Bagaimana kesiapan teman-teman seniman menghadapi protokol “new normal” dari pemerintah? Apa yang bisa dilakukan untuk memonitor pelaksanaannya? Pada 12 Agustus 2020, Koalisi Seni membahasnya di Ruang Usik-Usik Instagram Live dengan Mia Maria, Direktur Pasar Seni Ancol dan anggota Koalisi Seni, serta Eduard Lazarus, Peneliti Kebijakan Seni Budaya Koalisi Seni pada 2019-2020, yang telah menulis tentang protokol new normal ini. Amalia Ikhlasanti, Spesialis Komunikasi Kreatif Koalisi Seni, jadi moderatornya.
View this post on Instagram
Silakan baca transkrip yang disusun Dinita Amanda di bawah ini:
Waktu | Transkrip |
01:35-01:44 | Amel:
Tentang tanggapan lo nih, lo tadi udah mention Kemendikbud sama Parekraf udah ngeluarin protokol tanggal 2 Juli 2020? |
01:44-05:47 | Edu:
Protokolnya tebal, 49 halaman, judulnya nggak bisa diucapkan dalam satu tarikan nafas panjang banget. Protokol ini mengatur untuk semua macam kegiatan seni budaya dan ekonomi kreatif, intinya kira-kira kayak gitu. Hal pertama yang aku dapatkan dari membaca membaca protokol ini nih ternyata sifatnya rinci banget. Ini beberapa contoh yang aku ambil secara random dan ada di tulisanku yang bisa diakses di halaman Koalisi Seni. Misal poin E2 C2E, itu pemisahan antara kelompok pengunjung harus berada dalam lingkaran-lingkaran berdiameter maksimal 3 meter jarak antar lingkarnya 1,5 meter. Protokol mengenai tata letak ruang pertunjukan jadi sangat spesifik banget, duduknya diusahakan tidak berderet menghadap panggung lagi tapi bentuknya lingkaran-lingkaran jadi kayak ballroom. Tapi ada juga hal-hal yang sangat normatif, makanan harus bergizi, konsumsi perlu dijamin kebersihan dan kehigienisannya gitu. Jadi rinci banget sampe ke level apa ya, misalnya elo bikin film dan elo ada rambut palsu ada perform rambut palsu itu ada protokolnya begitu, protokol E2 D2 B7: rambut palsu dan kuas riasan harus selalu dibersihkan dengan desinfektan setelah pemakaian. Setiap orang kalau mau pakai make up harus pakai make upnya sendiri, itu ada protokolnya lagi. Sebenarnya di satu sisi ini cukup keren ya karena kedua kementerian ini tampaknya lumayan serius, mereka bener-bener membayangkan dan ngobrol kayaknya sama orang-orang yang memang paham cara produksi kegiatan budaya dan ekonomi kreatif, terus abis itu mereka semua bener-bener masukin semua elemennya itu satu-satu. Hal yang keren sih, kalaupun tidak sangat ribet sekali untuk penggiatnya, tapi yah di satu sisi kan ini buat keamanan bersama. Tapi di atas segalanya, protokol nggak bisa langsung dijalankan karena dia ada buffer dan buffer-nya itu adalah kepala daerah selaku kepala gugus tugas Covid di daerah masing-masing. Let’s say kamu tinggal di Cimahi gitu terus abis itu Cimahi zona merah, protokol ini sudah ada tapi kalau cuma zona merah ya sebaiknya nggak diadain dulu kegiatan apapun. Ini sangat tergantung kesiapan antar daerahnya masing-masing sih. Jadi titik awal berangkatnya protokol ribet banget, protokol ini rinci banget, tapi di sisi lain belum tentu penerapannya bisa oke gitu. Di atas kertas sih protokolnya bagus. Sisa op-ed aku tuh menggali, kalau kamu penggiat seni terus kamu lebih suka berada di lapangan dan kamu melihat aturan sebanyak ini yang kayak sangat intimidating gitu ya, terus tanggapan kamu kayak gimana sih? Nah, aku wawancara tiga orang: Rudolf Dethu, Co-direkturnya Rumah Sanur, untuk cari tahu kondisi Bali; Yuyun Sulastri, anggota Dewan Kebudayaan kota Malang; sama Mbak Amelia Hapsari aku ngobrol-ngobrol untuk cari tahu kalau di skena dokumenter tuh kira-kira kayak gimana kondisinya. |
05:47-06:14 | Amel:
Berarti tanggapan kamu mengenai new normal ini sebetulnya agak overwhelming juga ya, dalam arti bentuk tertulisnya padet, rinci, bagus sih cuma untuk diterapkan agak ribet dan kita belum pasti bisa menerapkannya dengan baik. |
06:14- 06:52 | Edu:
