Selama sekian dekade, kebudayaan kerap terpinggirkan dalam pembuatan kebijakan dan wacana politik Indonesia. Tak mudah mengukur subjek ini dengan angka, sehingga seolah ia tidak cukup menarik untuk dikembangkan dalam strategi pembangunan yang dipenuhi kuantifikasi indikator dan sasaran.
Padahal, seni budaya adalah hal penting dalam hidup kita semua. Budaya adalah pola dan panduan hidup menyeluruh yang dimiliki sekelompok orang, termasuk bangsa Indonesia. Undang-undang (UU) Pemajuan Kebudayaan yang akhirnya dilansir pada 2017 mendefinisikan budaya sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat. Sehingga, kebudayaan nasional diartikan sebagai keseluruhan proses dan hasil interaksi antarkebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Objek pemajuan kebudayaan pun terentang dari adat istiadat, bahasa, manuskrip, permainan rakyat, ritus, tradisi lisan, hingga seni.
Namun, sebagai topik debat calon pemimpin negara berikutnya, kebudayaan ditempatkan sebagai subjek paling akhir setelah pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial. Pada debat 17 Maret 2019 mendatang, kita akan melihat apakah KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden (cawapres) memiliki semangat dalam “menjual” ide kubunya soal kebudayaan, yang ditaruh jadi topik penghujung. Sebelum debat dimulai, mari kita telisik cara Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memandang kebudayaan.
Pemajuan versus Pelestarian
Dalam misinya, Jokowi-Ma’ruf menyatakan ingin mewujudkan kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Seni budaya disebut sebagai DNA bangsa, sedangkan keragaman kebudayaan daerah adalah kekayaan dan identitas yang diperlukan untuk memajukan kebudayaan Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia. Untuk itu, dua di antara program aksinya ialah mengembangkan pemajuan seni budaya dan meningkatkan kepeloporan pemuda dalam pemajuan kebudayaan.
Saat diperinci, program aksi pasangan kandidat tersebut mencantumkan tekad melaksanakan secara konsisten langkah strategis pemajuan kebudayaan melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Mereka pun ingin menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan, membuat tata kelola kebudayaan terintegrasi dan terencana, serta merevitalisasi dan meningkatkan pembangunan pusat kebudayaan, museum, dan warisan budaya di daerah-daerah.
Musik dan film disebut secara spesifik sebagai bentuk seni yang difasilitasi dalam upaya pemajuan seni budaya. Pemajuan musik digadang akan dilakukan melalui perlindungan hak cipta, sistem pendataan terpadu, peningkatan apresiasi dan literasi musik dalam pendidikan, peningkatan kesejahteraan musisi, maupun penyiapan infrastruktur pendukung. Sedangkan film akan dimudahkan dari sisi pembiayaan, infrastruktur pendukung, perlindungan hak-hak pekerja, maupun peningkatan apresiasi masyarakat pada film Indonesia.
Sedangkan Prabowo-Sandiaga memasukkan budaya sebagai salah satu pilar untuk menyejahterakan Indonesia. Keduanya bertekad melestarikan keragaman warisan seni budaya, merevitalisasi dan mendorong pembangunan dan penyebaran sentra kebudayaan di seluruh Indonesia, mengembangkan budaya bahari dalam sistem pendidikan nasional, serta memperkuat badan-badan yang ada untuk merevitalisasi bangunan kuno cagar budaya.
Dalam sektor seni, pasangan kandidat ini menyatakan akan memperjuangkan hak-hak para pekerja seni, seniman, dan artis di Indonesia. Program aksinya, antara lain, memperkuat perlindungan hukum dan hak cipta atas karya-karya seni, menjamin kebebasan seniman untuk berkreasi di muka umum, meningkatkan kualitas institut kesenian agar menghasilkan pekerja seni dan seniman berkualifikasi global, serta membangun lebih banyak ruang pameran dan ruang pertunjukan seni. Mereka juga berkomitmen menegakkan pelaksanaan UU Hak Cipta dan Hak Terkait dan UU Pemajuan Kebudayaan.
Terlihat ada perbedaan perspektif dalam memandang kebudayaan. Jokowi-Ma’ruf menggunakan istilah pemajuan, menyiratkan kebudayaan sebagai proses yang dapat terus berkembang ke arah positif. Adapun Prabowo-Sandiaga memilih kata pelestarian, paradigma lama yang menilai kebudayaan telah berhenti berkembang dan statis, karenanya perlu dijaga.
