Di tengah kabar gembira Dana Indonesiana, dukungan pemerintah daerah terhadap pemajuan seni masih tampak setengah-setengah. Terutama karena masih diberlakukannya peraturan pajak hiburan yang memberatkan pelaku seni. Kondisi itu menunjukkan bahwa Pemerintah masih memandang seni sebagai sumber pendapatan daerah semata, bukan sesuatu yang mesti didorong pemajuannya. Selain itu, aturan pajak hiburan belum memiliki standar yang jelas, baik dari aspek kategorisasi seni yang menjadi objek pajak maupun persentase pungutan. Dengan tidak adanya standardisasi berbasis data ini, ada potensi pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota dapat sewenang-wenang menentukan seni seperti apa yang ingin didorong kemajuannya.
Seni lebih banyak dijadikan objek pajak dibanding didorong pemajuannya. Melanjutkan temuan awal penelitian di 2019, Koalisi Seni melakukan analisis lebih dalam mengenai peraturan daerah terkait kebudayaan dan pajak hiburan di 508 kabupaten/kota Indonesia melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum pemerintah daerah, layanan dokumentasi peraturan Kementerian Hukum dan HAM RI (https://peraturan.go.id/), dan dokumentasi peraturan Hukumonline. Hasilnya, ditemukan 367 kabupaten/kota dan 1 provinsi yang memiliki peraturan daerah tentang pajak hiburan, baik yang berdiri sendiri maupun yang tergabung dalam peraturan pajak daerah. Sementara itu, hanya ada 105 peraturan daerah terkait kebudayaan di tingkat kabupaten/kota, 22 di tingkat provinsi. Dari 105 peraturan di tingkat kabupaten/kota, hanya 72 di antaranya yang spesifik merujuk Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK). Adapun di di tingkat provinsi, hanya 6 dari 22 yang merujuk pada UUPK. Perlu dicatat, peraturan tentang pajak hiburan hanya ada di tingkat kabupaten/kota, kecuali DKI Jakarta yang wilayah administratifnya tidak mengeluarkan peraturan sendiri. Dengan kata lain, aturan untuk menarik pajak seni tiga kali lipat lebih banyak daripada aturan untuk memajukan seni.
Tidak ada yang salah dengan adanya pajak hiburan. Dasar pengenaan pajak hiburan pada seni tentunya didasari anggapan bahwa seni dapat berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Pemikiran ini mendukung paradigma bahwa seni punya peranan dalam pembangunan ekonomi daerah. Namun idealnya, pendapatan dari pajak hiburan seharusnya juga bisa digunakan kembali untuk mengembangkan seni. Dalam sejarah pajak hiburan di Eropa, awalnya seni dianggap bentuk hiburan mewah yang hanya dikonsumsi kelompok masyarakat kelas atas. Karena hanya dapat diakses kelompok terbatas, perlu ada pengenaan pajak tambahan untuk kelompok tersebut di luar pajak pendapatan. Pada abad ke-17 di Prancis, pajak hiburan secara eksplisit diperkenalkan sebagai “hak rakyat miskin” yang kemudian digunakan untuk membiayai pelayanan publik. Selama dan setelah Perang Dunia pertama, pendapatan pajak hiburan kemudian diterapkan di banyak negara Eropa karena sumber pendapatan tambahan negara sangat dibutuhkan. Di Prancis dan Swiss, pajak hiburan kini diperuntukkan khusus untuk mengembangkan hiburan alternatif yang bisa dijangkau lebih banyak orang atau pendanaan yang diamanatkan kebijakan seni secara umum.
Di Indonesia, analisis pengaruh pajak hiburan terhadap pendapatan daerah banyak dilakukan di lingkup akademisi. Dibanding pajak daerah lain seperti restoran dan hotel, penerimaan pajak hiburan umumnya kecil, meningkat, tapi tidak signifikan. Contohnya di Bandar Lampung, Tangerang Selatan, dan hanya dalam sedikit kasus signifikan terhadap pendapatan asli daerah, seperti yang terjadi di Kota Bandung. Namun, tidak ada analisis khusus terhadap masing-masing kategori seni yang dijadikan objek pajak hiburan. Oleh karena itu, diskriminasi persentase pungutan dan kategorisasi pajak hiburan terasa tidak berdasar dan menimbulkan banyak pertanyaan.
Persentase pungutan dan kategorisasi pajak hiburan sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam aturan baru, seluruh jasa hiburan dan kesenian masuk dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu dan dikenakan tarif maksimal 10%, kecuali kategori “diskotek, kelab malam, dan bar” yang ditentukan 40%-75%. Belum ada satupun daerah yang memperbaharui aturan berdasarkan UU terbaru. Seluruh daerah masih berpedoman pada UU sebelumnya. Lebih lanjut, kami bahkan menemukan beberapa daerah masih memberlakukan peraturan sebelum 2009, misalnya Kota Magelang, Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Tebo di Jambi, serta Kabupaten Jayapura.
