/   Uncategorized @en

Jalan panjang membangun ekosistem seni terus ditapaki anggota Koalisi Seni. Selama hampir satu dekade Koalisi Seni berdiri, gerak mengadvokasi kebijakan seni makin dilihat sebagai kebutuhan mendesak. 

Belakangan ini, tak sedikit anggota Koalisi Seni yang membentuk perkumpulan guna mengadvokasi kebijakan. Setidaknya ada empat perkumpulan seni beraneka bentuk lahir dari inisiatif mereka: Perhimpunan Nasional Teater Indonesia (Penastri), Sahabat Seni Nusantara, Kolektif Ruang Seni Anti-Loyo (KRUSIAL), dan Asosiasi Seniman Riau (ASERI).

Dalam sesi berbagi anggota pada 27 Oktober 2020, perwakilan dari empat perkumpulan tersebut mengisahkan perjalanannya. Mereka membicarakan beragam hal, mulai dari alasan, dinamika pembentukan, sampai tantangan yang telah dan akan ditempuh. Dapat dikatakan, menghimpun diri merupakan upaya jitu guna mencapai tujuan bersama dan mengurai permasalahan.

Dewi Noviami dari Penastri mengutarakan bahwa selain mengadvokasi kebijakan, perhimpunan teater bertujuan memproduksi dan mendistribusi pengetahuan. Ia menjabarkan belum ada riset memadai soal teater yang banyak macamnya, sebut saja teater industri, teater pendidikan, teater tradisi, juga teater anak. “Riset mengenai keadaan ini sangat dibutuhkan. Kalau mengetahui situasi ini, kita bisa melihat teater dengan lebih segar,” ujarnya.

Sementara itu, Aquino Hayunta dari Sahabat Seni Nusantara mengatakan salah satu tujuan organisasinya ialah membangun wacana tentang seni yang tidak hanya mengacu ke estetika, tetapi juga ke ranah lain seperti demokrasi dan kesehatan mental. Sahabat Seni banyak membuat diskusi daring untuk membicarakan persoalan seni terkini, misalnya cara pegiat seni bertahan di masa pandemi. Mereka pun bekerja sama erat dengan Jaringan Seni Perempuan dalam diskusi rutin yang memberikan ruang bagi seniman perempuan menyajikan karya-karyanya. Sahabat Seni Nusantara sempat pula mengundang psikolog untuk mendiskusikan kaitan seni dan kesehatan mental. 

Lain halnya dengan Penastri dan Sahabat Seni Nusantara, dua perkumpulan berikutnya lahir karena pandemi. Sebagai perwakilan KRUSIAL, Mia Maria bercerita soal terancam tutupnya 40 ruang seni budaya pada masa pandemi. Kolektifnya juga mendata ada 7000 pelaku seni yang terdampak kondisi tersebut. Mereka berhimpun agar dapat mengkomunikasikannya kepada pemerintah, sehingga segera ada upaya bersama mengatasinya. 

Di lain pihak, Aristofani Fahmi dari ASERI bercerita bahwa seniman Riau tidak terdata Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai pihak yang berhak mendapat bantuan pemerintah pada masa pandemi. Dengan menukil salah satu kalimat dari kesusastraan Melayu, ia berpendapat ASERI muncul karena “kita lahir dari pedih yang sama.”  

Menyoal bentuk masing-masing perkumpulan, keempat perwakilan bercerita acuannya adalah kebutuhan. 

ASERI dan Penastri memiliki badan hukum karena ada kebutuhan menjadi mitra pemerintah. Di tataran daerah, ASERI berupaya merumuskan program berdasarkan Pokok-Pokok Kebudayaan Daerah (PPKD) yang merupakan turunan UU Pemajuan Kebudayaan. Sementara, Penastri berencana mengkomunikasikan aneka masalah dunia teater dengan pemerintah, terutama menentukan arah teater melangkah. Penastri juga akan menyusun strategi untuk mengakses dana perwalian, karena teater belum pernah urun rembuk untuk dalam hal tersebut. 

Adapun KRUSIAL dan Sahabat Seni Nusantara belum berbadan hukum karena tidak ada kebutuhan mendesak akan hal tersebut. Mia Maria menyatakan masing-masing dari KRUSIAL masih sibuk memperjuangkan ruangnya, sehingga belum bisa direpotkan urusan keorganisasiannya. “Kalaupun sampai butuh proses advokasi, kita akan ke Koalisi Seni aja,” ujarnya. Begitu juga dengan Sahabat Seni Nusantara, Aquino mengatakan, “Dalam setahun ke depan pun belum ada kebutuhan soal badan hukum. Ketika kolaborasi dengan lembaga lain, mereka juga nggak minta hal itu.”

Membentuk perkumpulan tentu membutuhkan energi besar kala menjalani prosesnya, apalagi dalam masa pandemi. Ketika moderator diskusi, Oming Putri, menanyakan hal tersebut, jawaban para pembicara mengerucut pada satu hal: ada kerinduan untuk bertemu dan membincangkan beragam hal dengan orang yang dikenal. Pandemi memang membuat kita berjarak, namun juga bisa jadi kartu truf bagi yang mengambil kesempatan.

Kalau peribahasa mengatakan esa hilang dua terbilang, anggota Koalisi Seni seakan menyatakan: kukuh satu tumbuh seribu. (Bari’)

New Post

Leave a Comment

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.