Leni Desinah akrab dengan kehidupan jalanan sejak 1996. Ia biasa mengamen, mencuri, atau terlibat perkelahian, sampai tampilannya yang kelaki-lakian melahirkan julukan “Desboy”. Semenjak bergabung dengan Sang Akar, kebiasaan-kebiasaan itu perlahan luntur.
Masih jelas dalam ingatannya, asal mula ia bergabung dengan Sang Akar (Sanggar Anak Akar) pada akhir 2004. “Ketika di jalanan kan, saya tinggal bareng dengan teman-teman. Ada sekitar 20 orang. Nah, ada dua orang yang jarang pulang ke kolong tol,” Desboy berkisah. Usut punya usut, kedua temannya itu sedang berlatih di sanggar. Ia jadi penasaran, sedang apa teman-temannya di sana hingga jarang pulang ke kolong tol tempat mereka tinggal. Ia kemudian mengikuti mereka ke lokasi sanggar di Gudang Seng, Jakarta Timur–kini sudah tergusur oleh pembangunan tol Becakayu.
Desboy melanjutkan kisahnya, “Ngintip-ngintip [kegiatan di sanggar] tanggal 27 Maret 2004 jam 10 malam. Terus, lihat anak-anak yang latihan di aulanya. Ada orang, dari belakang, pegang pundak saya. Ternyata Uwa [Karyo] tuh.”
Uwa Karyo adalah panggilan akrab Ibe Karyanto, salah satu penggagas Sanggar Anak Akar. Oleh Karyo, Desboy diajak mengobrol, kemudian diberikan baju dan alat-alat mandi. “Ketika dikasih baju sama teman-teman sanggar, rasanya senang aja gitu. [Merasa] sangat dilayani oleh mereka,” cetusnya.
“Yang menarik di Sanggar Akar adalah kita belajar sesuai apa yang diinginkan. Bidang-bidang yang dipelajari bermacam-macam, seperti kepenulisan, audiovisual, kesehatan, dan bidang-bidang lainnya. Jika ditotalkan, ada sembilan bidang. Ibaratnya, ketika di sanggar kita merasa gampang banget untuk meraih cita-cita” tutur Desboy. Pilihannya jatuh pada bidang audiovisual. Ternyata sanggar benar-benar memfasilitasi minat anak-anak yang dibinanya. Di sana ia belajar menulis, fotografi, sampai akhirnya menghasilkan film tentang anak-anak jalanan.
Setelah lima tahun bergabung di sanggar, Desboy merasa sudah cukup belajar dan memutuskan untuk hidup mandiri. Bersama teman-temannya di Kawasan Tanah Merah, Jakarta Utara, ia membentuk komunitas Basis Tanah Merah. Komunitas ini adalah cikal bakal dari sanggar serupa, yang kemudian diberi nama Sanggar Anak Harapan.
“Saya berpikir, kenapa kita nggak bikin [sanggar] juga di lingkungan sendiri karena pernah dilayani dan [sekarang] ingin melayani. Saya sadar bahwa ketika membantu orang, tidak harus kaya. Dimulai dari sanggar ini juga bisa. Apa yang dipraktikkan Uwa [Karyo] juga saya praktikkan di sanggar [Harapan] ini,” ucap Desboy.
Menghilangkan Stigma Negatif
Desboy bukan satu-satunya yang merasa beruntung pernah bergabung di Sanggar Anak Akar. Sepanjang usianya yang sudah dua puluh empat tahun, sanggar ini telah mengasuh sekitar 1.500-an anak jalanan. Para alumninya kini sudah menggeluti beragam profesi. Sebagian besar berhubungan dengan seni dan budaya, seperti pematung atau musisi. “Misalnya, Heru dari Duren Sawit, yang pemukimannya digusur dan gabung ke sanggar ketika masih usia kelas 5 SD. Sekarang [dia] menjadi desainer grafis. Selain desainer grafis, dia itu fotografer, editor, dan moviemaker juga,” ungkap Karyo.
Asal mulanya adalah program open house dari Institut Sosial Jakarta untuk anak-anak terpinggirkan. Pendirian sanggar baru dilakukan lima tahun kemudian, yaitu pada 22 November 1994. Dengan berlipatnya jumlah anak yang bergabung, pada 1999 Sanggar Anak Akar menjadi organisasi yang mandiri, lepas dari institusi induknya. Pemisahan organisasi ini disusul dengan pendirian Lingkar Sahabat Akar pada tahun selanjutnya dan Yayasan Anak Akar pada 2003. Pada 2009, sanggar ini mengukuhkan diri sebagai Sekolah Otonom Anak Akar, yang mengakomodasi pendidikan anak-anak setara sekolah menengah dengan model sekolah berasrama (boarding school).