Walaupun kedua aturan tersebut memberikan keleluasaan bagi daerah untuk menentukan pengecualian tarif dan ketentuan tambahan, persentase pungutan sangat beragam di tiap kabupaten/kota. Kadang, dalam perbandingan yang cukup ekstrim dan menyalahi standar yang ditetapkan, bahkan dari UU yang sebelumnya. Lalu apa dasar dari pengenaan persentase pungutan yang ekstrem ini?
Pengenaan persentase pungutan yang berbeda-beda untuk tiap kategori hiburan sepertinya didasarkan pada potensi ekonominya. Hiburan dengan peminat tinggi dan skala lebih besar dikenakan pajak lebih tinggi. Sebaliknya, hiburan seni dengan peminat rendah dan skala lebih kecil dikenakan pajak lebih rendah. Seni yang dijadikan objek pajak hiburan umumnya dikategorisasi menjadi: ‘tontonan film’, ‘pagelaran musik dan tari’, ‘pameran’, ‘kesenian tradisional’, dan diskotek, karaoke, klab malam, dan sejenisnya” (untuk kemudahan, selanjutnya disebut ‘hiburan malam’).
Film merupakan kategori yang umumnya paling mendetail diatur berdasarkan potensi ekonomi hiburan. Salah satu kemungkinannya, karena aturan pajak hiburan di Indonesia dikembangkan dari pajak tontonan. Beberapa daerah membedakan kategori bioskop dan film keliling (36 kab/kota), layar tancap (2 kab/kota), sementara ada yang menggolongkannya sesuai jumlah kursi, harga tiket, atau lokasi di luar/dalam gedung (9 kab/kota). Ada pula daerah yang menggunakan kategorisasi dengan istilah yang rancu, seperti di Kota Solok, Sumatera Barat, yang membedakan ‘cineplex’ dengan ‘bioskop’. Film keliling, layar tancap, bioskop kecil, dan tontonan luar gedung dikenakan persentase pungutan lebih kecil karena dianggap tidak berpotensi menghasilkan keuntungan sebesar kategori lainnya. Meski tidak sedetail film, kategori pagelaran musik dan tari juga dibagi lagi jadi beberapa jenjang. Umumnya, persentase dibedakan berdasarkan skala lokal, nasional, atau internasional. Semakin luas skalanya, pajak semakin tinggi.
Dari seluruh peraturan yang ditemukan, pajak paling tinggi ditemukan pada kategori hiburan malam dan pagelaran musik, subkategori musik internasional, yaitu sebesar 75%. Pengenaan pajak pada kategori pagelaran musik jelas jauh di atas ketentuan yang tertera di UU, walaupun masih sesuai untuk kategori hiburan malam. Di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, pengenaan pajak 75% pada pagelaran musik internasional, kontras dengan pagelaran musik berskala nasional yang hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Untuk kategori hiburan malam, terdapat 37 kabupaten/kota yang mengenakan pajak sebesar 75%, dan 40 kab/kota yang menerapkan pajak 50% dalam kategori tunggal (tidak memisahkan diskotek/klab malam dan karaoke).
Pengenaan pajak atas dasar potensi ekonomi hiburan, walaupun tampak terukur, dapat menimbulkan masalah karena ruang lingkup kategorisasinya kurang jelas. Contohnya, di beberapa daerah seperti Kota Palangkaraya, DKI Jakarta, dan Kabupaten Kutai Kartanegara, ‘musik hidup’ atau live music dimasukkan dalam kategori hiburan malam, sementara kategori pagelaran musik juga berlaku dengan persentase pajak yang berbeda. Apa perbedaan musik hidup dan pagelaran musik tidak dijelaskan lebih lanjut. DKI Jakarta juga menambahkan deskripsi ‘DJ (disk jockey)’ di dalam kategori hiburan malam. Kategorisasi yang membingungkan ini juga ditemukan di Kabupaten Majene. Majene menerapkan pajak secara umum sebesar 35%, tetapi untuk kategori bentuk hiburannya, diatur kembali dengan persentase berbeda. Di Kabupaten Bombana dan Kabupaten Kutai Kartanegara, ‘pertunjukan kesenian’ dipisahkan dari film, tari, dan musik, dengan persentase pajak yang berbeda. Kategorisasi hiburan yang kaku juga akan membingungkan jika diaplikasikan pada berbagai perhelatan seni lintas media dan disiplin.
Selain potensi ekonomi hiburan, pengenaan tarif pajak juga tampaknya didasarkan pada anggapan atas ‘nilai budaya hiburan’. Alasan kedua ini muncul pada kategori kesenian tradisional. Banyak daerah memberi keringanan hingga pembebasan pajak pada seni tradisi karena dianggap melestarikan kebudayaan, punya motif sosial, dan bagian dari ritual adat atau agama masyarakat lokal.
