/   Kabar Seni, Kolom

Keterangan gambar: Potret karya Perempuan 5/2 Identitas setelah direkonstruksi oleh senimannya, Syska La Veggie, untuk merespons pandangan negatif dari beberapa kalangan.

Oleh Syska La Veggie, Perupa, Anggota Koalisi Seni

Kesetaraan gender masih terabaikan dalam politik seni di Jawa Timur. Setiap perayaan yang berhubungan dengan perempuan seperti Hari Kartini dan Hari Ibu, biasanya memang ramai dengan pameran karya perempuan perupa di Jawa Timur. Namun, tidak banyak diskusi tentang kesadaran gender dan pelibatan perempuan dalam kegiatan seni.

Saya pernah terlibat dalam salah satu pameran seni rupa untuk menyambut Hari Kartini, digelar oleh kelompok perempuan perupa Sidoarjo, berlangsung di galeri salah satu lembaga kesenian di Sidoarjo. Sejak awal persiapan,  saya dipilih sebagai Ketua Panitia pameran. Saya mencoba memberikan kontribusi lebih untuk beragam kebutuhan produksi pameran, mulai dari menjadi relawan, sampai mencarikan perupa muda.

Pada pameran tersebut, saya berupaya mengudeta ketabuan dengan memamerkan dua karya, yaitu Nude is Not Naked dan Perempuan 5/2 Identitas yang membicarakan soal patriarki. Kedua karya itu, masing-masing berwujud garis sulaman bertubuh perempuan menyusui, serta sulaman tubuh-tubuh perempuan dilengkapi tempelan puluhan pembalut beraneka motif.

Malam menjelang pembukaan pameran, saya diminta untuk menurunkan karya atau merespon isu yang saya angkat dengan cara lain. Beberapa orang yang tidak menyukai karya saya menganggap dua karya tersebut vulgar dan tidak pantas dipamerkan karena pameran tersebut akan dibuka oleh istri Bupati Sidoarjo.

Esoknya menjelang pembukaan pameran,  saya mencoba merespon kedua karya saya tersebut dengan lakban warna merah muda, bertuliskan: “Katanya pameran tentang perempuan, tapi gak boleh nampilin punya perempuan!!! Perempuan tabu!!!”; dan “Kenapa orang nonton karya pake otak ngeres sih? Perempuan tabu???” Respon saya tersebut menjadikannya karya baru yang provokatif.

“Nude Is Not Naked” yang telah dikonstruksi ulang oleh senimannya, Syska La Veggie, untuk merespons pandangan negatif dari beberapa kalangan dalam pameran bertajuk Srikandi Bertaut di Galeri Dewan Kesenian Daerah Sidoarjo, April 2021. 

Pameran yang berlangsung selama seminggu berjalan dengan baik. Pembukaan pameran berjalan lancar. Apresiasi yang diberikan istri bupati terhadap karya saya juga sangat baik. Namun di balik itu, isu tentang  saya, termasuk karya yang saya buat, masih bergulir. Bahkan kehidupan pribadi saya menjadi bahan gunjingan antara mereka yang tidak menyukai karya saya dengan beberapa perupa peserta pameran yang baru saya kenal. 

Ketua kelompok perempuan perupa juga mendapat tekanan karena saya dianggap mempermalukan nama seniman di Sidoarjo. Namun tentunya ia membela saya dan mengapresiasi semua kerja keras  yang  saya lakukan. Sungguh miris,  saya tidak bebas berkarya di tempat tinggal saya sendiri, bahkan dengan karya yang membicarakan persoalan perempuan di sebuah pameran tentang perempuan. 

Saat itu, selain menjadi ketua pameran, saya juga menjabat sebagai anggota salah satu komite di sebuah lembaga kesenian di Sidoarjo. Penyelenggaraan pameran berbuntut panjang pada posisi saya yang dibuat tidak nyaman. Selama setahun lebih bergabung dalam lembaga tersebut, dan dua kali berganti Ketua Komite, saya masih dianggap tidak pantas mengisi posisi tersebut. Bahkan, mereka membuat open call untuk posisi Ketua Komite tanpa sepengetahuan saya. Perempuan kurang diperhitungkan untuk berperan dan mengisi posisi pemimpin.

Suatu hari, saya berbincang dengan salah satu perupa senior di Sidoarjo. Dia mengatakan, perempuan tidak bisa cekatan dalam memimpin dan menjalankan sebuah kegiatan seni. Menurutnya, seharusnya laki-laki yang memimpin dan lebih banyak berperan. Seksisme yang memarginalkan perempuan sebagai sosok tidak berdaya dalam kepemimpinan, meskipun sebenarnya mempunyai kapasitas lebih, dianggap lumrah.

Ketimpangan keterwakilan perempuan dalam lembaga seni, akademisi, dan kelompok-kelompok seni juga banyak terjadi. Beberapa lembaga kesenian belum mempertimbangkan keterwakilan perempuan. Salah satu lembaga kesenian Jawa Timur yang merupakan mitra pemerintah provinsi, misalnya. Lembaga ini dipimpin tujuh orang presidium yang semuanya laki-laki. Posisi seniman perempuan terabaikan

Lebih lanjut lagi, terkekangnya proses berkarya dan tekanan terhadap perempuan juga terjadi di lembaga pendidikan seni, yang seharusnya memberi ruang dan rasa aman selama belajar. Ketika menjadi mahasiswa di salah satu kampus seni di Surabaya, saya mengalami tekanan saat sidang tugas akhir. Salah satu karya yang saya buat berjudul Kembang Kelentit diperdebatkan karena judulnya dianggap vulgar. Suasana sidang memanas. Seorang dosen penguji menyerang saya dengan kata-kata kotor. Padahal karya itu mengangkat polemik sunat perempuan di Indonesia. 

Seorang kawan dari jurusan seni rupa di salah satu kampus negeri di Surabaya juga mengalami hal serupa. Karyanya, berjudul Taboo Menstruation, tidak diterima seorang dosen penguji yang tidak suka dengan topik menstruasi. Dosen itu menyatakan menstruasi masih dianggap tabu. Sebagai orang berbudaya ketimuran, kawan saya harus menjunjung tinggi nilai etika. Padahal, lembaga pendidikan seni semestinya berperan penting dalam membentuk ekosistem seni yang berperspektif gender.

Di kasus lain, pelecehan seksual terhadap perempuan juga perlu mendapatkan perhatian. Saya pernah beberapa kali mengalaminya, bahkan di kampus kesenian Surabaya tempat  saya belajar. Salah satu dosen menarik bagian belakang leher kaos saya sebanyak dua kali, dengan alasan ingin melihat tato saya. Hal serupa juga pernah dilakukan salah satu seniman senior di lembaga kesenian Sidoarjo, yang tiba-tiba menarik bagian dada baju saya. Lagi-lagi karena ingin melihat tato yang saya punya.

Seorang kawan seniman di Malang, bercerita pernah tiba-tiba dirangkul seseorang yang tidak akrab dengannya saat acara seni. Perilaku merangkul tanpa izin ini kerap terjadi, terutama saat berfoto bersama. Para pelaku tidak menyadari menyentuh bagian tubuh seseorang tanpa izin merupakan pelecehan seksual. Pelecehan seksual terhadap perempuan di ranah seni Jawa Timur masih masif dan banyak yang belum terlacak.

Sebagai perempuan dan perupa, hal-hal yang bersifat pribadi seperti gaya berpakaian, bentuk karya, cara berbicara, dan pilihan hidup masih terjebak serangkaian stereotip, diskriminasi, atau stigma yang beredar di masyarakat, bahkan di antara sesama perempuan. Salah satu hak dasar kebebasan berkesenian menyebutkan  setiap warga negara, apapun gendernya, berhak berkesenian dan berekspresi secara bebas. Sayangnya, ekosistem seni di Indonesia, terutama di Jawa Timur, masih didominasi budaya patriarki dan seksisme. 

Ekosistem seni berperspektif gender di Jawa Timur perlu terus dibangun , agar tidak terjadi ketimpangan gender dan perempuan mendapatkan hak berkesenian secara bebas. Kita perlu menghubungkan gerakan advokasi ke ranah gender. Misalnya, memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan berperspektif gender dengan membuat pameran dan kegiatan seni lainnya. Pengarsipan perempuan perupa juga perlu dilakukan agar dapat menjadi acuan untuk memperbanyak kerja kolektif, sehingga saling bersinergi. 

“Jadi seniman perempuan itu berat, bukan buat aku aja.”

Tulisan Terkait
Menampilkan 2 komentar
  • Uzzaer Ruwaidah
    Balas

    Iya emang benar … Banyak hal … Klo saya ,apapun saya akan tetap bergerak meskipun tanpa pengakuan ❤️😘 apapun yang dibicarakan tentang saya ,itu hnya sebagian perspektif mereka saja ,menolehnya akan malah membuat ” penting ” biarkan saja …

  • hartono
    Balas

    Perjalanan hidup…..hrs mampu menerima yg tidak cocok…dan berani meninggalkan yg cocok…niscaya akan tenang. ( salam kasih sayang ).

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.