Terobosan pemerintahan Jokowi dalam pemajuan kebudayaan yang kembali digadang dalam program aksinya ialah tata kelola kebudayaan terintegrasi dan terencana. Sepanjang 2018, pemerintah berhasil menyusun dan menerapkan sistem yang memungkinkan suara akar rumput didengar. Tiap kabupaten/kota didampingi menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), yang kemudian dirangkum dalam PPKD tingkat provinsi, sumber penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah, dan Panjang. Proses yang berjalan pada Maret-November 2018 itu melibatkan lebih dari 1.500 orang pemangku kepentingan kebudayaan nusantara, dan berujung pada Strategi Kebudayaan pertama milik Indonesia.
Lebih lanjut, secara eksplisit, rincian program aksi Jokowi menyebut pemajuan kebudayaan adalah investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional. Ini selaras dengan UU Pemajuan Kebudayaan, yang memandatkan pemerintah membentuk dana perwalian (trust fund) dan menggunakan pertimbangan investasi dalam pendanaan pemajuan kebudayaan.
Namun, Jokowi tidak menyinggung sama sekali perihal dana perwalian tersebut. Padahal ia telah mengumumkan pemerintah berkomitmen menyediakan Dana Abadi Kebudayaan senilai Rp5 triliun, yang kini sedang digodok pembentukannya. Dana perwalian ini menjawab kebutuhan atas mekanisme pendanaan yang lebih ramah pada kegiatan kebudayaan, sebab skema anggaran negara dan daerah sulit diakses masyarakat karena kakunya prosedur dan rumitnya pertanggungjawaban. Terlepas dari kemungkinan kubu Jokowi khawatir menyebut dana tersebut akan memicu tudingan politik uang, seharusnya rencana konkret soal dana perwalian dibeberkan kepada publik. Misalnya, seperti apa bentuk lembaga dana perwalian tersebut, bagaimana proses seleksi dan penyaluran dana, dan kapan lembaga tersebut bisa mulai beroperasi.
Sementara itu, pemajuan kebudayaan juga sedikit disinggung Prabowo, tapi tampak seperti ditempel di saat-saat terakhir. Pada poin ke-12 program aksi budaya dan lingkungan hidup tercantum, “Menegakkan pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan Hak Terkait, agar para artis, seniman, pekerja seni, lebih dihargai secara optimal setiap karyanya, demi kesejahteraan para pelaku industri kreatif di Indonesia; termasuk mendukung terlaksananya UU Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017.” Satu-satunya penyebutan pemajuan kebudayaan dalam dokumen visi-misi pasangan kandidat 02 ini berada hanya pada sebuah anak kalimat.
Sesuai dengan perspektif pelestarian yang dipakai Prabowo, kata lestari lebih sering muncul dalam dokumen itu. Misalnya, “melestarikan keragaman warisan seni budaya sebagai kekuatan pemersatu bangsa”, serta “meningkatkan anggaran untuk penelitian dan pelestarian situs budaya dan sejarah”. Namun, tidak ada perincian soal kedua program aksi yang ditawarkan.
Revitalisasi
Di sisi lain, kata revitalisasi digunakan oleh kedua kubu. Berhubung revitalisasi ialah perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali, penggunaan kata ini menyiratkan ada hal lesu yang perlu diberi nyawa baru. Apa saja yang ingin direvitalisasi?
Dokumen visi-misi Jokowi menyebut revolusi mental perlu direvitalisasi dalam sistem pendidikan, tata kelola pemerintahan, dan sistem sosial. Tak dicantumkan apa yang membuat kubu ini merasa revolusi mental tak bergairah, sehingga perlu direvitalisasi. Pencapaian program revolusi mental sejauh ini tak jelas, sementara pengeluaran untuknya terbilang jumbo. Media massa mencatat, pemerintah menggelontorkan Rp149 miliar pada tahun pertama pelaksanaannya (2015), memakai biaya sosialisasi Rp22,5 miliar pada Oktober 2016, kemudian malah mengalokasikan Rp400-500 juta untuk tiap taman dalam lelang 48 Ruang Terbuka Publik Revolusi Mental sepanjang 2017.
Sementara itu, Prabowo ingin merevitalisasi dan mendorong pembangunan dan penyebaran sentra kebudayaan, merevitalisasi bangunan kuno cagar budaya, serta merevitalisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor industri kreatif yang telah lama tidak aktif. Bioskop rakyat disebut sebagai salah satu pusat kebudayaan yang akan dihidupkan lagi. Sedangkan revitalisasi cagar budaya dimaksudkan untuk membuatnya menjadi tujuan wisata sejarah dan pendidikan bagi generasi muda. Adapun nyawa baru untuk BUMN industri kreatif yang mati suri ditiupkan dengan membentuk induk usaha (holding) BUMN yang bergerak di bisnis kreatif.
Dalam debat mendatang, mari kita simak apakah kedua cawapres bisa merevitalisasi minat calon pemilih terhadap kebudayaan di negeri ini.
Abduh Aziz, Ketua Pengurus Koalisi Seni Indonesia