/   Uncategorized @en

Nasib Kemijen hampir serupa dengan stasiun kereta api yang pernah menghidupinya: terlindas roda zaman. Itu sebelum Hysteria datang mengajak warga berbenah.  

Sarkamah mengingat-ingat pengalamannya berpuluh tahun hidup di Kampung Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Ia tinggal di sana sejak berusia sekitar 30 tahun, tepatnya dekade 1950-an. Perempuan yang akrab dipanggil Mak Yut itu pindah ke Kemijen, di sebelah barat Banjir Kanal Timur, karena mengikuti suaminya.

“Sekitar jam 12 siang, tiap hari saya berjalan kaki mengantar makan siang ke pos wesel yang dijaga suami. Setelah itu saya langsung pulang,” tuturnya. Sang suami dulu pegawai Djawatan Kereta Api (kini PT Kereta Api Indonesia) yang bekerja di stasiun di kampung tersebut.

Sesepuh lain, Yamto Dimejo, ingat betul, kereta api pernah menjadi hal penting bagi warga Kemijen. Stasiun ini aktif melayani trayek-trayek Demak dan Pati selama beroperasi hingga tutup sekitar 1975. Sayangnya, saat ini bangunan stasiun telah tiada, dimakan rob, air pasang laut yang menggenang di daratan. Kini hanya tersisa Stasiun Gudang, yang dulu digunakan untuk kereta barang. Bangunannya masih ada, walaupun sebagian juga sudah terendam rob. 

Mak Yut yang tak tahu persis umurnya sendiri itu masih terkenang saat banjir besar menyerbu Kemijen pada 1970-an. Ia menolak mengungsi meski air menggenangi rumahnya hingga setinggi lutut orang dewasa. Mak Yut menjaga rumahnya selama tiga hari, lantas melakukan tawu alias menguras air hanya dengan bantuan ember dan gayung. Tawu masih terus dilakukan warga Kemijen setiap rob datang ke kampung itu.

Menurut Mbah Yamto, rob baru rajin menyambangi Kemijen sejak akhir 1980-an, ketika Kali Banger diperlebar dan diperdalam. Sejak rob rutin terjadi, Mbah Yamto terus meninggikan rumahnya. Namun, kamar mandi selalu terendam rob karena berdekatan dengan selokan di belakang dinding rumah. “Jika sudah terendam, kami harus pindah mandi ke tempat lain. Kami tidak mengurasnya karena kotor,” katanya.

Rob maka menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Kemijen. Lebih dari 13.000 orang tinggal di kampung pesisir itu, yang dilekati citra kumuh dan miskin. Selain masalah banjir dan rob, mereka harus menghadapi masalah penurunan permukaan tanah dan bertumpuknya sampah. Karakter masyarakatnya pun dikenal keras, kerap dilanda persoalan sosial seperti kekerasan, mabuk-mabukan, dan pernikahan dini. Namun, mereka menyimpan potensi dan bisa pula menjadi inspirasi.

Seni yang Menjembatani

Hysteria, kolektif seniman yang didirikan oleh sejumlah alumni Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Diponegoro, percaya tiap kampung bisa memberi inspirasi sekaligus mendapatkan inspirasi dari orang lain. Namun, perlu ada jembatan yang mempertemukan kampung, komunitas, akademisi, dan pengambil kebijakan. Proyek seni bertajuk Penta K Labs mereka gagas untuk menjadi penghubung.

“Nama Penta K Labs diambil dari 5K: kamu/kita, kelas/kampus, komunitas, kampung, kota. Karena selama ini kadang mereka jalan sendiri-sendiri. Kampung nggak kenal komunitas, komunitas nggak nyambung dengan kampung, dan seterusnya,” ujar Ahmad Khairudin, salah satu pendiri Hysteria.

Pria yang akrab disapa Adin itu menjelaskan, Penta K Labs bertujuan mendorong siapapun untuk terlibat dalam proses pembentukan kota. Sesuai kapasitas masing-masing, para pemangku kepentingan didorong ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan.

Penta K Labs pun menjadi proyek dua tahunan yang diadakan pertama kali pada 2016. Hysteria mengidentifikasi isu yang menarik untuk diangkat, visi yang ingin dicapai, dan kampung mana yang cocok untuk isu dan visi tersebut. Kesiapan warga setempat pun dipertimbangkan. Setelah melalui sejumlah rapat internal, organisasi ini memilih ketahanan kota sebagai isu pertama Penta K Labs, dengan Kemijen sebagai lokasinya. Dalam proyek berjudul “Narasi Kemijen” itu, Hysteria ingin melihat strategi ketahanan warga dalam menghadapi tekanan sehari-hari.

