/   Kabar Seni

Jakarta, 24 Mei 2024 – Rancangan perubahan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berpotensi semakin menghalangi pemenuhan kebebasan berkesenian, terutama hak untuk berkarya tanpa sensor dan intimidasi, hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi dan balas jasa atas karya, dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

Koalisi Seni menemukan 3 masalah utama dari RUU Penyiaran. Pertama, lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman untuk berkarya akibat perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dari yang sebelumnya mengawasi menjadi mengatur isi dan konten siaran. KPI kini berwenang untuk mengeluarkan surat kelayakan isi siaran berdasarkan P3 dan SIS yang ditetapkan tanpa kewajiban melibatkan pemangku kepentingan yang lain. Hal ini akan menghambat tercapainya cita-cita RUU Penyiaran yang tertulis dalam bagian penjelasan yaitu “terciptanya siaran yang merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam”.

Kedua, potensi kriminalisasi dan pembungkaman pada seniman akibat kewajiban sensor internal guna mematuhi (Pedoman Perilaku Penyiaran) P3 dan (Standar Isi Penyiaran) SIS yang didasarkan pada nilai subjektif dan multitafsir seperti agama, moral, dan adat istiadat. Pembatasan seperti ini akan berpotensi semakin membungkam ekspresi dari masyarakat minoritas dan kelompok rentan.

Ketiga, penyempitan ruang sipil akibat perluasan ruang lingkup penyiaran ke ranah digital dari yang semula hanya mencakup televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. Hal tersebut akan mengakibatkan semakin hilangnya ruang bagi seniman untuk dapat mendistribusikan karyanya, khususnya bagi mereka yang selama ini memilih platform digital sebagai kanal distribusi utama. Tidak hanya berdampak negatif bagi seniman, seluruh pembatasan terhadap akses isi siaran dan konten siaran yang beragam pada akhirnya juga akan mencederai hak masyarakat untuk mengakses karya sesuai dengan preferensi dan kebutuhan mereka.

Oleh sebab itu, Koalisi Seni mengajukan tiga usulan agar RUU Penyiaran dapat menjadi peraturan yang sejalan dengan semangat pemenuhan kebebasan berkesenian. Pertama, mengubah naskah RUU Penyiaran secara keseluruhan guna menghilangkan pengaturan anti kebebasan berkesenian dalam UU Penyiaran 2002. Kedua, mengubah pendekatan sensor menjadi klasifikasi usia yang disertai peningkatan literasi penonton guna membentuk masyarakat yang dewasa dalam memilih dan menilai siaran yang layak. Ketiga, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk seniman, dalam pembahasan RUU Penyiaran guna memastikan aturan yang dihasilkan ditujukan demi kepentingan publik.  

Masukan dan rekomendasi Koalisi Seni bisa dibaca lebih mendalam di opini editorial yang berjudul ‘RUU Penyiaran Semakin Menghambat Kebebasan Berkesenian‘ agar negara dapat menyediakan ruang aman bagi kelompok rentan dan minoritas untuk bebas berinteraksi dan berekspresi, membuat media siar sebagai ladang informasi nilai-nilai keberagaman dan membuat kebijakan yang mendukung kebebasan berkesenian di Indonesia. 

Ditulis oleh: Amalia Ikhlasanti

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.