagaimana, atau tips-tipsnya?

Amna Kusumo

Selamat pagi, Pak Owi dari Cirebon. Senang sekali ada orang dari Cirebon, pagi-pagi mendengarkan acara ini. Saya kira, kita harus mulai dari daerah masing-masing. Saya yakin di Cirebon pasti ada yang mau menyumbang untuk kegiatan kesenian di Cirebon. Tapi, memang seperti di mana pun, selalu butuh motor. Ada orang yang harus menggerakan.

Saat ini, lewat kemajuan teknologi, sebenarnya menggerakannya itu lebih mudah. Dulu itu waktu tahun 99 harus bertemu orang ke sana sini untuk menjual gagasan ke orang-orang mengenai apa yang kita mau lakukan. Sekarang, kan banyak platform-platform crowdfunding. Sekarang saya percaya platform ini yang akan menyelamatkan indonesia karena orang bisa menjadi filantropis tanpa menyumbang banyak-banyak. Kalo dulu, nama yang muncul adalah Soros, Open Society, Word Foundation. Tapi, sekarang dengan platform crowdfunding ini, pemuda Indonesialah yang akrab dengan teknologi yang akan jadi motor penggerak penggalangan dana di daerah masing-masing. Saya kira, Pak Owi harus ke sana.

Ines Nirmala

Atau mungkin Mas Raden juga mau menambahkan bagaimana caranya untuk mencari pendanaan atau menggiatkan kembali para seniman. Silakan Mas Raden Maulana dari Kolase.com.

Raden Maulana

Oke, terima kasih, Pak, sudah bergabung pagi ini. Saya setuju dengan Bu Amna mengenai sekarang bisa menggunakan platform-platform digital, karena digitalisasi bisa mempercepat semuanya. Biasanya, semua konvensional. Sekarang, dengan adanya digitalisasi lebih cepat. Saya setuju dengan itu.

Yang paling penting bukan hanya penggalangan dana, saya melihatnya malah justru gimana caranya masyarakat seni Cirebon, membuat orang tau seni apa yang ada di Cirebon. Justru, reasonnya itu yang harus dikembangkan di masing-masing daerah, karena kita kebanyakan tidak tahu apa nih yang mau dikembangkan. Apalagi seni itu luas banget, musisi luas banget. Kadang, kita ngeliatnya gak begitu tertarik dengan apa yang bisa mereka dapetin dari seni yang mereka kasih. Mulai dari sisi ide, teknologi, promosinya itu lewat digitalisasi memang lebih tepat.

Ines Nirmala

Dan selanjutnya sudah bergabung juga di telepon pendengar kita, Tri di Jakarta. Ada pertanyaan apa, Ibu Tri?

Ibu Tri (Penanya dari Jakarta)

Terus terang, saya baru dengar ada platform Kolase.com, ini harus didukung. Mungkin perlu dicari jalan dengan bekerja sama dengan pihak-pihak pemerintah, misalnya. Yang mengurusi kebudayaan agar makin besar. Seperti platform penggalangan dana yang sering digunakan masyarakat.

Saya kira, ke daerah memang masih kurang banyak perhatian, terutama untuk kesenian daerah apalagi pascapandemi, mungkin bisa dibilang mati suri. Jadi, apakah ada concern ke kesenian-kesenian di daerah dari Kolase untuk mengenalkan kesenian-kesenian daerah agar lebih dikenalkan kepada masyarakat luas sehingga mereka mau membantu kesenian di daerah agar mampu bangkit dan bisa terus berkembang. Saya kira, itu. Terima kasih.

Raden Maulana

Oke. Harapannya juga Kolase ingin bekerja sama dengan pihak-pihak yang lebih luas lagi. Lebih ke pemerintah, Kemenparekraf. Tapi, memang kebetulan Kolase itu terbentuk dari Februari 2018, baru footstep itu setahun kemudian. Tadinya, 2019 kita mau sprint. 2020 mulai ada perubahan, kebijakan sejak pemilu, Bekraf jadi Kemenparekraf. 2020 kita mau lari, ada pandemi. Jadi, masih banyak hambatannya. Semoga dengan ada acara ini kita jadi makin membuka kerjasama dengan pemerintah yang mau bekerja sama dengan Kolase.

Di Kolase sendiri memang untuk umum, tidak hanya di Jakarta/kota besar, tapi justru memang seni daerah, gak cuma musik, seni lainnya juga dibuka untuk Kolase. Saat ini, Kolase scoopnya masih kecil, pendanaannya masih pendanaan awal. Butuh booster. Masih banyak PR dari Kolase ini.

Ines Nirmala

Oke, selanjutnya ada pendengar kita, Aurel dari Banyuwangi. Langsung saja, apa yang mau ditanggapi?

