Bulan Juli ini saya mendapat kesempatan mewakili Jogja Biennale untuk menghadiri pertemuan pertama dan peluncuran International Biennale Association. Organisasi ini dibentuk untuk merespon perkembangan dalam dunia seni rupa kontemporer di mana jumlah penyelenggaraan biennale bertambah dengan intensitas cepat, nyaris mencapai 200 buah pameran berkala yang rutin. Kota Berlin dipilih untuk menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan pertama karena pada saat ini masih berlangsung perhelatan Berlin Biennale 8, yang kali ini dikuratori Juan A Guitan (Meksiko).
Hadir dalam acara ini setidaknya seratus orang yang selama ini telah mengambil peran aktif dalam mengembangkan konsep biennale sebagai sebuah pameran seni rupa yang menekankan pada konteks-konteks sosial politik, sebuah cara untuk meletakkan persoalan kota dan identitas pada gerakan budaya. Bisa disebut adalah direktur dari Documenta (pameran seni lima tahunan yang sangat disegani), direktur Gwangju Biennale, Direktur Sao Paulo Biennale, direktur Lyon Biennale dan lain sebagainya.
Selain merupakan pertemuan rutin, dalam kesempatan ini diselenggarakan pula konferensi “Why Biennale? Why Associate?” yang menghadirkan pemikir dan praktisi seni dari berbagai latar kebudayaan, di antaranya Nicolas Baurriaoud (Perancis), Bruce Althsuler (Amerika Serikat), Maria Hjalova (Ceko/Amsterdam) dan sebagainya. Diskusi-diskusi ini menekankan pada pembacaan kembali fungsi dan fenomena penyelenggaraan biennale, baik sebagai gerakan politik maupun gerakan kebudayaan.
Ada pula sesi yang membahas bagaimana biennale diharapkan menjadi sebuah ruang yang memungkinkan refleksi diri yang kritis (self-criticality) dari praktisi maupun institusi seni dari kemungkinan berkembangnya biennale sebagai agen kapitalisme global. Sesi-sesi diskusi ini berlangsung sangat menarik dan memberikan pertanyaan-pertanyaan baru bagi diri saya, tentang mengapa saya masih sedemikian yakin atas pentingnya sebuah peristiwa seperti biennale. Pertanyaan personal ini terutama menyangkut bagaimana kita bisa membangun terus- menerus relevansi sebuah peristiwa seni yang telah berlangsung sedemikian lama dan nyaris telah kita anggap sebagai rutin?
Acara inti dari pertemuan ini tentu saja peluncuran International Biennial Association (IBA). Perlu dicatat, pendirian organisasi ini pun tidak berlangsung mudah dan cepat, dan saya cukup beruntung terlibat dalam jangka waktu yang cukup panjang. Persiapan yang dibutuhkan nyaris mencapai dua tahun dan melibatkan sedemikian banyak pihak. Pertemuan pertama berlangsung di Gwangju Korea Selatan, Oktober, 2012 bersamaan dengan diselenggarakannya World Biennale Forum 1.
Setelahnya, dari kurang lebih 80 organisasi penyelenggara biennale yang hadir, dibentuk dewan pendiri sementara, dimana saya diberi kesempatan untuk terlibat. Setidaknya kami bertemu enam kali dalam dua tahun, dan hampir selalu bertemu di kota yang sedang diselenggarakan biennale seperti Sharjah (Uni EmiratArab), Istanbul, atau Venice.
Pertemuan-pertemuan yang cukup intens, terutama untuk merumuskan visi misi dan anggaran dasar organisasi, membawa saya pada atmosfer diskusi yang tajam dan kadang menegangkan. Dalam dewan pendiri, kami berupaya untuk merangkum dan mengadopsi berbagai macam perbedaan. Anggota dewan pendiri terdiri dari perwakilan biennale dari seluruh dunia dengan pertimbangan besar untuk memberi tempat untuk keterwakilan benua, skala penyelenggaraan dan sejarah.
Dengan demikian dewan pendiri tidak didominasi oleh penyelenggara dari negara/organisasi yang mapan dan kuat secara ekonomi saja. Selain Jogja Biennale, dalam dewan pendiri ada pula Havana Biennale (Kuba), Dak Art (Senegal) dan Marrakesch Biennale (Maroko). Hadir dalam kesempatan yang sama adalah Vicki Rosalina dari Jakarta Biennale.
Mengapa penting untuk berdiri asosiasi semacam ini? Tentu saja ada alasan-alasan klise dan konvensional seperti keinginan untuk mengembangkan jejaring, membagi pengetahuan bersama, membangun platform diskusi kritis atau memberi dukungan pada kerja-kerja kreatif yang dibangun oleh anggota. Alasan seperti ini bagaimanapun masih terasa penting dan secara praktis dan strategis keberadaan sebuah organisasi selalu relevan dalam aspek-aspek ini. Para anggota menunjukkan bagaimana jejaring ini membantu memperkuat posisi mereka ketika menghadapi sebuah konflik. Dua kasus yang menarik adalah yang diceritakan rekan dari Istanbul Biennale dan Kochi Biennale.