Partisipatif dan Kolaboratif

Begitu Kemijen terpilih, Hysteria turun untuk melakukan riset etnografi, pemetaan aktor dan isu, serta pencatatan pengetahuan keseharian. Karena masyarakat Kemijen adalah mitra penting dalam kegiatan ini, mereka pula yang mengarahkan aktivitas tersebut. Alih-alih mendikte warga, Penta K Labs memilih pendekatan perlahan. “Saat masuk, kami berteman dulu, mengobrol dengan warga. Kami bilang ingin belajar bareng. Pelan-pelan kami menjelaskan dan memahami mereka,” kata Adin.

Dengan bertanya kepada warga, Hysteria menilik cara warga menyiasati rob dan banjir. Mereka melakukan banyak upaya, misal melakukan iuran untuk membeli pompa air, meninggikan permukaan tanah, membuat tanggul dari tanah yang ditumpuk, dan membentuk kelompok masyarakat yang fokus pada isu Kemijen. “Ini bentuk-bentuk yang positif dan menunjukkan masyarakat aktif. Respons dari upaya masyarakat itu kami wujudkan menjadi karya,” ucap Adin.

Menurut dia, seniman lantas ditantang mempertanyakan peranannya dalam masyarakat, sekaligus menguji batas antara seni dan non-seni. Para seniman diminta tinggal di lokasi untuk menyerap semangat warga, berkolaborasi, dan menciptakan karyanya dalam beragam bentuk. Tak kurang dari 20 karya seni diciptakan di Kemijen dalam rangkaian kegiatan ini.

Salah satunya ialah mural berjudul “Game of Drain” buatan Fatchurofi yang mencantumkan kredo “Terus berstrategi sampai polder jadi.” Komunitas Zone of Street Art melapisi boks instalasi listrik dengan karya berlabel “Dimakan Tanah”. Isrol MediaLegal mentransformasi fasad salah satu bangunan kampung dengan mural tentang ingatan pada kereta dan keseharian mesin pompa. Carly Fern dan Annisa Rizkiana menghiasi dinding luar bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan figur anak-anak kampung yang sedang berinteraksi. Tak kalah, komunitas Ayolah Ngapaint membuat seni instalasi bertajuk “Pemberhentian Rahasia Makhluk Luar Angkasa”.

Diskusi panelis dengan tema yang terinspirasi dari Kemijen pun digelar dengan melibatkan komunitas kampung, akademisi, dan perwakilan pemerintah. Tiga tema besar yang dibahas adalah dampak pembangunan dan perubahan iklim, hak atas kota, dan rekayasa teknologi untuk pemetaan.

Para peneliti mendatangi Kemijen untuk menggali sejarah kampung tersebut. Kisah Mak Yut dan Mbah Yamto adalah bagian dari narasi historis yang mereka kumpulkan. Para sesepuh juga bercerita versi masing-masing tentang kenangan seputar penggusuran yang dilakukan Djawatan Kereta Api di kawasan Spoorland, serta makam Mbah Barep yang dikeramatkan di Kemijen.

Selain itu, sejumlah lokakarya diadakan di Kemijen. Antara lain, pembuatan mainan dari limbah kertas, kolase tentang Kemijen, pengelolaan perpustakan di kawasan rawan bencana, pembuatan damar kurung, penggunaan drone untuk mendukung kajian perkotaan, dan pemanfaatan limbah dan sampah.

Menggali Potensi, Membangun Guyub

Dedi, salah satu penduduk Kemijen, sangat mengapresiasi kegiatan Penta K Labs. Bukan saja warga jadi tahu sejarah dan potensi kampungnya, tapi dalam prosesnya mereka pun jadi semakin rukun. “Dengan acara ini, kami sebagai warga maupun Walikota dan kantor-kantor dinas jadi tahu tentang sejarah Kemijen, juga potensinya yang belum tergali,” ucapnya.