Aurel (Penanya dari Banyuwangi)

Untuk Mbak Dina, HMGNC, gimana caranya untuk produktif dan berani go public, atau crowdfunding. Kita kan dari grup musik mahasiswa, kayaknya masih kurang dan mau gede kayak grup-grup musik itu yang punya talenta tersendiri. Atau, gimana caranya produktif menghasilkan karya baru di tengah pandemi ini.

Dina Dellyana

Iya Aurel, dari Banyuwangi. Itu salah satu kota kreatif juga kan ya sekarang tuh. Dulu, ketika saya zaman-zaman kuliah kayak Aurel dulu sebenarnya ada yang bilang bahwa seniman ada moodnya. Tapi, sesungguhnya itu bisa dimanage mirip kayak kerja, harus ada spare waktu kira kira kapan harus bikin lagu, rilis lagu, menjadi musisi seperti bisnis juga. Tahun ini harus ada target, rilis albumkah, rilis singlekah. Kan, sekarang trennya di musik ini cenderung semacem dipirit, gak satu album full. Single, single, single, baru kemudian disatuin jadi album.

Sekarang juga effortnya udah ke arah digital. Mungkin keliatan lebih simple bikin single ternyata sama aja kayak bikin album outcomenya. Jadi mendingan kita rilis single lebih dulu, semacam rise of attention orang, sampe akhirnya semua orang mulai ke notice baru kita memanage album. Aurel harus memanage seperti itu.

Biasanya, seniman kalo punya target itu bisa lebih produktif. Nah, kalo misal penulis itu deadlock, cari inspirasinya banyak, coba nonton film, dengerin lagu orang yang bisa dibilang keren banget, baca buku, puisi, novel. buat ngetrigered mood biar create. Aurel juga harus mulai bisa akrab dengan peralatan-peralatan yang ngebantu musik production. Jadi, musisi jaman sekarang harus bisa produksi lagu mereka sendiri. Kayak Ablesoon, Reason, Protools, atau Garage Band yang bawaan dari Mac, misalkan. Untuk produksi lagu di mana pun.

Soal produktif, treat your band seperti bisnis, ada targetnya. Perlu ada tim juga. Kalo musisi, emang enaknya produksi. Tapi, harus ada manajemen, harus ada tim yang ngebackup, harus selesai kapan. Kalau belom ada tim profesional kayak gitu, bisa saling bantu, mumpung mahasiswa.

Biar berani rilis karya, di era sekarang harusnya lebih mudah dan berani ya buat rilis. Kayaknya, ibarat test market gitulah. Kayak, kita ada lagu nih demo, temen-temen bisa upload di berbagai platform streaming. Atau record dulu, post di Youtube untuk liat reaksinya. Untuk audiencenya siapa? Kita bisa ajak temen-temen terdekat dulu untuk bantu sebagai media promosi.

Ines Nirmala

Wah, ini mudah-mudahan bisa ngebantu Aurel buat produktif. Nah, sekarang kita ke Mbak Ratri, apa yang mau ditambahkan seputar potensi seniman kita yang di daerah-daerah.

Ratri Ninditya

Potensinya besar banget buat seniman daerah, karena kolektivitasnya besar, saling membantu itu hal yang lumrah dilakukan buat seniman daerah. Permasalahannya adalah gimana potensi ini tetap menyala dan gak mati. Sekarang, setelah berapa bulan pandemi, temen-temen kita mulai tutup, toko buku kesusahan bayar sewa, sanggar tutup. Mulai keliatan kalo potensi ini butuh dukungan dan perencanaan dari pemerintah. Jangan sampai potensi ini mati dan kita butuh banget mendorong pemerintah untuk melakukan upaya-upaya mendukung ini supaya tetap menyala.

Ines Nirmala

Oke. Nah, ini ada kabar terbaru dari Koalisi Seni, mereka punya program baru berupa podcast bernama RUU, Ruang Usik-Usik. Bisa didengarkan di KBRprime.id atau lewat Spotify dan media podcast lainnya. Ada pertanyaan lagi dari Mediana di Youtube, mungkin Bu Amna bisa menjawab pertanyaan ini.

Pertanyaan Mediana

Bagaimana gerak filantropi setelah ada SK dari kemendikbud dan kemenparekraf untuk fasilitas seni budaya, apakah melengkapi? Jika iya, melengkapinya seperti apa? Skema baru atau tetap jalan seperti biasa?

Amna Kusumo

Memang dengan adanya Covid ini banyak hal jadi mandek. Filantropi tentu saja masih bergerak, tapi karena kondisi seniman sangat sulit di banyak tempat, maka banyak perubahan. Seniman banyak menggalang dana untuk teman-teman sendiri untuk teman-teman lain yang sama sekali tidak bisa bekerja. Jadi, ada banyak yang kesulitan. Bukan cuma seniman yang ada di panggung saja, tapi juga orang-orang di belakang panggung seperti orang tata cahaya, orang tata suara, sekarang tidak ada acara apapun. Acaranya sekarang daring dan tidak memerlukan mereka semua. Mereka tidak ada pekerjaan. Ini sudah cukup lama sehingga kesulitannya luar biasa. Kami juga banyak membantu teman-teman seperti itu. Banyak sekali upaya-upaya, saat Covid ini, bagaimana sih, kalo bisa bekerja, tidak jauh-jauh bagaimana bisa hidup dulu. Seperti itu.