Bige Orer, direktur Istanbul Biennale mengatakan bahwa tiga bulan menjelang pembukaan, terjadi peristiwa politik Gezy Park yang teramat mempengaruhi penyelenggaraan Istanbul Biennale, di mana ada ketegangan antara pemerintah kota, seniman, penyelenggara biennale dan para demonstrans yang menentang pembangunan mal yang salah satunya diprakarsai sponsor penyelenggaraan biennale. Bige merasakan bahwa dukungan dan diskusi dengan teman-teman di asosiasi ini telah memberikan pengaruh yang signifikan terutama utk meraih dukungan dari dunia internasional.
Sementara pasca penyelenggaraan Kochi BIennale di India terjadi konflik antara pemerintah dan panitia berkaitan dengan alokasi pendanaan dan asosiasi ini menyebarkan petisi yang dapat ditandatangani para pelaku kesenian global. Surat ini sangat membantu panitia untuk meningkatkan posisi tawar mereka dengan pemerintah, sehingga negosiasi berjalan lebih berimbang.
Dua contoh ini menunjukkan pentingnya sebuah asosiasi tidak saja berkaitan dengan jejaring tetapi juga bersama-sama membangun kekuatan politik dalam berhadapan dengan kompleksitas sosial politik. Para anggota juga merasa sangat terinspirasi dari gerakan dan perlawanan yang dilakukan para penyelenggara biennale di dua kota ini untuk bisa terus menjadi peristiwa seni dan platform kebudayaan yang politis dan kritis.
Dalam tiga hari pertemuan ini dihadirkan pula kuliah umum dari Mari Bartomeau, presiden asosiasi museum se-dunia yang berasal dari Spanyol. Mari Bartomeau menekankan pentingnya membangun hubungan di antara sesama asosiasi sehingga tercipta kerja-kerja interdisipliner sehingga ranah kebudayaan yang kita geluti bisa menjadi sebuah wujud dari bermacam praktik budaya kontemporer yang melibatkan banyak komponen masyarakat dan menyentuh berbahai aspek kehidupan.
Membangun asosiasi adalah sebuah kerja memetakan pergerakan seni dalam transformasi sosial politik terutama dalam situasi-situasi yang kompleks. Karenanya aspek yang pragmatis, selain ideologis dalam sebuah asosiasi menjadi sangat penting. Aspek pragmatis ini bisa saja mencakup bagaimana para anggota membangun program pertukaran, peningkatan ketrampilan sumber daya, penerbitan dan penyebaran wacana dan pengetahuan, serta sebuah diskusi yang terbuka dan berkelanjutan tentang topik yang diajukan sendiri oleh anggota.
Menjadi anggota sebuah asosiasi memungkinkan kelompok seni atau seorang individu untuk terlibat dalam satu gerakan yang lebih besar.
Karena bersifat gerakan, maka menjadi penting bagi anggotanya untuk terlibat aktif dan memberi bentuk bagi program-program asosiasi itu sendiri. Keterlibatan anggota menjadi penting untuk menunjukkan jaminan keberagaman suara dan praktik seni, sehingga tidak didominasi oleh satu praktik yang bisa mewakili berbagai hal.
Pada saat yang sama, berasosiasi membantu kita untuk melihat situasi yang berbeda dalam gambaran yang lebih luas sehingga cara kita melihat masalah pun berkembang, dan menyentuh aspek-aspek dan masalah lain yang cenderung kita lihat sebagai rutin. Dari diskusi yang multi perspektif atas pertemuan kita dengan banyak pelaku budaya lain, pada akhirnya apa yang kita anggap sebagai masalah pun bertransformasi menjadi tantangan. Kita mendapat dorongan baru, juga kekuatan, untuk bergerak, secara kolektif.
Saya melihat keterlibatan saya dalam Koalisi Seni Indonesia ini pun demikian. Setelah sekian lama kita berjuang menempuh jalan panjang berkesenian, nyaris secara mandiri dan mengandalkan semangat pengorganisasian diri (self-organization) kita tampaknya perlu menjadikan koalisi ini sebagai platform untuk gerakan-gerakan kolektif demi membangun lanskap seni dan budaya Indonesia.
Sebagai anggota, kita perlu melihat ini sebagai peluang bersama, tempat dimana kita saling mendorong dan membangun tujuan lebih besar. Jika kembali pada pernyataan awal tentang bagaimana koalisi atau asosiasi membantu kita untuk menggambar sebuah peta besar atas apa yang selama ini sudah kita lakukan, maka dengan sendirinya, nyaris niscaya, asosiasi juga memungkinkan kita untuk menuliskan ulang sejarah gerakan kita sendiri, dalam cara pandang kita sendiri. Dengan catatan sejarah itu, praktik dan pengetahuan yang telah kita produksi menjadi bagian dari warisan kita untuk generasi masa depan.