/   
Mohamad Abduh Aziz
DKI Jakarta

DKI Jakarta

M. Abduh Aziz (10 Oktober 1967– 30 Juni 2019) aktif memproduksi film, terutama film pendek, feature, dan dokumenter. Lulusan Jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini juga seorang kritikus film dan kerap menjadi narasumber dalam berbagai lokakarya pengembangan film. Sejumlah kompetisi film yang diadakan oleh badan perfilman swasta maupun pemerintah telah mempercayai Abduh sebagai anggota Dewan Juri.

 

Pada 2005-2011, ia menjadi konsultan di Metro TV untuk program Eagle Award Documentary Competition. Ia pernah pula menjabat sebagai Board Director Jakarta Biennale 2011. Abduh juga merupakan anggota Dewan Kesenian Jakarta (2006-2012) dan anggota Masyarakat Film Indonesia. Pada 2011, ia berperan sebagai Ketua Panitia Festival Film Indonesia (FFI).

 

Sejak tahun 2016, Abduh menjabat sebagai Direktur Utama Perum Produksi Film Nasional (PFN). Melalui posisinya di dalam BUMN tersebut, Abduh berupaya melakukan perubahan-perubahan signifikan dalam ekosistem perfilman nasional sebagai bagian dari ekosistem seni dan kebudayaan di Indonesia.

 

Di Koalisi Seni, Abduh menjabat sebagai Ketua Pengurus pada 2012-2019. Kepergiannya begitu mendadak, namun warisannya sangat besar bagi ekosistem seni di negeri ini.

 

Berikut kenangan Eduard Lazarus, Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya Koalisi Seni, tentang Abduh.


 

Kepergian orang hebat selalu menyisipkan sebuah pesan penting: regenerasi. Dan bagi kami di Koalisi Seni, Mohamad Abduh Aziz adalah orang hebat. Maka ketika ia berpulang pada Minggu malam, 30 Juni 2019 akibat serangan jantung, kami tidak hanya berduka karena kehilangan seorang mentor dan sahabat, namun juga atas kepergian sosok penting dalam kesenian Indonesia. Tidak banyak orang mendedikasikan dirinya untuk memperbaiki ekosistem seni melalui kerja-kerja advokasi, dan Mas Abduh—demikian kami yang lebih muda menyebutnya—merupakan pionir pun pemimpin dalam jalur ini, memastikan berbagai sektor kesenian dapat berdikari dan bertumbuh-kembang.

 

Sejatinya, Mas Abduh adalah pegiat film. Ia merupakan manajer produksi untuk film Daun di Atas Bantal (1997) oleh Garin Nugroho, ko-produser dan turut menulis naskah untuk Impian Kemarau (2004), serta memproduseri film dokumenter Banda: The Dark Forgotten Trail (2017). Bersama rumah produksi Cangkir Kopi yang ia dirikan, Mas Abduh  menyutradarai Tjidurian 19 (2009) dengan Lasja F. Soesatyo, serta bertindak sebagai produser untuk film Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014). Karya terakhirnya sebagai sineas adalah menahkodai Perusahaan Film Nasional (PFN) sebagai Direktur Utama dan mengakhiri vakum produksi 27 tahun Badan Usaha Milik Negara tersebut melalui film Kuambil Lagi Hatiku (2019).

 

Namun, jejak Mas Abduh di perfilman Indonesia tidak berhenti pada pengkaryaan. Bersama pegiat film lainnya, ia turut menggerakkan Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang mengecam pasal-pasal represif dalam Undang-undang Perfilman dan menuntut pembubaran Lembaga Sensor Film (LSF) ke Mahkamah Konstitusi. Meski tuntutan ini gagal, MFI menumbuhkan kesadaran akan pentingnya tata kelola ekosistem perfilman yang baik serta terciptanya konsolidasi di kalangan pegiat film muda Indonesia kala itu.

 

Pada 2013, setelah rapat anggota pada tahun sebelumnya, ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Koalisi Seni yang pertama. Amanat ini diembannya hingga terpilih kembali untuk periode ketiga pada Rapat Umum Anggota pada Maret 2019 di Yogyakarta. Kala itu, ia menyatakan di hadapan anggota yang hadir bahwa ini akan menjadi masa bakti terakhirnya. Seusai acara, ia berpesan kepada regu sekretariat akan pentingnya regenerasi internal bagi kerja advokasi seni. Mas Abduh memang selalu memperhatikan dan mengayomi rekan-rekan yang lebih muda, mengajak kami untuk bersiasat dengan lebih cerdas. Dalam kata-katanya sendiri: “Jadi anak muda itu nakal boleh, goblok jangan.”

 

Kami akan terus mengenang kebaikan Mas Abduh, dalam hal besar maupun kecil: bagaimana ia seringkali, saat rapat, mengambil spidol dan langsung menggambar skema di flipchart untuk memantapkan alur pikir kami, atau ketika ia mengeluarkan wejangan yang begitu dibutuhkan kala krisis melanda. Atau setiap kali ia masuk pintu kantor, membawa biji kopi panggangannya sendiri bagi regu sekretariat yang butuh asupan kafein (kopinya beragam dari berbagai daerah Indonesia, dan selalu nikmat!), berbagi cerita ketika menumpang pulang di mobilnya—dan tentu saja, tawanya yang terkekeh-kekeh saat berkelakar.

 

Belum lama ini, kami menemukan kembali sejumlah puisi karya Mas Abduh dalam sebuah utas email senggang dari tahun 2016, yang berisi karya-karya puisi anggota sekretariat. Berikut salah satu puisinya, yang kami rasa tepat mengakhiri tulisan penuh kenangan ini:

 

Sungai Baliem

 

Jangan menunggu,

Aku harus pergi…

Demikian kata air kepada hulu,

Mengalir pelan dalam diam

Menjemput nasib di ujung sana,

Dalam curam dan kelok anak sungai,

Entah berapa huma dan desa terlewat,

Entah berapa waktu tersisa,

Hingga tiba di hilir beriak,

Menuju laut keabadian…

 

Wamena, 22 April 2015

 

 

Untuk mengetahui rekam jejak Abduh Aziz yang lengkap, silakan baca obituari yang ditulis oleh anggota Koalisi Seni dan Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan di laman DKJ.

Tulisan Terbaru

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.