Pada tanggal 21-23 Oktober 2018, Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) bersama Koalisi Seni Indonesia mengadakan rangkaian forum untuk mengumpulkan aspirasi para pekerja seni dan budaya sebagai materi untuk merumuskan Strategi Kebudayaan Nasional pada Desember mendatang. Rangkaian forum ini diadakan di hotel Grandkemang, Jakarta, dan terdiri dari forum arsitektur dan tata ruang, forum produk dan kerajinan, serta forum seni visual yang dihadiri oleh 39 peserta dari sektor yang berbeda.
“Gagasan bahwa kebudayaan harus dilindungi dalam kerangka legal-formal itu sudah bermula dari tahun 1948. Sayangnya, kebanyakan gagasan ini berupa “ilham” yang diperoleh tokoh budaya atau preferensi pemimpin lembaga kebudayaan, bukan berlandaskan data”, jelas Alex Sihar, anggota Koalisi Indonesia yang berperan sebagai pemantik pada ketiga forum ini.
“UU Pemajuan Kebudayaan tahun 2017 membuat mekanisme dimana setiap pemerintah daerah mendata sendiri kebudayaan yang dimiliki daerahnya. Setelah memahami konteks kebudayaan Indonesia secara geografis, forum ini ingin memahami kebudayaan Indonesia secara sektoral. Apa permasalahan yang dihadapi pada bidang arsitektur atau seni visual, misalnya”, tambahnya.
Pada Forum Arsitektur dan Tata Kota, peserta melihat bahwa proses pembentukan ruang yang demokratis oleh kelompok warga belum diakui Negara sebagai objek kebudayaan yang perlu dilindungi dan dimajukan. Sebagai contoh, perkampungan yang memiliki bentuk tidak teratur umumnya dianggap sebagai kawasan kumuh oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Padahal, kampung merupakan sistem pengetahuan yang diciptakan sendiri secara alami (vernacular) oleh kelompok warga, dan dengan demikian perlu dilindungi karena nilai kebudayaan yang ada dalam pengetahuan tersebut.
“Meski demikian, kita tidak boleh sekedar melindungi kampung, karena kampung [sebagai pengetahuan] merupakan hal yang bertumbuh juga. Yang perlu dilakukan adalah menempatkan warga dalam proses perencanaan, pengembangan dan pemanfaatan kampung itu sendiri”, tambah Barry Beagen, Direktur Program Yayasan Kota Kita.
Pentingnya melihat ruang sebagai pengetahuan yang holistik ini juga tercetus dalam pembicaraan mengenai arsitektur. Sebagai sebuah perangkat pengetahuan, arsitektur tidak hanya membicarakan bangunan, namun juga konservasi bahan material hingga bagaimana manusia merespons bangunan itu sendiri. Dengan demikian, perlindungan bangunan yang dianggap sebagai objek budaya juga perlu dilengkapi dengan pengetahuan akan bahan material, cara membangun, hingga tipologi bangunan tersebut pula.
“[Dengan kata lain], arsitektur memiliki beban materialitas. Inilah yang membuatnya berbeda dengan seni visual”, ringkas Adi Wibowo dari LabTanya.
Sama halnya dengan arsitektur maupun tata ruang, keharusan menyikapi permasalahan dengan holistik muncul pula dalam perbincangan mengenai produk dan kerajinan. Pada umumnya, kerajinan Indonesia diproduksi dalam unit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) oleh pekerja yang memiliki keahlian mumpuni. Sayangnya, keahlian memproduksi kerajinan ini terancam putus karena tidak ada penerus dari generasi yang lebih muda. Hal ini dikemukakan William Kwan, peneliti batik Lasem.
“Regenerasi pekerja batik itu sangat sulit, terutama untuk anak muda. Pengerjaannya memang dianggap tidak menyenangkan – selain karena batik itu lengket, mengerjakannya bisa selama 8 jam sehari duduk di dingklik dengan postur yang tidak nyaman. Secara sosial pun tidak menarik, karena anak muda yang belajar membatik melakukannya dengan nenek-nenek yang sudah berusia diatas 60 tahun ketimbang rekan seumuran mereka. Lalu dari sisi finansial, pengerjaan batik luar-dalam yang memakan waktu satu bulan bisa jadi hanya dibayar kecil sekali, sekitar Rp.350.000,00”, jelasnya.
Menurut William, diperlukan inovasi untuk menyiasati agar batik tetap menarik bagi generasi muda. Sebagai contoh, warna coklat yang memiliki kesan kuno atau diasosiasikan dengan generasi yang lebih tua dapat dikombinasikan dengan warna biru yang lebih disukai oleh anak muda.
“Namun kita tidak dapat melakukan inovasi ini apabila kita tidak memperhatikan bahan baku batik terlebih dahulu. Dulu pewarna batik itu alami. Sekarang pewarna batik itu hampir semuanya sintetis, sedangkan kita sendiri sekarang belum memiliki perusahaan pewarna sintetis di Indonesia dan terpaksa mengimpor dari luar negeri”, ujar William.
Meski ada kalanya Indonesia memiliki ketergantungan dengan mengimpor bahan baku, di sisi lain pasar internasional telah terbukti menaruh minat besar terhadap produk tradisional dan kerajinan Indonesia. Hanya saja, pengrajin Indonesia belum memiliki kesiapan untuk masuk ke dalam pasar tersebut. Menurut Diana Nazir, pendiri konsultan interior Artura, hal ini disebabkan pengrajin lokal dari UMKM seringkali tidak hanya membuat, namun harus memasarkan sendiri produk mereka pula.