Kami menemukan 48 kabupaten/kota dan 1 provinsi yang membebaskan pajak hiburan untuk seni tradisi dan 92 kabupaten/kota yang mengenakan persentase pajak kecil untuk seni tradisi, yaitu sebesar 5%. Hal ini positif, tapi akan menjadi masalah ketika definisi tradisi hanya merujuk ke ekspresi budaya kelompok tertentu dalam sebuah lokalitas saja. Padahal, seni, sebagai bagian dari kebudayaan, adalah sesuatu yang hidup dan terus berubah. Argumen ini juga didukung dalam bagian UU Pemajuan Kebudayaan (UUPK) terkait definisi dan ruang lingkup seni. UUPK mendefinisikan seni sebagai “ekspresi artistik individu, kolektif, atau komunal, yang berbasis warisan budaya maupun kreativitas penciptaan baru yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan dan /atau medium”. Keberpihakan pada seni tradisi perlu dibarengi dengan sensitivitas tinggi akan siapa dan apa yang dimasukkan dan dikeluarkan dari definisi tersebut. Bagaimana, misalnya, dengan bentuk-bentuk seni yang kosmopolitan, yang merupakan percampuran banyak budaya seperti dangdut? Jika house music dangdut campursari dipertunjukkan di klab malam, maka masuk kategori mana? Bagaimana dengan pertunjukan kontemporer yang berbasis tradisi?
Sebaliknya, ada daerah yang secara eksplisit memberlakukan pajak tinggi terhadap bentuk seni yang bertentangan dengan nilai budaya yang dianut pemerintah daerahnya. Kabupaten Pidie mengenakan pajak sebesar 50% terhadap semua jenis kesenian kecuali yang bernafaskan Islam. Sejalan dengan pernyataan Majelis Ulama Aceh akan larangan bioskop, dalam peraturan tertulis tentang pajak hiburan, bioskop Pidie juga dikenakan pajak 50% tanpa terkecuali. Dua kebijakan ini akan semakin menghalangi pelaku usaha berinvestasi dalam industri bioskop di Aceh.
Perbedaan pengenaan pajak hiburan dapat mendorong bentuk-bentuk seni tertentu berkembang. Sebaliknya, pengenaan pajak yang tinggi dapat membuat bentuk seni tertentu menjadi tidak menarik bagi pelaku usaha. Akibatnya, akses masyarakat terhadap seni menjadi terbatas. Diskriminasi pajak ini seharusnya ditentukan melalui mekanisme khusus berbasis data-data empiris. Temuan telah menunjukkan keberpihakan pemerintah pada seni dapat dipengaruhi bias terhadap nilai budaya yang dianut rezim yang sedang berkuasa. Temuan di atas juga membuktikan pemahaman pemerintah yang minim akan bentuk-bentuk seni yang berkembang di masyarakat. Sehingga, keberadaan data yang dapat mengilustrasikan seni apa yang diprioritaskan untuk dikembangkan di suatu daerah menjadi sangat krusial.
Mendorong pendapatan pajak hiburan agar dapat dikembalikan untuk mensubsidi seni di daerah tampaknya masih menjadi angan-angan. Tapi kita dapat mengupayakan agar keringanan tarif pajak bisa lebih tepat sasaran pada bentuk kesenian yang menjadi prioritas untuk dimajukan. Untuk itu, pemerintah daerah harus mengevaluasi dasar dari perbedaan persentase pungutan melalui studi pendapatan pajak dari tiap jenis hiburan kesenian. Pemerintah juga harus merevisi kategori hiburan yang bermakna ganda (seperti kasus musik dan pertunjukan kesenian di atas) atau kabur definisinya (seperti seni tradisional). Dalam evaluasi ini, sinergi dengan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) juga perlu dilakukan. Sudahkah strategi kebijakan pajak hiburan mendorong perkembangan objek-objek pemajuan yang didata di dokumen tersebut, dan disepakati pemangku kepentingan di tiap lapisan? UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan UU Pemajuan Kebudayaan harus dijadikan acuan untuk memperbaharui peraturan pajak hiburan dan kesenian yang baru.
Pemberlakuan pajak hiburan yang sinergis dengan PPKD sebagai kebijakan turunan UU Pemajuan Kebudayaan serta kebijakan terkait seni lainnya akan menjadi langkah penting menuju cita-cita pemajuan kebudayaan yang menyeluruh dan kehidupan seni yang lebih sehat dan menyenangkan bagi semua.
Ratri Ninditya, Koordinator Riset Koalisi Seni
*Pendataan peraturan daerah didukung oleh hukumonline.com
**Database peraturan daerah yang dikumpulkan Koalisi Seni dapat diakses melalui pemajuankebudayaan.co.id