/   

Wanggi Hoed, seniman pantomime Indonesia kelahiran Palimanan, Cirebon, 1988. Berkarya dan berproses kreatif di dunia seni pertunjukan sejak 2004, belajar di Jurusan Teater angkatan 2006 dan lulus dari STSI Bandung pada 2012, karyanya hadir di berbagai ruang publik dan ruang budaya.

 

Pernah nyantri menjadi Aktor dan Divisi Propaganda di Teater Cassanova, Wanggi juga Perintis ruang belajar komunal kreatif independent seperti; Mixi Imajimimetheatre Indonesia; Nyusur History Indonesia (ruang seni perjalanan kolaborasi seni, sejarah dan budaya, Aksi Kamisan Bandung, Gerakan Menolak Lupa dan Impunitas). Ia juga merintis dan menginisasi aneka agenda: Gerakan Kebudayaan Awak Inisiatif Arts Movement yang hadir di ruang publik bernama Perayaan Hari Tubuh Internasional; Inisiator Indonesia Street Mime International Festival 2017 di Palangkaraya; Mixi Mime Festival (Festival Pantomim pertama di Bandung); TUR MIME TIPIS TIPIS INDONESIA (perjalanan tur pantomim mandiri) sejak 2009; dan Peringatan tahunan World Mime Day/Hari Pantomime Sedunia sejak tahun 2011. Wanggi juga anggota World Mime Organisation (Organisasi Pantomime Dunia), Silence Community, dan Pantomime-Mime.

 

Ia juga berpartisipasi, berkolaborasi, serta membuat lokakarya bersama beragam seniman, musisi, komunitas serta masyarakat lintas disiplin baik dalam dan luar negeri, baik skala lokal, nasional maupun internasional. Ia telah melakukan pentas Pantomime 12 Jam Non-Stop di Bandung International Dance Film Festival dan Pantomime 6 Jam Non-Stop di Situs Sel No.5 Eks Penjara Bung Karno. Wanggi juga menjadi seniman pantomime yang pertama kali melakukan pertunjukan di atas Puncak Mahameru, Gunung Semeru 3.676 Mdpl (Gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa). Pada tahun 2013 berkolaborasi dengan Syafiq Effendi Faliq; Aktor Pantomime “The Qum Actor” dari Malaysia. Tahun 2013 juga berkolaborasi bersama Kelompok Sirkus Teater Kontemporer (Contemporary Circus Theater);  Chabatz De’Entrar Compagnie dari Perancis dan melakukan Tour Sirkus Teater ke 9 kota di Indonesia, Timor Leste dan Vietnam (Hanoi – Ho Chi Minh). Pada tahun 2018 diundang menjadi Penampil Seni juga Pembicara di Ubud Writer and Reader Festival 2018 (UWRF) dalam program utama; “Art For Impact”. Terlibat dalam projek kolaborasi Video Sunyi bersama Visual Banal (isu kesehatan mental). Projek kolaborasi video kampanye Spesies Liar untuk mengkonter konten perburuan, perdagangan, dan intervensi serta ekploitasi satwa liar dan habitatnya, serta menginisiasi Tur Liar 2021 untuk menyebarkan lebih luas karya video ini.

 

Mime, bagi Wanggi, adalah pekerjaan sikap. Pantomime adalah harta karun seni pertunjukan dunia, sebuah media untuk menyampaikan pesan melalui kinerja kreatif dari bahasa tubuh dan imajinasi terhadap pernyataan dari kenyataan. Konsep berkaryanya di dunia seni pantomime, yang menghadirkan kesunyian yang meruang, memanipulasi bunyi-visual baik imaji dan gerak tubuh pada tempo tertentu serta terapi masyarakat. Membawa cerita dari keberagaman dan kekayaan budaya leluhur nusantara. Ikat kepala dan pakaian budaya (misal; baduy) adalah identitas otentik yang selalu dipakai Wanggi dalam setiap pertunjukan guna merawat entitas nusantara dan memperkenalkan nilai-nilai luhur. Karya-karyanya menjadi jembatan ingatan perihal sosial-budaya, kemanusiaan, solidaritas, urban, lingkungan, sejarah, krisis, nir-kekerasan, perdamaian dan kesemestaan (spiritualitas) dengan disiplin tubuh yang meditatif dan interaktif serta kontemplatif. Baginya: pantomime itu seni bahasa tubuh yang sunyi berbahasa universal, ada sebuah pesan yang tersembunyi dari tiap gerak dan imajinasi dalam kecepatan dan tempo tertentu, bukan sekadar lucu-lucuan. Pantomime itu bahasa perdamaian, bahasa untuk semua manusia yang hidup di bumi ini.”

 

Dan tahun 2021, Ia mendirikan Pusat Studi Mime Wanggi Hoed yang berfokus pada penciptaan karya, pengkajian serta penelitian dalam mendistribusikan sumber pengetahuan seni pantomim serta pengabdian di masyarakat terhadap isu terkini dari berbagai lintas keilmuan guna melahirkan pemikiran-pemikiran yang inovatif dan inklusif.

Tulisan Terbaru

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.