“Untuk ini dibutuhkan kurasi dan pendampingan produk yang dilakukan terus menerus, tidak boleh hit and run. Kita dapat mencontoh Du’anyam yang menyesuaikan standar desain dan produk anyaman bagi pengrajin di UKM dengan pasar Eropa. Ketika produk anyaman ini dibawa ke Milan, ternyata peminatnya banyak sekali.”, jelas Diana.
Namun potensi kerajinan Indonesia tidak hanya berasal dari produk tradisional. Menurut seniman Ika Vantiani, banyak pula generasi muda yang memproduksi kerajinan kontemporer yang lahir dari gerakan handmade yang bermunculan di seluruh dunia. Meski demikian, umumnya mereka tidak dapat berjualan langsung karena harga sewa lapak yang sangat mahal.
“Sebagai solusi, kita bisa menciptakan semacam bazaar kerajinan kontemporer yang dikurasi. Meski proses kurasinya sulit dan tidak semua orang dapat masuk, umumnya keuntungan yang mereka dapatkan dapat cukup besar karena sudah diperhitungkan melalui proses kurasi tersebut”, jelasnya.
Pada forum Seni Visual yang diadakan pada hari terakhir, peserta melihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi ranah seni visual adalah ketidaksesuaian paradigma pemerintah dengan kebutuhan sektor seni dan budaya. Sebagai contoh, upaya standarisasi dan sertifikasi bagi pekerja seni yang dilakukan oleh pemerintah justru cenderung membatasi ketimbang melindungi. Menurut Tigor Lubis dari Indonesian Professional Photographer Association (IPPA), terdapat sejumlah profesi, seperti kedokteran, dimana sertifikasi lebih masuk akal untuk diterapkan.
“Namun setelah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bahkan fotografer dan musisi diminta untuk memiliki sertifikasi pula. Padahal, penilaian akan kualitas seorang seniman itu tidak dapat datang dari satu hal saja. Sebagai contoh, bisa jadi ada fotografer yang karyanya tidak terlampau hebat, tapi ia dihargai karena pengetahuan dan dedikasinya mendokumentasikan sebuah suku”, ujarnya.
“Saat ini memang terjadi perubahan situasi. Dulu, pekerja film memiliki tingkatan yang harus dilewati. Sekarang seseorang bisa tiba-tiba menjadi produser atau sutradara. Meski sertifikasi bisa menjamin secara sistem, namun ia tidak bisa menjamin secara profesionalisme”, tanggap fotografer profesional Priyadi Soefjanto.
Apabila pewacanaan sertifikasi seniman menunjukkan adanya kesalahan paradigma di hilir, maka pendidikan seni yang merupakan hulu dari produksi pekerja seni pun perlu diperhatikan dengan sesama. Ade Darmawan dari Ruangrupa mengemukakan bahwa seni kerap dipandang di institusi pendidikan sebagai mata pelajaran sekunder alih-alih sebagai sarana untuk mendorong imajinasi dan kreativitas dalam aktivitas pembelajaran. “Serrum, misalnya, pernah bereksperimentasi mengajarkan matematika dengan pendekatan seni rupa melalui bahasa maupun strategi visual sehingga lebih menarik”, ujar Ade.
“Workshop untuk meningkatkan literasi seni memang sudah banyak, namun kita perlu memberi platform agar pengajar seni di tingkat sekolah dan pendidikan tinggi dapat bertemu. Bentuknya tidak perlu sekaku asosiasi. Yang penting, mereka dapat berjejaring untuk meningkatkan kapasitas bersama”, tanggap seniman Ng Swanti.
Ade menekankan bahwa permasalahan dari literasi tenaga pendidik ini adalah tidak meratanya institusi pendidikan dan ekosistem seni di Indonesia, sehingga masyarakat yang belajar seni di kampus yang terletak pada kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta enggan untuk kembali ke daerah masing-masing. “Untuk ini, kita juga dapat mendukung kehadiran sanggar informal, dimana ratusan tahun masyarakat belajar seni dari sana sebelum hadirnya jalur pendidikan formal seperti saat ini. Kenyataannya, banyak sekali seniman yang muncul dari sanggar”, lengkapnya.
Ratu Selvi Agnesia dari Studiohanafi mengemukakan pula bahwa pemerintah kerap kali luput melihat potensi komunitas seni daerah dan lebih memilih memasarkan kebudayaan sesuai preferensi mereka. “Di Depok itu ada dua kampus besar, UI dan Universitas Gunadarma. Ini berarti banyak anak muda yang memiliki potensi seni tinggal di daerah itu. Namun pemdanya lebih suka fokus dengan Abang None. Banyak seniman rupa pula yang tinggal di Depok, namun mereka hanya bisa membuat open house secara independen”, ujar Selvi.
Menurut seniman Enin Supriyanto, salah satu solusi dari berbagai problem paradigma pemerintah di atas adalah dengan mendirikan sebuah lembaga yang terpisah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tujuannya antara lain adalah untuk mengurusi pendataan, valuasi aset dan konservasi karya seni.
“Perubahan ini harus menyeluruh, dari cara pemerintah menyusun anggaran, membuat program, serta memilih pejabat yang bertanggung jawab atas seni dan budaya”, rangkum Enin.Ketiga forum ini adalah bagian dari rangkaian kegiatan Pra-Kongres Kebudayaan Indonesia yang mengumpulkan pelaku seni-budaya dari berbagai sektor. Pada 4 hingga 6 November 2018, sebanyak 400 peserta berkumpul pada 11 forum lainnya yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Hotel Sultan Jakarta. 11 forum tersebut mencakup ruang bahasan yang beragam, seperti Seni Pertunjukan, Masyarakat Adat dan Kepercayaan, hingga Kajian dan Pendidikan Tinggi.