/   Kabar Seni

Setelah hampir 35 tahun dibahas, pada April 2017 lalu, Indonesia akhirnya mengesahkan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Pemajuan Kebudayaan). Secara substansi, kelahiran Undang-Undang ini sangat diapresiasi oleh masyarakat. Substansi UU Pemajuan Kebudayaan yang lebih berfokus pada pengembangan tata kelola pemajuan kebudayaan dipandang lebih baik dari rancangan sebelumnya yang berusaha mendefinisikan budaya secara kaku dan cenderung bernuansa perlindungan.

Namun, tantangan yang lebih besar dari sebuah kelahiran undang-undang justru terjadi setelah ia disahkan. Dalam konteks UU Pemajuan Kebudayaan, tantangan terbesar justru saat memastikan setiap materi muatan undang-undang tersebut dilaksanakan sesuai dengan amanatnya.

Oleh karena itu, pada momentum 2 tahun pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan ini, Koalisi Seni Indonesia melakukan kegiatan pemantauan dan evaluasi (monev). Dengan adanya pemantauan dan evaluasi ini, diharapkan dihasilkan gambaran mengenai pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan secara konkret, terutama dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Selain itu, diharapkan banyak pelajaran yang dapat dipetik berupa pemetaan terhadap tantangan dan solusi apa yang perlu diambil, amanat apa saja yang belum dilakukan, hingga penerapan praktik baik yang tersebar di beberapa daerah. Tujuan akhirnya adalah bersama-sama mencari peluang untuk memperkuat mata rantai yang lemah dalam pemajuan kebudayaan.

Penelitian ini difokuskan pada 4 (empat) klaster isu utama, yaitu: Strategi Kebudayaan dan kepatuhan terhadap amanat undang-undang berupa perumusan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) di setiap daerah; Penyusunan Rencana Induk Kebudayaan; Pengembangan Sistem Data Kebudayaan; dan Perumusan Dana Abadi Kebudayaan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi berbagai cara atau teknik, yakni analisis media, survei persepsi, dan wawancara mendalam (in-depth interview). Pada penelitian ini, akan digunakan pula data statistik dari analisis media dan survei persepsi untuk mendukung kualitas analisis.

Pada monev tahun ke-2 ini, terdapat 9 temuan pokok dari pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan. Temuan pokok pertama terkait dengan penyusunan peraturan pelaksanaan oleh pemerintah. Secara keseluruhan UU Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan 21 substansi yang perlu diatur lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan menteri. Sebagai contoh peraturan tentang sistem pendataan kebudayaan terpadu, atau tentang penyelamatan objek pemajuan kebudayaan. Merujuk Pasal 60 UU Pemajuan Kebudayaan, keseluruhan ketentuan tersebut harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang disahkan.

Namun, dalam 2 tahun pelaksanaannya, baru satu 1 peraturan pelaksana yang berhasil disusun oleh pemerintah, yaitu Perpres 65/2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan.

Keterlambatan pemenuhan peraturan pelaksana ini tentu harus dicatat sebagai temuan pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan. Namun, hal ini harus dimaknai tidak hanya sekadar pertanda tertundanya penyusunan regulasi secara teknis regulasi, melainkan juga berkaitan dengan keseriusan pemerintah menjaga harapan dan animo publik atas kehadiran undang-undang ini. Selain itu, bagi daerah keberadaan peraturan pelaksana dipandang akan menambah nilai justifikasi dalam penyusunan peraturan di tingkat daerah, perencanaan program, serta berdampak pada dukungan anggaran terhadapnya.

Temuan pokok kedua terkait dengan posisi kebudayaan dalam perencanaan pembangunan. Untuk mendukung upaya pemajuan kebudayaan, UU Pemajuan Kebudayaan mengatur mengenai keberadaan 4 (empat) dokumen perencanaan, yang terdiri dari Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten/Kota, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Provinsi, Strategi Kebudayaan, dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. UU Pemajuan Kebudayaan menyatakan lebih lanjut bahwa keempat acuan tersebut merupakan serangkaian dokumen yang disusun secara berjenjang.

Dalam dua tahun pelaksanaan ini, upaya pemerintah untuk mendorong penyusunan PPKD di daerah bisa dibilang berjalan baik. Secara keseluruhan, sudah ada 335 dari 416 kota/kabupaten (sekitar 80%) dan 34 provinsi, yang telah menyampaikan dokumen PPKDnya kepada pemeritah.