Pada awal 1990-an, stigma-stigma negatif menempel erat pada anak-anak jalanan. Negara menganggap mereka menyimpang dan memperlakukannya sebagai penyakit sosial, sedangkan masyarakat mengidentikkan mereka dengan pelaku kriminal. Hal ini juga berpengaruh terhadap keberadaan sanggar. “Sangat gampang sekali jika ada warga yang mengompori satu sama lain. Kita selalu diusir setiap ngontrak rumah. Anak-anak sendiri kondisinya seperti itu. Tidak mudah mengubah anak-anak ini, mengikuti norma sosial yang ada,” kisah Karyo.
Desboy juga mengakui adanya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap anak-anak jalanan. “Seperti kita ngamen itu orang-orang berpikir negatif kepada kita. Padahal, mah, cari duit saja kan,” cetus Desboy. Tidak adanya kepercayaan dari masyarakat itulah yang semakin menjerumuskan mereka. Inilah, menurut Desboy, yang diubah oleh sanggar.
Di sisi lain, kesulitan terbesar dalam menghadapi anak-anak jalanan adalah menembus karakter mereka yang defensif. Hidup serba keras di jalanan membuat mereka merasa terancam dan membangun benteng pertahanan, baik untuk melindungi diri maupun komunitasnya. Membuat anak-anak itu bisa menghargai satu sama lain adalah hal pertama yang dilakukan sanggar sebelum membawa mereka ke masyarakat.
Untuk tujuan itu, Sanggar Anak Akar menggunakan pendekatan kebudayaan. Anak-anak sanggar dibimbing untuk mengembangkan karya (pengetahuan), cipta (kreativitas), karsa (kehendak), dan rasa (afeksi). Seni menjadi media utamanya. “Mau belajar hitung, mereka pakai media kesenian seperti lagu, musik, atau film. Kalau ingin belajar untuk menceritakan pengalamannya hari ini, misalnya, kamu [anak-anak] pakainya melalui apa? Mau storytelling-kah? Melalui lagu, tulisan, atau melalui apa? Jadi tergantung anaknya mau pakai yang mana?” Qory Dellasera, salah satu pengurus sanggar, menjelaskan.
Karyo mengaku bukan seniman. Sanggar ini pun tidak bertujuan untuk mencetak seniman. Akan tetapi, menurut Karyo, seni memiliki kekuatan untuk mengubah perilaku anak-anak menjadi lebih baik. “Aspek kesenian dan estetis itu kuat banget di anak-anak. Itulah salah satu aspek humanis yang melekat di anak-anak. Bisa dilihat, kan, anak-anak sesuai itu bersifat dinamis, penuh dengan fantasi, dan juga perlu mengekspresikannya dengan berbagai macam cara. Saya pun menyentuh kemanusiaan anak-anak lewat itu,” paparnya.
Sebagai salah satu alumni, Desboy mengakui pendekatan ini berhasil menyentuhnya. Sejak berkumpul dengan anak-anak sanggar dan berani mengekspresikan dirinya, kebiasaannya mencuri dan berkelahi menghilang begitu saja. Bagi Desboy, berkesenian telah mengangkat kepercayaan dirinya. “Ada pelampiasan ke seni. Misalnya, setiap kali pementasan, orangtua saya bangga melihat itu. Merasa jadi selebriti karena make up dan kostum yang digunakan. Ibaratnya punya sesuatu yang membuat harga diri jadi naik aja gitu, lho,” jelasnya.
Dari berbagai media kesenian yang bisa dipilih, teater dan musik adalah yang paling menonjol. Ini bukan tanpa sebab. Musik dan teater ternyata bisa membuka interaksi, baik antara anak-anak di sanggar maupun dengan masyarakat sekitar. Karyo menjelaskan bahwa lewat musik, bukan hanya ekspresi dan kemampuan individu yang diasah, melainkan juga nilai-nilai kolektif, seperti bagaimana mengelola produksi pementasan bersama-sama.
Lanjutnya lagi, “Dalam sanggar ini kami mengenalkan bahwa, ‘Kamu itu bukan sekadar makhluk individu.’ Sebagai individu itu juga hidup bareng dan bergantung pada yang lain. Bagaimana bisa hidup bareng dengan masyarakat.”
Setiap tahun, biasanya pada Juli atau November, anak-anak sanggar mementaskan karya teater musikal mereka. Saat-saat pementasan seperti ini mereka gunakan juga untuk mengundang kontribusi dari para alumni. Tak jarang mereka berkolaborasi dengan kelompok teater atau kelompok musik profesional. Pementasannya bisa dilakukan di lingkungan sekitar sanggar, bahkan di gedung-gedung pementasan besar seperti Graha Bhakti Budaya atau Miss Tjitjih. Selain itu, mereka juga menghasilkan karya-karya berupa film pendek, fotografi, dan berbagai tulisan. Karya-karya ini adalah cara mereka menyampaikan semangat berkesenian ke masyarakat.