Iya sih, sebenernya sih kayak overwhelming dan kayak kalau ketika lihat protokol yang tebal dan detailnya segini dan kita pelaku seni, yang perlu dicari tahu tuh gap-nya itu loh antara protokol bagus dan penerapan bagus. Kalau dari protokolnya sendiri sebenernya udah sangat spesifik ya, aku pribadi membayangkan kesulitan apa lagi sih yang bisa dimasukkan ke dalam protokol ini. |
06:51-07:07 | Amel:
Terus kepo juga nih, tadi kan lo bilang udah wawancara beberapa pelaku seni ya dari Bali, Malang terus juga ada tentang skena dokumenter, boleh di-sharing nggak obrolannya apa saja? |
07:07-11:02 | Edu:
Aku nggak ngejelasin Dethu soal protokol, tapi ternyata respon inisial dia tuh sangat cocok. Dia bilang ternyata ada ambiguitas, antara pemerintah provinsi maunya apa, pemerintah Kota Denpasar maunya apa dan pemerintah Kabupaten Badung maunya apa gitu. Kalau menurut Dethu untuk mengatasi pandemi jadi kayak satu sisi sempat ada larangan buat orang Denpasar untuk bisa ke Kabupaten Badung tapi ya lagi itu masalahnya nggak konsisten, kadang-kadang sangat tegas, kadang-kadang pos penjagaannya itu nggak ada orang sama sekali. Nah sisanya kalau restaurant, bar, club di Bali beroperasi sesuai tingkat keseriusannya masing-masing. Ada yang sama sekali nggak ada protokol kesehatan karena di dalamnya orang-orangnya kayaknya nggak endorsing untuk kita nggak terlalu khawatirlah sama ini gitu, ada yang nerapin tapi ala kadarnya, ada juga yang rinci banget kalau waktu itu Dethu itu ngomongin Hard Rock cafe di Kuta gitu jadi dia buka pintu ada alatnya gitu buat lo bisa buka pintu pakai kaki, jadi ada rekayasa ruang ya di sana. Tapi itu kan tergantung masing-masing aja kan ya, nggak tau itu tergantung strategi pemasaran masing-masing kan. Ada yang merasa oh gue akan mendapatkan pasar kalau melakukan protokol dengan sebaik-baiknya gitu jadi orang trust sama gua, (tapi) jadi kalau orang terlalu banyak juga nggak dateng karena ribet. Poin gedenya adalah nggak ada monitoring, jadi waktu ngomong sama Dethu dia sempet ngomong kalimat buat aku tuh keren banget, “Kalaupun kamu buat 200 protokol tapi nggak ada yang memantau pelaksanaannya, (percuma).” Terutama setelah mempelajari kasus di Bali yang sempat di bulan Juli sistem kesehatan mereka itu mau overload gitu lah udah hampir over-capacity, dan kalau gak ada yang mantau protokol akan bermasalah. Permasalahannya, siapa yang memantau? Harusnya sih pemerintah daerah tapi lagi-lagi beda, kalau pemerintah Badung kan sangat heavy di tourism ya jadi ketika lo punya daerah dan pemasukannya turisme nah nggak tau tuh itu kan ada tensi ya antara ekonomi dan menjaga kesehatan masyarakat. Kalau di Bali tuh senimannya masih prioritas terakhir, jadi masih barnya dibuka tapi live music-nya nggak ada. Jadi masih kayak belakang-belakangan lah gitu meskipun venue-venue kesenian mulai dibuka, belum tentu senimannya mulai masuk juga. |
11:02-11:03 | Amel:
Menarik ya. |
11:03- 13:17 | Edu:
Iya Bali menarik sih pada saat itu kasusnya aku berterima kasih sekali sama Dethu ngobrol panjang waktu itu. Kalau di Malang justru kebalik, kalau kamu punya komunikasi yang bagus sama pemerintah, kamu juga bisa dapat banyak benefit dari sana. Ini kan tergantung ya apakah pemerintah daerah kamu itu tuh emang oke, apakah pemerintah daerah kamu bisa diandalkan. Kalau menurut Mbak Yuyun Sulastri dari Dewan Kesenian Malang mereka sangat bisa diandelin. Jadi waktu itu Dewan Kesenian Malang membantu Gugus Tugas Covid, terus mereka akhirnya mereka dapat sumbangan dari sana, mereka dapat hand sanitizer, mereka dapat thermogun, hal-hal dasar untuk masuk ke protokol new normal lagi. Hands anitizer itu kan penting ya itu kan kunci banget, tapi (lebih bagus) kalau misalnya kamu nggak harus ngeluarin dari saku kamu lagi, karena kamu punya hubungan bagus dengan pemerintah kotanya. Timbal baliknya itu adalah kalau Mbak Yuyun itu sangat rinci banget, dia bikin tiap orang yang masuk di gedungnya Dewan Kesenian Malang itu tuh ada daftarnya gitu loh dia masuknya jam berapa, namanya siapa, nomor teleponnya berapa, suhu badannya pas waktu masuk berapa. (Data) itu dilemparin ke Gugus Tugas Covid-nya jadi kan memudahkan contact tracing ya. Kerja sama mikro ini nih kelihatannya di awal remeh, tapi ternyata sangat ngebantu. |
||
14:24- 13:34 | Amel
Formulir screening itu dari Mbak Yuyun atau Dewan Kesenian Malang sendiri, atau memang ada dalam protokol yang dari pemerintahan itu? |
||
13:34-15:00 | Edu
Oiya iya jadi protokol Kemdikbud dan Kemenparekraf itu ada screening-nya sih, tapi sifatnya mandiri dalam artian”ini elo yang kasih assessment sendiri ke diri lo apakah kamu tuh sehat nggak sih, kamu tuh cukup sehat nggak sih untuk berkegiatan untuk menemui orang-orang di luar untuk bekerja dan bertemu dengan orang-orang lain lagi.” Dan itu agak beda sih. Aku merasa yang formulir yang Mbak Yuyun self-assessment lebih simpel, kayak daftar hadir aja tapi di ujungnya ada suhu gitu, itu kan cukup beda ya. Tapi kalau untuk keperluan contact tracing mungkin sebenarnya yang bagus adalah menggabungkan keduanya. Kalau formulir screening Kemdikbud dan Kemenparekraf soal “apakah kamu berhubungan sama ODP atau PDP dalam berapa waktu lama terakhir?” itu ada skornya. Apakah kamu bepergian ke luar negeri beberapa lama terakhir? Kalau skornya melampaui 4 kalau nggak salah kamu nggak aman buat keluar, jangan keluar dulu gitu. Sebenarnya kalau bisa dia itu bisa digabungkan keren banget ya gitu. |
||
15:00-15:03 | Amel
Rajin juga ya bikinnya. |
||
17:57-15:30 | Edu
Iya tapi harus rajin. Sekarang tuh kalau aku dengerin Mbak Yuyun sih semua orang ada kerjaan ekstra gitu gara-gara COVID ini. Kayak itu hand sanitizer harus di-refill, terus abis itu ada yang duduk di depan nungguin (untuk pakai) thermogun. |
||
15:30-15:05 | Amel
Oke, terus yang Mbak Amelia (Hapsari) di produksi film dokumenter gimana? |
||
15:05-20:27 | Edu
Kalau aku dengar dari Mbak Amelia ini sih pesannya keren banget. Jadi komunitas dokumenter internasional itu mereka sudah ada patokannya sendiri. Itu diluncurin sama Sundance Institute, terus mereka tuh nggak terlalu ngatur teknis harus kayak gimana pembuatan film dokumenter seperti protokol Kemenparekraf atau Kemdikbud. Mereka tuh bener-bener menanyakan gimana sih posisi dokumenter di masa pandemi? Ini kayak semacam self-assessment juga apabila lo pembuat film dokumenter. Pertamanya kayak gini, apakah dokumenter-dokumenter kamu bener-bener harus diproduksi selama pandemi, atau nggak penting-penting banget? Kata kunci yang diomongin Mbak Amelia itu kepentingan publik, apakah dokumenter ini melayani (kepentingan publik) lebih besar daripada (kepentingan) para pembuatnya, sehingga produksi harus tetap dilaksanakan kendati risikonya besar? Abis itu juga diminta self-assessment, kamu nggak boleh ketemu sama keluarga 14 hari sebelum shooting dan 15 hari setelah shooting. Kalau shooting-nya 1 bulan aja, 30 hari, berarti kamu nggak bertemu sama keluarga kamu 58 hari dan setengahnya itu in isolation karena harus di dalam hotel sendirian. Cukup berani nggak kamu ngambil resiko itu? Dampaknya ke mental kamu gimana sih, bisa jadi awalnya semangat kan, itu semua jadi harus lihat juga dampak dari pembuatan dokumenter. Kasus paling klasiknya itu orang-orang adat yang memiliki resiko paling tinggi karena resiko imun mereka belum kebal dari berbagai penyakit dan fasilitas kesehatan di tempat mereka sering kali tidak memadai. Jadi ketika kamu mendatangi komunitas adat ketika lagi pandemi, itu risikonya gede banget tuh buat mereka. Sanggup nggak, layak nggak kalau risiko itu diambil? Sisanya ya gitu aja sih, mengorganisir produksi seaman mungkin. Terus, teknis yang nggak terlalu teknis kayak kalau bisa produksinya di luar, jangan di dalam ruangan; kalau mau wawancara ada jaraknya. Tapi yang paling keren itu ketika ngomongin soal protokol, protokol kan nggak menanyakan apakah kegiatan seni X itu harus dilaksanakan dalam pandemi. Kesannya kayak itu dilemparin balik lagi ke yang bikin (film), kalau misalnya kamu mau bikin ya udah bikin aja sedangkan guide lain dari komunitas-komunitas ini kan mereka merespon hal-hal yang nyata banget dari komunitasnya. Jadi sebenarnya posisi film dokumenter di masa pandemi ini kayak gimana, apakah ini penting banget? Pelajaran paling gedenya menurut Mbak Amelia Hapsari itu adalah sekarang komunitas dokumenter tuh nggak bisa datang ke sebuah daerah membuat dokumenter untuk menceritakan cerita mereka. Justru yang harus dilakukan adalah proses skill dalam membuat film dokumenternya itu sendiri yang harus diluaskan, biar nggak orang-orang tertentu doang yang bisa bikin dokumenter. Jadi kalau misalnya kamu ada komunitas dan cerita kamu sangat menarik tapi kamu nggak bisa bikin dokumenter apapun tuh karena kamu nggak punya skill-nya, itu yang perlu diperluas. |
||
20:27-20:39 | Amel
Lumayan seru ya, dari Sundance itu ya jadi ada refleksi juga buat produksi, gue produksi atau enggak. |
||
20:39-21:43 | Edu
Jadi sebenernya sih yang enak semacam jadi protokol yang teknis ini bisa diterapkan, ini bukan perkara daerah aja, tapi buat setiap komunitas mengaktualisasi diri, bagaimana cara membuat seninya mereka itu jadi lebih nampol, lebih bermakna di masa pandemi ini. Hal terakhir yang kusuka dari protokol Sundance ini adalah mereka punya kerendahhatian dalam menyatakan nggak ada satu pun protokol yang bisa nyelamatin kamu dari virus. Jadi walaupun protokolnya sudah sebagus mungkin, kemungkinan kena itu masih ada, mau itu jalan sebaik mungkin itu masih ada risikonya. |
||
21:43-21:58 | Amel
Betul banget, jadi buat lo nih tahap selanjutnya dari pengawasan pemerintah maunya gimana, maksudnya dari pandangan lo menulis (op-ed) new normal ini? |
||
21:58-23:06 | Edu
Sebenarnya setengah kesimpulannya ini kan nggak kayak menyangkut sama kesenian doang ya, dalam artian ketika ada pengawasan protokol kan nggak protokol seni doang ya, pengawasan semua protokol di bidang industri, bidang UMKM, ini semua harus diawasi. Yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa protokolnya harus diawasi bukan komunitas seni lagi, bukan penggiat seni lagi, tapi pemerintah daerahnya masing-masing. Kalau mau di-push ya bidang seni mungkin bisa. |
||
23:06-23:16 | Amel
Iya iya, kalau selama ini Satgas COVID ngapain ya? |
||
23:16-23:31 | Edu
Mereka melakukan berbagai macam hal, tapi pertanyaannya kan di tiap daerah mungkin kualitas satgas (berbeda), di sini nggak sebagus satgas di kabupaten lain misalnya. |
||
23:31-24:16 | Amel
Oke baik terus dari teman-teman yang lain ada yang mau nanya nggak nih? Kalau tidak ada, saya akan ke Mbak Mia Maria. Thank you banget Edu udah sharing-sharing kayaknya udah bisa nih kalau misalnya mau nanya udah tau nih instagramnya Edu ya, atau DM @koalisiseni boleh di instagram. |
||
24:16-24:19 | Edu
Dan boleh love love-in banyak banget tuh mendadak |
||
24:19-24:35 | Amel
Saya suka banget loh love love, oke thank you banget Edu udah luangin waktunya dan menulis. Aku akan ke Mbak Maria. |
||
24:35-24:39 | Edu
Oke bye~ |
||
23:39-24:57 | Amel
Oke sama Edu sudah selesai, saatnya kita sama Mbak Mia Maria, Direktur Pasar Seni Ancol, aku akan invite, kita tunggu~ Hallo Mbak Mia! |
||
24:57-24:59 | Mia
Hallo! |
||
24:49-25:03 | Amel
Seger banget itu.. |
||
25:03-25:06 | Maria
Iya, gue lagi di Pasar Seni sih. |
||
25:06-25:10 | Amel
Sepi, pengen ke sana. |
||
25:10-25:25 | Mia
Pada dasarnya sepertinya masyarakat masih sangat aware kepada keadaan. |
||
25:25-25:32 | Amel
Tapi itu emang dibuka atau enggak sih Mbak, Pasar Seni sekarang? |
||
25:32-26:38 | Mia
Buka, jadi Ancol itu udah buka dari 8 Juli ya kalau nggak salah. Pasar Seni salah satu yang dibuka, tapi kita memang banyak sekali peraturannya. Bahkan kayak studio-studio seniman yang kelihatan di sebelah sana itu masih banyak yang belum buka ya karena kita ada peraturan, yang 60 tahun ke atas itu belum boleh masuk Ancol. Kecuali di pagi hari dari jam 6-10 pagi, hanya untuk olahraga di pantai atau di pasar seni yang di area terbuka. Akibatnya teman-teman seniman yang berumur 60 tahun ke atas tidak bisa buka dulu dan kita bebaskan juga dari berbagai macam kewajibannya. |
||
26:38-26:40 | Amel
Oke lumayan juga. |
||
26:40-26:43 | Mia
Melindungi mereka karena kalau mereka harus berhadapan langsung sama pengunjung kan. |
||
26:43-26:56 | Amel
Iya serem sih. Aku juga mau nanya dong ke Mbak Mia tentang pendapat Mbak Mia tentang new normal di sektor seni untuk saat ini, gimana? Baik-baik aja nggak sih? |
||
26:56-29:08 | Mia
K udah keluar banyak ya peraturan-peraturan yang menuntun kita. Peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah untuk membimbing kita ya. Pada dasarnya adalah ini.. awalnya itu yang wilayah Jakarta kita terima ada SKB 51 tentang PSBB transisi tahun 2020 ya, itu kita bisa lihat di pasal 15 dan pasal 16. Pasal 15 yang mengatur tentang fasilitas umum dan pasal 16 yang mengatur tentang ruang seni budaya tentang penyelenggaraan seni budaya di situ udah lumayan detail, mendasar. Mereka juga nggak bisa membuat sesuatu terlalu mendetail karena setiap ruang kan kondisinya berbeda-beda. Jadi ini dibutuhkan kedewasaan masing-masing dari kita, sudah pasti kita harus punya kesadaran bahwa ini semua untuk melindungi diri kita, orang lain, dan orang di rumah kita. Makanya protokol ini harus dijalani. Keluar Pergub (DKI Jakarta) 51 lalu keputusan Kementrian Kesehatan, lalu Kemdikbud dan Kemenparekraf bersama-sama ngeluarin SKB, SKB-nya itu juga detail banget dan mendengarkan masukan dari kita-kita dari para pelaku seni. Kita sendiri Pasar Seni mengirimkan protokol kita dan sebagainnya untuk masukan. Yang aku lihat sih udah berusaha diatur, nah sekarang kitanya cukup dewasa nggak untuk bertanggung jawab nggak terhadap diri sendiri, untuk orang lain, bertanggung jawab untuk sama sama untuk kita menjalankan protokol ini? |
||
29:04-29:18 | Amel
Ya berarti so far so good lah untuk Pasar Seni juga ya masih bisa menjalani protokol seni tersebut dengan baik semaksimal mungkin? |
||
29:18-30:30 | Mia
Ya kita upayakan, banyak hal yang harus kita ubah juga banyak sekali. Misalnya gini, infrastruktur ruang itu kita menambah di ruang publik kita, apalagi di luar luar ini kita menambah 7 wastafel untuk cuci tangan. Kita taruh di setiap pojok, jadi nggak ada alasan bagi pengunjung nggak cuci tangan. Lalu kedua, ini nggak sengaja sebenarnya, jadi waktu dulu kita bikin seminar tentang pemulihan seni budaya pasar seni, kita meneliti dan kita ngobrol dengan banyak arsitek itu ada kebutuhan bahwa ruangan tertutup itu harus dibuka jendelanya selama at least satu jam sehari untuk mengeluarkan sirkulasi udaranya. Itu untungnya galeri kita punya jendela, punya pintu tiga, jadi kita bisa buka itu untuk supaya sirkulasinya bagus. |
||
30:30-30:50 | Amel
Jadi untuk kesiapannya Pasar Seni Ancol itu menjalankannya gimana, apakah pas protokol turun lebih matang lagi kesiapannya dan prosesnya itu seberapa lama sih? |
||
30:50-31:39 | Mia
Taman Impian Jaya Ancol bahkan sebelum SKB keluar kita tuh udah bikin protokol, bahkan protokol kita kasih ke Kemdikbud dan kita kasih ke Pemprov. Jadi kita waktu itu kita diundang Pemprov untuk ngobrolin ini juga. Ancol sendiri punya protokol puluhan untuk mengatur banyak hal, karena yang kita atur itu kan nggak hanya sekedar ruang galeri atau ruang publik ini, tapi juga di dalamnya ada ruang F&B, ada ruang kerja. Lalu, bagaimana protokol pegawai kita berangkat kerja pulang kerja, itu kita semua ada protokol secara detail, jadi puluhan protokolnya. |
||
31:39 | Amel
Oh, malah sebelum protokol dateng ya? |
||
31:39-32:15 | Mia
Sebelum SKB dikeluarkan, karena memang SKB itu nggak salah juga sih, karena SKB itu nunggu keputusan dari Kementerian Kesehatan dan banyak hal. Aku tahu banget kesulitan mereka waktu itu adalah menyusun itu yang menyusun suatu protokol yang bisa mencakup seluruh Indonesia, itu nggak gampang loh ruangnya berbeda beda, ruang budaya sama pasar seni berbeda, sama museum beda museum yang jenis ini sama jenis itu beda. |
||
32:15-32:30 | Amel
Wah jelimet juga sih yang bikin protokolnya, btw ini ada pertanyaan, Pasar Seni Ancol apakah sekarang sudah berencana mengadakan acara, terus harus disetujui Satgas COVID DKI ya Mbak? |
||
32:20-32:58 | Mia
Harus disetujui satgas DKI. Jadi kita harus kontak terus sama mereka, ngobrol terus sama mereka, apakah kita sedang/akan mengadakan acara. Kita punya agenda di bulan September, Oktober, dan November tapi tentu saja kita akan selalu melihat keadaan dan menyesuaikan karena again yang penting adalah keselamatan masyarakat. |
|
32:58-33:04 | Amel
Berarti selama ini acara masih online aja? |
|
33:04-33:50 | Mia
Saat ini masih online, tapi kita akan mengadakan acara untuk stakeholder di mana itu cukup sedikit orangnya, dan karena ruangan kita gede banget, sebenernya ini ruangan yang aman sih karena kita gede dan open air. Nanti pada saat kita mengadakan acara dengan stakeholder itu kita akan merekam atau mengambil live untuk di live streaming. Jadi mengundang massa banyak itu belum, biarpun kita sebenernya punya rencana tapi tentu kita tetap akan melihat keadaan, mengikuti arahan Pemprov juga. |
|
33:50-34:15 | Amel
Menurut Mbak Mia, protokol seperti apa sih yang sangat dibutuhkan untuk supaya bisa diterapkan dan beroperasi kembali lagi? Kebijakan yang tepat itu seperti apa, apakah sekarang sudah ada yang tepat atau belum? |
|
34:15-35:30 | Mia
Kebijakan yang paling tepat adalah kesadaran dari kita masing-masing untuk bersikap dewasa dan mengatakan bahwa ini tanggung jawab kita. Pemerintah sudah membuat peraturan yang detail. Bukan hanya pemerintah, kalau misal malas baca karena SKB-nya panjang google-lah gitu misalnya yang lain-lainnya sederhana, sederhana banget cuci tangan, pakai masker, jaga jarak 1-2 meter, kalau sakit periksa jangan kalau sakit berkeliaran. Kita harus dewasalah, ini tanggungjawab kita. Pemerintah kita ngadepin banyak juga ya, pemerintah kita nggak sempurna, tapi mereka ngadepin banyak banget, mereka nggak hanya mikirin protokol aja. Protokolnya tuh bisa dibuat tapi kalau orang-orangnya masih tidak mempunyai kedewasaan untuk melakukan, ini tanggung jawab gua untuk ikut melaksanakan ini ya mau diapain, mau ditembak-tembakin gitu kan nggak mungkin. |
|
35:30-35:38 | Amel
Berarti kesadaran pengiat seninya harus lebih peka lagi? |
|
35:38-36:35 | Mia
Bukan kesadaran penggiat seni tapi juga kesadaran masyarakat. Ini kita menghadapi kematian loh. Kita waktu bikin peraturan di sini seniman nggak boleh menginap selama masa pandemi ini, kan kadang-kadang seniman suka males pulang mereka nginep di sini, mereka nggak boleh nginep mereka cuma nanya “waduh Mbak ini gimana caranya?” Gue cuma bilang,”Listen, kita menghadapi kematian. Akibat dari ini semua adalah kematian, setelah kematian resesi ekonomi, kalau ini lebih lama kita akan bangkrut.” So this is our responsibility, tanggung jawab kita juga. Orang mau bikin peraturan, sejauh apa sih yang bisa mengawasi. Katanya kita negara ini kan demokrasi tapi masa mau diawasin, ya kok mintanya diawasi. Apakah kalian mau diawasi dengan jarak dekat misalnya kayak di Korea Utara gitu? Nggak juga kan. Jadi pada saat kita bilang ini negara demokrasi, pada saat kita bilang kita orang dewasa, bertanggung jawablah ikutilah peraturan. |
|||
36:35-37:14 | Tadi Edu sempet mention kayaknya perlu ada pengawasan nih, siapa yang bertanggung jawab dengan protokol ini selain pegiatnya ya? Misalnya satgas atau pemda? | |||
37:14 | Mia
Ada Satpol PP. |
|||
37:14-37:22 | Amel
Oh ada Satpol PP, jadi sejauh ini Pasar Seni Ancol itu diawasi, ada check and recheck sama Satpol PP tersebut? |
|||
37:22-39:18 | Mia
Bukan hanya Satpol PP aja. Waktu kita baru-baru buka itu ada 5 instansi yang masuk keluar Ancol, sampai sekarang pun dari dinas, dari pemkot, dari Satpol PP, dari mana lagi.. ada 5 instansi, aku lupa mana aja – yang datang memeriksa apakah orang-orang sudah rapid test, apakah orang-orang benar pakai masker, apakah ini itunya itu ada. Tapi memang ada keterbatasan, gimanapun juga Jakarta itu kan gede ya, ini kita ngomongin konteks Jakarta aja ya, gimana Indonesia ya kan untuk bisa masuk ke pelosok-pelosok untuk bisa masuk ke gang-gang kecil mungkin nggak semua kerja tercapai di waktu yang tepat. Bisa aja pas petugas masuk memang nggak ada apa-apa kok tapi ternyata sejam kemudian petugas pergi mereka party-party kan bisa juga ya. Jadi di sini kita mesti melihat tentang ketahanan masyarakat itu dari lingkar-lingkar kecil dari lingkar RT, RW, Kelurahan, PKK atau apalah rumah tangga atau apalah tetangga misalnya bagaimana kita ini itu harus kita jaga dari mulai situ. Sekarang sebenarnya banyak sekali yang sudah melakukan itu, banyak organisasi lingkar-lingkar yang udah organize. Misalnya RT di rumah saya cukup ketat. Nah ini harus warga harus aktif, kita nggak bisa bilang, “awasi kita dong supaya kita bener,” karena berapa banyak kita di Indonesia dan is that what you wanted untuk diliatin terus? |
|||
39:18-39:48 | Amel
Jadi harapan Mbak Mia tuh sebenernya dalam sektor seni itu sesederhana kita sadar diri, kita jalani baik. Kalau tadi Mbak Mia bilang ini kan kita menghadapi kematian gitu ya, tapi sejauh ini prosesnya seperti yang mengawasi gitu Satpol PP itu dan lima instansi tadi datangnya mereka rutinkah per bulan atau seminggu sekali dua kali gitu? |
|||
39:48-39:53 | Mia
Kadang-kadang sidak (inspeksi mendadak). |
|||
39:53-39:59 | Amel
Sidak? Oh gitu, kalau di Jakarta terlebih di Pasar Seni Ancol udah begitu ya. |
|||
39:59-41:00 | Mia
Kita berkomunikasi sama mereka terus dan kita di Ancol kan percontohan buat DKI, kita BUMD, kita punya kesadaran bahwa kita harus berusaha semaksimal mungkin, supaya protokol ini dijalankan dengan baik. Sekarang mungkin yang paling penting menyelenggarakan kesenian ini jadi tugas masing-masing management. Manajemen ruang, manajemen event, maupun manajemen produksi untuk sadar benar dan mengambil tanggung jawab itu. “Ini tanggung jawab gue supaya teman-teman gue dan semua orang yang terlibat di proyek ini selamat.” Di situ bolehlah galak, bolehlah tegas gitu. |
|||
41:00-41:42 | Amel
By the way ada yang mau nanya nanya nih ke Mbak Mia para penonton kalau kata Mas Michael Asmara sadar diri itu susah di masyarakat kita tapi ya harus dimulai. Mbak Mia mau menyampaikan sesuatu lagi nggak? |
|||
41:42-41:50 | Mia
Pokoknya ini tanggung jawab kita masing-masing, take it as your responsibility untuk menjalankan. Yang aku lihat sih pemerintah sudah berusaha bikin sedetail mungkin. Kalaupun ada beberapa yang mendasar sebenarnya syaratnya juga gampang kok ya, jaga kebersihan, jaga kebersihan, jaga kebersihan. |
|||
41:50-41:59 | Amel
Mbak Mia, aku mau kepo satu lagi boleh nggak pas Mbak Mia kan tadi sempet mention disidak itu diapain aja Mbak? |
|||
41:39-42:33 | Mia
Kalau di sini, jujur sih kalau di sini komunikasinya amat sangat lancar gitu ya, didatengin aja, dilihat. Kan ada banyak kejadian ada kegiatan apa ditutup kemarin di Senopati ada restoran yang ditutup, misalnya ada restoran bar di area Santa yang kemarin beberapa bar ditutup sama Satpol PP. |
|||
42:33-32:38 | Amel
Oh berarti setidaknya ada pemeriksaan dan kalau ada pelanggaran ya ditutup ya. |
|||
42:38-42:58 | Mia
Bener, langsung ditutup, didenda. Dendanya banyak 250 juta atau berapa gitu ya, eh 25 juta kalau buat ruang, 250 ribu kalau nggak pakai masker. Aku lihat orang naik motor ditangkap-tangkapin polisi gara-gara nggak pakai masker udah banyak sebenarnya. |
|||
42:58-43:19 | Amel
Iya sih lumayan btw Mbak Mia ini pertanyaan baru pada berhamburan. Ada pertanyaan dari @anakpelo, protokol kesehatan yang sudah ada sekarang ini apa itu memang dibutuhkan di pasar seni? Selain protokol kesehatan apalagi yang dibutuhin sama pasar seni? |
|||
43:19-45:25 | Mia
Yang dibutuhkan adalah vaksin. Protokol kesehatan udah kita buat, itu juga kita ngereview lagi dengan SKB yang diberikan kementerian. Apalagi yang dibutuhkan? Kesadaran masyarakat, again, supaya segala hal ini mereda, supaya kita semua hati-hati. Tentu saja kalau itu kena bukan berarti itu kesalahan kita, nggak seratus persen itu kesalahan kamu ya kita nggak mau nyebut itu kesalahan ya, tapi ya itu itu aja sih yang perlu dibutuhkan agar mereda lebih cepat karena kita mau berusaha. Pasar Seni sih akan baik-baik saja ya sebagai ruang, tapi kita mulai butuh mulai aktif – ruang seni budaya kupikir bukan hanya sebagai protokol, tapi juga soal pemulihan. Soal bagaimana kita menyediakan program-program dan ruang-ruang kita untuk strategi pemulihan misalnya. Saat ini kalau kalian lihat #pemulihanbersama di instagramnya Pasar Seni Ancol kita membuat (konten) dengan beberapa seniman dengan Arahmaiani, Tisna Sanjaya, Mella Jaarsma, Mbak Melati Suryodarmo, di situ kita melihat bagaimana para seniman bekerja dengan komunitas-komunitas untuk menciptakan pemulihan bersama dari kondisi ini. Misalnya pun mereka tidak bekerja dengan komunitas, misalnya Mbak Melati, sangat politik mengungkapkan struggle nya dia, pergulatan dia dengan masa-masa ini. Itu kan menjadi contoh untuk masyarakat untuk menuju pulih ya. |
|||
45:25-45:32 | Amel
Sebenarnya pemulihan yang susah ya. |
|||
45:32-45:37 | Mia
Benar, dan kita harus merayakan bersama coba lihat hastagnya pasar seni ancol deh kamu lihat bersama sama lihat video-videonya. |
|||
45:37-45:43 | Amel
Aku juga sudah lihat videonya, aku udah nonton, seru. Aku kayak langsung mikir. |
|||
45:43-45:51 | Mia
Oh masih banyak lagi yang lagi kita edit bukan cuma seniman yang itu doang, tapi banyak lagi di dalam. |
|||
45:51-46:04 | Amel
Aku menunggu. Terus ada lagi nih Mbak dari @CaturBowo, kalau ngomongin protokol apakah sudah ada standar khusus pagelaran atau protokoler seni Mbak yang resmi gitu? |
|||
46:04-46:34 | Mia
Sudah, coba lihat di SKB Kemendikbud dan Kemenparekraf itu aku udah lupa no nya berapa tentang protokol new normal itu udah ada itu kalau seluruh Indonesia, lalu ada Pergub 51 tahun 2020 itu dari Pemprov Jakarta. |
||
46:34-46:52 | Amel
Jadi sudah ada ya, jadi tinggal dibaca-baca aja, ayo kita rajin baca. Terima kasih Mbak Mia, ada lagi yang mau disampaikan atau ada yang mau bertanya lagi? Terima kasih atas waktunya, semoga kita bisa keluar sama-sama dan main ke Ancol.
|
||
46:52-47:09 | Mia
Oh bisa main kapan aja kok, kita aman di sini. Tapi dateng pakai masker ya, nanti boleh cuci tangan di wastafel kita di sini. Tujuh-tujuhnya, tujuh kali cuci tangan. |
||
47:09 | Amel
Tujuh kali cuci tangan! Baik, makasih Mbak. |
||
-47:20 | Mia
Makasih, thank you, bye-bye. |
||
47:20-48:12 | Amel
Baiklah, terima kasih yang sudah stay tuned, nonton, ikut diskusi, juga tadi ada yang tanya-tanya. Kalau mau informasi lebih lanjut itu ada di link.tree-nya Koalisi Seni, ada yang tentang protokol SKB itu, tulisannya Edward Lazarus yang New Normal Kesenian bisa dikulik-kulik. Boleh juga DM Instagram Koalisi Seni, langsung follow! Jangan lupa ke spotify RUU – Ruang Usik Usik untuk tema-tema dan topik-topik lainnya yang seru juga pastinya. Terima kasih semuanya. |