Sedangkan di tingkat pusat, dokumen PPKD tersebut sudah ditindaklanjuti dengan penyusunan strategi kebudayaan tingkat nasional. Pada akhir 2018 lalu dokumen ini selesai dibuat dan telah secara resmi diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Menurut Pasal 13 ayat (6) UU Pemajuan Kebudayaan, dokumen strategi kebudayaan ini harus ditetapkan oleh Presiden. Namun, hingga kini penetapan strategi kebudayaan itu belum kunjung dilakukan.

Sebagai dokumen yang disusun dan bersifat berjenjang, maka konsekuensinya adalah materi dan kelengkapan dari satu dokumen acuan berdampak signifikan pada dokumen acuan yang lain. Pada titik ini, perlu pula disadari bahwa dokumen strategi kebudayaan ini akan menjadi rujukan utama dalam penyusunan rencana induk pemajuan kebudayaan. Selanjutnya, dokumen rencana induk pemajuan kebudayaan semestinya menjadi substansi dari dokumen perencanaan pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

Dengan demikian, pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah harus mengejar penyusunan dokumen-dokumen perencanaan kebudayaan agar sesuai dengan momentum penyusunan dokumen rencana pembangunan. Jika tidak, sangat disayangkan isu atau substansi kebudayaan belum kelihatan momentum dan acuan teknokratiknya selama 5 (lima) tahun ke depan.

Temuan pokok ketiga terkait dengan keterlibatan publik dalam pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan. Keterlibatan publik menjadi aspek yang cukup menonjol dalam proses pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan. Temuan dari survei persepsi maupun analisis media memperkuat hal tersebut, dimana keterlibatan publik menjadi catatan positif dalam pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan.

Bentuk keterlibatan publik yang paling tinggi adalah dalam bentuk keterlibatan dalam penyusunan PPKD dan keterlibatan dalam Kongres Kebudayaan. Hal ini menjadi poin positif namun keterlibatan publik selalu berjalan beriringan dengan tantangan untuk menjawab harapan pemangku kepentingan. Di sisi yang lain, keterlibatan publik dalam penyusunan PPKD menemui kendala berupa momen penyusunannya dilakukan pada anggaran tahun berjalan dan pada waktu yang sempit. Selain itu, terdapat janji pencairan Dana Alokasi Khusus yang hingga hari ini belum jelas realisasinya.

Temuan pokok keempat, terkait dengan model kelembagaan dan penganggaran urusan kebudayaan di level daerah. Bagi semua narasumber di tingkat daerah, pembentukan dinas kebudayaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari urusan lain dianggap pararel dengan kenaikan anggaran. Namun, temuan dari pemantauan dan evaluasi ini menyatakan tidak demikian. Pembentukan dinas kebudayaan bukan satu-satunya faktor pendukung kenaikan anggaran. Terdapat isu lain seperti visi daerah dan dukungan anggaran yang memadai, terutama dari pendanaan non APBD.

Temuan pokok kelima, terkait dengan pengarusutamaan isu kebudayaan oleh pemerintah daerah. Keberadaan dinas kebudayaan yang berdiri sendiri dapat memperkuat tujuan pengarusutamaan isu kebudayaan dalam rencana kerja pemerintah daerah. Untuk tujuan itu, setidaknya tingkat organisasi perangkat daerah yang menangani urusan kebudayaan harus sejajar dengan tingkat Dinas atau lebih tinggi posisinya. Ruang gerak melakukan pengarusutamaan sangat sulit jika hanya dijabat oleh kepala seksi. Kelebihan lain dari dinas kebudayaan yang berdiri sendiri adalah fokus dalam menjalankan urusan kebudayaan. Pada tataran praktik, isu kebudayaan selalu kalah dengan isu lain, seperti pendidikan atau pariwisata. Selain itu, konsekuensi logis dari pengarusutamaan kebudayaan ini adalah persinggungan atau bahkan perbenturan isu kebudayaan dengan isu lain.