Untuk membawa anak-anak ini kembali diterima di lingkungannya, Karyo juga melakukan pendekatan langsung ke masyarakat. Semua kegiatan sanggar selalu melibatkan warga sekitar. Warga yang ingin menggunakan fasilitas sanggar dipersilakan, begitu juga yang ingin anaknya mendapat pendidikan. Sanggar bahkan memberikan fasilitas pinjaman kepada warga yang membutuhkan. Dengan aparat pemerintahan seperti Ketua RT, Ketua RW, dan lainnya, pihak sanggar selalu menjalin hubungan baik. Pada akhirnya, masyarakat di sekitar sanggar menyambut baik kehadiran mereka.
Terkendala Absennya Pengakuan Formal
Pembinaan anak-anak jalanan yang dilakukan sanggar juga menarik minat pemerintah provinsi DKI Jakarta. Beberapa kali Sanggar Anak Akar dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta sebagai fasilitator dan penggerak acara kesenian.
Pada 2014, Sanggar Anak Akar bekerja sama dengan pemerintah provinsi menggarap program peningkatan seni dan budaya di 34 kecamatan di DKI Jakarta. Soesilo Adinegoro, salah satu pengurus sanggar, menyampaikan bahwa program ini juga menjadi media bagi pihak sanggar untuk menawarkan gagasan “Sekolah Kampung Urban”. Masing-masing kecamatan itu diajak menata lingkungan dengan berbagai pendekatan yang berbeda.
Meskipun kebanyakan kecamatan hanya meniru yang sudah dilakukan oleh Sanggar Akar, ada beberapa yang berhasil membuat pendekatannya sendiri. Di antaranya adalah Johar Baru, Cempaka Putih, Pademangan, dan Tugu, yang mengambil pendekatan ekologi, seperti penataan sampah, urban farming, dan sebagainya. Sisanya hanya meniru yang sudah dilakukan Sanggar Anak Akar.
Walaupun sudah berkali-kali bekerja sama dengan pemerintah provinsi, tidak mudah bagi Sanggar Anak Akar untuk mendapatkan dana bantuan. Lingkar Sahabat Akar didirikan untuk mengatasi persoalan itu, dan pada 2006 secara formal berganti nama menjadi Perkumpulan Sahabat Akar. Anggotanya adalah para alumni dan masyarakat umum yang punya kepedulian khusus terhadap anak-anak jalanan. Perkumpulan ini berkomitmen mendukung sanggar sebagai gerakan. “Bentuk dukungannya bukan penggalangan dana, tapi penggalangan dukungan. Karena dukungan itu bisa dalam bentuk apa pun seperti keahlian, akses, atau sarana,” Soesilo menerangkan.
Lanjutnya, yang membuat Sanggar Anak Akar tetap berdiri sampai hari ini bukanlah uang yang dikelola, melainkan dukungan dari jejaring yang mereka kembangkan. Beberapa daerah lain di Indonesia ikut berkaca pada keberhasilan Sanggar Anak Akar. Pengurus sanggar sering diundang untuk berbagi cerita dan melakukan pendampingan kepada berbagai komunitas, misalnya di Medan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Harapannya, usaha ini dapat menguatkan komunitas-komunitas serupa untuk menggerakkan perubahan di lingkungan masing-masing. Usaha berjejaring juga dilakukan pihak sanggar dengan menjadi bagian dari Asosiasi Karnaval Indonesia, Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia, dan Asian Economy Solidarity Forum.
Dari pemerintah, sebenarnya tak banyak yang diharapkan oleh Sanggar Anak Akar. Anak-anak sanggar sangat membutuhkan akses untuk mengikuti kesetaraan pendidikan formal dan akses ini hanya bisa diberikan pemerintah. Pengelola sanggar juga berharap pemerintah dapat mengakui kelayakan dan menjamin keberadaan sanggar sebagai sebuah pusat kebudayaan anak. Hal ini merespons terjadinya penggusuran atas tempat kegiatan mereka di Gudang Seng yang prosesnya berlangsung sekitar 2013-2016.
Kini sanggar berlokasi di di Pangkalan Jati, Cipinang Melayu, Jakarta Timur. Pengelola sanggar berusaha keras mencari tempat yang berdekatan dengan tempat sebelumnya. Tujuannya agar warga tidak sampai merasa kehilangan dan menghindari biaya sosial yang terlampau besar jika harus membangun kembali kepercayaan masyarakat dari nol di tempat baru.
“Salah satu kenapa kami bisa bertahan itu bukan berapa banyak duit yang kami kelola, tapi berapa banyak relasi yang kami kembangkan dan memberi dukungan,” ungkap Soesilo.
Pengelola sanggar masih membenahi banyak hal di tempat yang baru. Bangunan sanggar belum representatif dan kegiatan sekolah otonom belum bisa dijalankan. Akan tetapi, optimisme untuk memperbaiki nasib anak-anak pinggiran tak pernah padam.
*Artikel Mengembalikan Kepercayaan Lewat Kreasi merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia.