/   
Fatih Kudus Jaelani
Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Barat

Fatih Kudus Jaelani lahir pada tanggal 31 Agustus 1989 di Pancor, Lombok Timur. Ia pernah mendalami ilmu bahasa dan sastra Indonesia di STKIP Hamzanwadi, Selong. Fatih dikenal sebagai seorang pegiat sastra yang berdomisili di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia kerap menulis dan menerbitkan puisi, sesekali menulis cerpen dan esai sastra, serta mengelola komunitas Rabu Langit—sebuah organisasi nirlaba yang bergiat pada bidang sastra. Fatih juga berprofesi sebagai jurnalis di surat kabar harian Lombok Post. 

 

Puisi-puisi Fatih Kudus Jaelani pernah terbit di berbagai media cetak, seperti Seputar Indonesia, Bali Post, Sinar Harapan, Medan Bisnis, Harian Analisa Medan, Sagang, Buletin ekspresi Bali, Pawon, Buletin Jejak, Koran Kampung Mataram, Buletin Replika Akar Pohon Mataram, Buletin Embun, Media Indonesia, dan Radar Lombok. Selain menulis macam-macam puisi melalui dicetak, Fatih Kudus Jaelani juga menerbitkannya dalam bentuk buku antologi bersama, beberapa di antaranya adalah Lampu Sudah Padam (2010), Tuah Tara No Ate (2011), Meretas Karya Anak Bangsa (2012), Dari Takhalli Sampai Temaram (Akar Pohon, Dewan Kesenian NTB: 2012), dan Sauk Seloko (2012). 

 

Sementara itu, Komunitas Rabu Langit yang dikelola oleh Fatih Kudus berfokus pada dunia tulis menulis. Berbagai kegiatan telah diadakan seperti “Ngeder Sastra”, yang rutin diadakan pada hari rabu sebagaimana nama komunitas penyelenggaranya. Komunitas ini juga merupakan salah satu inisiator agenda Temu Sastrawan NTB pada tahun 2012.     

 

Sebagai penyair muda, Fatih pernah diundang untuk menghadiri Temu Sastrawan Indonesia IV (Ternate, Oktober 2011) dan Pertemuan Penyair Nusantara V (Jambi, Desember 2012), dan mengikuti residensi 20 seniman muda, Masyarakat Indonesia Cipta (Depok, studio hanafi, 2012). Selain itu, lima puisi Fatih Kudus dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Asmara Ular Kayu dijadikan bahan penelitian salah satu mahasiswa Universitas Mataram.

Tulisan Terbaru

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.