Temuan pokok keenam, terkait sumber pendanaan alternatif bagi pemerintah daerah. Pendanaan berbasis APBD dalam praktiknya belum mampu mendorong pemajuan kebudayaan. Pendanaan berbasis APBD hanya mampu membiayai program atau kegiatan rutin. Selain itu, terdapat informasi bahwa ongkos politik dalam pengakomodiran dalam APBD mahal. Oleh karena itu, perlu ada dorongan untuk keterbukaan akses terhadap sumber pendanaan lain. Beberapa sumber pendanaan non APBD adalah dana aspirasi dewan, dana desa, dan konsep kerjasama antar pemangku kepentingan. Disamping itu, monev ini juga mencatat bahwa pemerintah pusat masih perlu meluruskan mengenai janji pencairan DAK pasca penyusunan PPKD oleh pemerintah daerah.

Temuan pokok ketujuh, terkait dengan amanat pembentukan dana perwalian kebudayaan. Dalam 2 tahun pelaksanaannya, terdapat satu hal yang penting dicatat, yakni adanya komitmen politik Presiden Joko Widodo untuk mengalokasikan anggaran Rp5 triliun untuk dana perwalian kebudayaan.

Namun, disamping soal alokasi anggaran, setidaknya di media, belum terlihat adanya kejelasan model pengelolaan dana perwalian kebudayaan. Berdasarkan analisis media, terdapat setidaknya dua model yang mengemuka, yakni model pengelolaan dalam bentuk badan layanan umum, dan model perwalian berdasarkan Perpres 80 Tahun 2011.

Monev ini menemukan bahwa model pengelolaan berbasis Perpres 80/2011 memiliki kelemahan karena dikelola oleh satker yang mengikuti pola anggaran Negara yang kaku dan rigid. Sedangkan model pengelolaan melalui badan layanan umum lebih memiliki kelonggaran dalam pengelolaan keuangannya, termasuk sumber dana baik APBN maupun swasta.

Temuan pokok kedelapan, terkait dengan sistem pendataan kebudayaan terpadu. Penyusunan sistem pendataan kebudayaan terpadu di beberapa daerah dianggap sama dengan penyusunan PPKD. Padahal lebih jauh, penyusunan sistem pendataan kebudayaan terpadu beranjak dari semangat perlindungan mengenai kejelasan asal-usul sehingga lebih terang siapa pemilik hak dan bagaimana pemanfaatan yang cocok untuk menghidupkan ekosistem kebudayaan di daerah tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat perlu memberikan penjelasan lebih lanjut kepada pemerintah daerah, termasuk kejelasan apakah penyusunan sistem pendataan ini berimbas pada pengalokasian DAK atau tidak sebagaimana pengalaman penyusunan PPKD lalu dan sebagaimana DAPODIK pada aspek pendidikan.

Terakhir, temuan pokok kesembilan terkait dengan tindak lanjut peraturan di level daerah. Dalam monev ini ditemukan bahwa respon tiap daerah dalam bentuk peraturan daerah pasca disahkannya UU Pemajuan berbeda-beda. Terdapat daerah yang mengambil langkah aktif menyusun peraturan pelaksanaan tingkat daerah setelah disahkannya UU Pemajuan Kebudayaan. Namun, di sisi lain, ada daerah yang sudah menyusun peraturan daerah terkait kebudayaan sebelum lahirnya UU Pemajuan Kebudayaan, dan ada pula daerah yang sedang pada tahap penyusunan peraturan daerah. Terhadap kedua daerah tersebut, peran pemerintah pusat sangat penting diperlukan. Bagi daerah yang telah menyusun peraturan sebelum lahirnya UU Pemajuan Kebudayaan, perlu dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Hal ini penting mengingat adanya paradigma dan tata kelola baru yang diperkenalkan dalam UU Pemajuan Kebudayaan. Sedangkan bagi daerah yang sedang menyusun, peran pemerintah pusat diperlukan dalam pendampingan untuk melakukan restrukturisasi sumber daya hingga pemilihan prioritas kebudayaan yang akan dimajukan.


Unduh ringkasan eksekutif ini dengan mengklik tautan ini.

Tulisan Terkait
Menampilkan 2 komentar
  • Rismayulya
    Balas

    Mohon maaf sebelumnya, saya Risma dari Universitas Diponegoro. Saya bermaksud mengakses materi paparan lengkap monev 2 tahun UU Pemajuan Kebudayaan, namun link tidak dapat diakses. Mohon bantuannya, terimakasih

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.