Ia mencontohkan, salah satu diskusi Narasi Kemijen membahas polder Kali Banger yang dibangun Semarang untuk menanggulangi rob. Fungsi polder bisa lebih dari sekadar infrastruktur penahan banjir. Polder juga merupakan potensi kekayaan lokal yang bernilai ekonomi-sosial. Kalau diekspos dengan tepat, polder bisa menjadi destinasi wisata yang meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Dedi pun menilai kegiatan ini memantik perubahan pola pikir pada penduduk kampung. “Dulu kalau ada mahasiswa atau akademisi survei, pemikiran masyarakat itu pasti ada bantuan (dana). Hysteria masuk dan mereka banyak nongkrong, berinteraksi dengan masyarakat. Kami jadi sadar, sebenarnya ada yang lebih daripada sekadar bantuan. Tali persaudaraan dan silaturahmi itu lebih penting,” tuturnya.

Menurut Adin, program Penta K Labs memang juga ingin membangun solidaritas sosial masyarakat. Bentuknya sekilas memang sederhana, semisal berkumpul dan mengikuti rangkaian acara Narasi Kemijen bersama-sama. Namun, hal tersebut diharapkan bisa memperkuat keguyuban warga dalam jangka panjang.

Meski tak mendapatkan laba, Hysteria ikut senang melihat warga kampung bahagia dengan kegiatan yang digagasnya. “Mereka senang karena ada yang membantu kampungnya supaya dicintai dan terkenal,” katanya.

Selain itu, masyarakat jadi menyadari pentingnya nilai kebudayaan bagi hidupnya. Bahkan, Kemijen menjadi satu-satunya wilayah di sekitar kampung tersebut yang memasukkan agenda kebudayaan dalam bahasan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) mereka.

Warga Kemijen juga makin menyadari dirinya sebagai pelaku seni budaya. Hysteria mendorong agar penduduk yang memiliki keterampilan kreatif seperti membuat lampion atau wayang dari ilalang, misalnya, membuat lokakarya di kampung lain sebagai sarana berbagi ilmu.

Menularkan ke Kampung Lain

Sebagai proyek dwi-tahunan, setiap penyelenggaraan Penta K Labs dirancang untuk menggarap kampung yang berbeda di Semarang. Pada November 2018, Penta K Labs berikutnya direncanakan diadakan di kampung Nongosawit.

Meski Penta K Labs baru pertama kali diselenggarakan, yaitu pada 2016, Adin mengatakan banyak kampung dan komunitas lain sudah meminta agar kegiatan tersebut dilaksanakan di tempat mereka, antara lain, Rembang, Jatiwayang, dan Mijen.

Hysteria sendiri memang punya rekam jejak panjang dalam kegiatan seni yang bersentuhan langsung dengan masyarakat perkampungan Semarang. Baik sebagai aktor maupun fasilitator, Hysteria Mereka pernah mengadakan Gerobak Bioskop, yang memutarkan film secara berkeliling untuk penduduk kampung, dan Citizen Gigs, pentas seni yang digelar di sejumlah kampung. Ada pula Tengok Bustaman yang selama enam tahun terakhir berfokus pada aktivitas seni di kampung Bustaman.

Semua kegiatan tersebut dilakukan Hysteria dengan dana minimalis. Lembaga nirlaba tersebut biasanya berinvestasi pada peralatan seperti genset, proyektor, dan perlengkapan panggung yang bisa dipakai berulang kali untuk kerja kebudayaan di lokasi berbeda-beda. Terkadang penduduk kampung ikut urun dana, baik secara perorangan maupun lewat organisasi seperti Karang Taruna dan komunitas setempat. Sejauh ini, Hysteria belum mengakses dana dari pemerintah daerah maupun sektor swasta.

Untuk mempertahankan dan memperluas kegiatannya, Hysteria sedang menggodok model kerja sama yang lebih baik. Pasalnya, setelah mereka memberdayakan sejumlah kampung, terkadang datang perusahaan swasta maupun instansi pemerintah yang mengaku ingin bermitra namun setelah mendapatkan data justru urung menggandeng Hysteria.

“Setelah kami berikan data tentang aktor, kondisi sosial, konflik, dan sebagainya, malah mereka jalan sendiri. Kami menghindari potensi yang menguntungkan dan mengeksploitasi satu pihak,” tutur Adin menutup percakapan.

*Artikel Dari Kampung Membangun Ketahanan Kota merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia. Buku bisa dibeli dengan mengirimkan surel ke sekretariat@koalisiseni.or.id

 

New Post

Imagination and critical thinking are the keys to change. Therefore, art is a fundamental prerequisite for the realization of democracy. Support us in establishing policies that fully advocate for artists.