Bahkan, ada temen dari Sumba yang punya sawah, mengirim beras dari sana dan meminta Kelola untuk menyalurkan ke seniman di Jakarta.

Ines Nirmala

Ternyata, ketika sekarang banyak acara-acara streaming konser penggalangan dana, ternyata seniman juga butuh bantuan. Nah, Mas Raden mungkin bisa menambahkan.

Raden Maulana

Saya melihatnya dari sisi perubahan yang ada di Kolase, dengan pandemi ini, perubahannya berupa submission yang ada itu lebih organik. Bentuk kolaborasinya lebih menarik. Biasanya dulu seniman musik lebih one direction, sekarang justru rewardnya dua arah. Penggemarnya mau apa, disediakan. Mau marchandise, video musik, ada. Kolase sebagai platform yang memberikan wadah untuk musisi indonesia menerima sangat baik keadaannya di masa pandemi ini.

Ines Nirmala

Yak, makin banyak gak Mas yang crowdfunding di masa ini lewat Kolase.com?

Raden Maulana

Makin banyak, dari seniman-seniman organik bahkan sudah sampai Kalimantan. Tapi gak cuma sebatas karya lagu dan lain-lain, ada juga yang mau bikin UMKM-UMKM daerah melalui pariwisata kemudian promosinya dibantu oleh musisi lokal. Semuanya berkolaborasi, dengan adanya pandemi ini semua ekosistem seni jadi lebih ngobrol, akhirnya bikin kolaborasi dari Kolase.

Ines Nirmala

Ada manfaatnya juga ya akhirnya. Terus juga pertanyaan lagi dari Bimo di Youtube: bagaimana caranya di era new normal ini kita sebagai pecinta seni bisa mengadvokasi dengan cara lebih efektif agar orang bisa memberi nilai lebih bagi para seniman dan karya seninya. Mungkin Mbak Ratri dari Koalisi Seni bisa menjawab.

Ratri Ninditya

Nah itu tantangan besar juga, mengubah perspektif soalnya. Senimannya juga sangat terbiasa untuk gak melihat karyanya sebagai sesuatu yang bisa dihargai secara finansial, harus dipikirin bareng-bareng. PR-nya besar. Kita mulai bicarakan itu.

Ines Nirmala

Dan untuk starternya bisa juga dengan membaca buku Seni Memberi Untuk Seni, ya. Terakhir nih, Mbak Dina mungkin mau menambahkan pesan untuk pendengar kita. Silakan Mbak Dina.

Dina Dellyana

Dari musisi, jangan jadikan pandemi sebagai halangan. Musisi kan paling banyak pemasukan dari live perform, nah ini juga masa di mana kita memikirkan cara lain untuk mendapat pemasukan. Kita harus cari cara promosi bandnya sendiri. Kita udah ngelakuin sama kolase lewat penggalangan dana lewat merchandise, potensi dan marginnya besar sekali. Lumayan. Selain menutup operasional kita, bisa bantu temen-temen juga. Mesti pinter-pinter, selain membuat karya, harus pinter mencari pundi-pundi pemasukan lain. Threat your band sebagai sebuah bisnis, ga banyak musisi yang udah mikir bisnis. Ini kan juga ekonomi kreatif, kalo misalnya punya karya tapi gak punya nilai ekonomi, temen-temen harus mulai mencari dari mana ya bisa dapat pemasukan, marchandise salah satu caranya sebelum kita melakukan live perform.

Ines Nirmala

Betul. Nah, kita lanjut ke Bu Amna, mungkin bisa menambahkan seputar filantropi ini dalam hal seni.

Amna Kusumo

Menyambung yang dikatakan Dellyana, seniman harus lebih kreatif untuk mencari peluang untuk mencari pemasukan lain selain dari karyanya itu. Ini tidak mudah, memang fokus seniman itu biasanya ada pada karya kreatifnya. Yang lain itu, harusnya ada manajer-manajer seni yang bekerja, orang yang cinta pada seni tapi fokusnya pada mendukung seniman/karya itu bagaimana karya itu bisa mendukung masyarakat, perusahaan, dan itu semua butuh cara yang tidak dikenal seniman. Ekosistem kita ini harus kita kuatkan. Kalau ekosistem sudah kuat, kita akan lebih bagus lagi.

Ines Nirmala

Kita sudahi dulu, terima kasih untuk narasumber, saya Ines Nirmala, undur diri.

New Post

Leave a Comment

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.