Jakarta, 1 Oktober 2024 – Saat ini, Indonesia berada dalam masa transisi pemerintahan yang sangat menentukan. Setiap kebijakan yang diambil di awal masa pemerintahan baru memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan sektor-sektor strategis. Salah satu isu yang tengah menjadi perhatian publik adalah rencana pembentukan kementerian khusus yang akan menangani urusan kebudayaan secara mandiri.
Di sisi lain, Koalisi Seni juga menyoroti keterlambatan dalam rencana pembangunan di sektor kebudayaan dan ekonomi kreatif. Di mana pemerintah baru saja menerbitkan UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045. Namun, Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan hingga kini belum ditetapkan, dan lebih parah lagi, Rencana Induk Ekonomi Kreatif bahkan belum memulai proses penyusunannya. Padahal, kedua rencana induk tersebut semestinya menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, sesuai amanat UU Pemajuan Kebudayaan 2017 dan UU Ekonomi Kreatif 2019. Dengan kata lain, perencanaan pembangunan kebudayaan dan ekonomi kreatif telah ketinggalan kereta dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional selama 20 tahun ke depan.
Koalisi Seni, melalui Manajer Advokasi Hafez Gumay, menekankan pentingnya sinergi kebijakan antara kebudayaan dan ekonomi kreatif dalam pemerintahan baru. Dalam transisi pemerintahan yang sedang berlangsung, Hafez menegaskan bahwa kebijakan awal pemerintah akan mempengaruhi sektor kebudayaan dan ekonomi kreatif untuk jangka panjang. Pemerintah baru diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut melalui kebijakan yang tepat dan implementasi yang selaras.
“Dua wajah kebijakan seni di Indonesia—seni sebagai barang publik dan seni sebagai komoditas—bukanlah kutub yang bertentangan,” ujar Hafez. “Sebaliknya, melalui kebijakan yang tepat, pemerintah dapat mengakomodasi seni sebagai bagian dari identitas nasional sekaligus memfasilitasi perkembangan ekonomi kreatif.”
Hafez mencatat bahwa baik UU Pemajuan Kebudayaan maupun UU Ekonomi Kreatif menempatkan pemerintah sebagai fasilitator, yang mendukung masyarakat agar dapat berkreasi secara optimal. Namun, dia mengingatkan bahwa dualisme cara pandang ini, yang tercermin dalam pembagian tanggung jawab antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), sering kali memperumit koordinasi.
Saat ini, Koalisi Seni mengajukan tiga skenario terkait kementerian kebudayaan dan ekonomi kreatif dalam pemerintahan mendatang:
- Mempertahankan Struktur Saat Ini: Kelebihan skenario ini adalah kemudahan dalam melanjutkan program yang ada tanpa harus melalui proses transisi besar. Namun, tantangan koordinasi antara kementerian tetap ada.
- Pembentukan Dua Kementerian Baru: Dengan skenario ini, kebudayaan dan ekonomi kreatif diampu oleh kementerian masing-masing, yang berpotensi mempercepat kemajuan. Namun, ini akan menambah birokrasi dan anggaran operasional.
- Satu Kementerian untuk Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif: Skenario ini akan memaksimalkan sinergi kebijakan, namun tetap membutuhkan waktu dan sumber daya dalam proses transisi kelembagaan.
Menurut Hafez, yang paling penting bukanlah perubahan struktur kelembagaan, melainkan bagaimana pemerintah baru dapat menyelaraskan kebijakan dan mengatasi ego sektoral kronis yang selama ini menjadi hambatan.
Koalisi Seni berharap pemerintah baru dapat mengimplementasikan kebijakan kebudayaan dan ekonomi kreatif secara sinergis demi terciptanya ekosistem seni yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia.
Baca lebih lanjut opini editorial “Pemerintah Baru Harus Sinergikan Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif untuk Ekosistem Seni Lebih Baik” di koalisiseni.or.id atau Academia Koalisi Seni.
Ditulis oleh: Amalia Ikhlasanti