Sejak tanggal 23 Maret lalu, Koalisi Seni Indonesia mengirimkan tim peneliti untuk mendata lembaga-lembaga seni di tujuh daerah di Indonesia: Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Makassar, Bandar Lampung, Surabaya – Malang. Kegiatan turun lapangan ini direncanakan akan berlangsung hingga dua bulan ke depan. Tepatnya, hingga bulan Mei 2015.
Sebenarnya, kegiatan ini sudah berlangsung sejak satu bulan lalu. Jakarta merupakan kota pertama. Acara Seni Lawan Korupsi pada 5 Maret menjadi awal mulanya. Banyak sekali seniman yang hadir di acara itu, yang mewakili komunitasnya, sehingga memungkinkan tim peneliti untuk melakukan pendataan.
Proses pendataan kemudian dilakukan secara bertahap. Hafez Gumay dan Annayu Maharani, peneliti Koalisi Seni Indonesia, secara intens mengunjungi lembaga-lembaga seni di Jakarta. Selama tiga minggu, mereka berkeliling dan mewawancarai hingga terkumpul 23 responden lembaga seni di Jakarta. Itu total pendataan sementara.
Turun lapangan pertama ke luar Jakarta dimulai di Kota Bandung. Selanjutnya, kerja ini akan berlanjut ke Bandar Lampung, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan terakhir, Makassar. Jika lancar, maka pada Juni data ini sudah bisa dianalisis. Hasil akhirnya akan keluar di bulan Oktober. Tapi, sebelum itu: Penelitian apakah sebenarnya ini? Apa latar belakangnya?
Seperti yang dituliskan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mendata lembaga seni. Mengapa lembaga seni? Ada dua alasan. Pertama, lembaga kesenian berperan sebagai “pusat” dari kegiatan penciptaan artistik maupun acara kesenian. Kedua, lembaga kesenian berperan sebagai perwakilan keberadaan seniman. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Becker (1974), bahwa sebuah produk seni (dalam bentuk karya seni maupun bentuk kegiatan lainnya) tak lepas dari posisi sang seniman di dalam jaringan yang lebih besar, yakni lembaga itu sendiri. Artinya, lembaga seni menempati posisi penting dalam ekosistem kesenian.
Adapun, lembaga seni yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lembaga seni nirlaba. Jadi, komunitas dan organisasi (baik yang berbadan hukum, maupun belum) yang bersifat non komersil, menjadi obyek penelitian kami.
Oleh karena posisinya inilah, penting bagi kami untuk mengetahui bagaimana skala besar kecilnya kapasitas lembaga seni saat ini bagi perkembangan kesenian kita. Termasuk juga, kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga seni dalam menjalankan program-programnya. Nantinya, data statistik yang menjadi salah satu output penelitian ini akan membantu langkah advokasi. Penelitian ini pun akan dijadikan rujukan peneliti dalam menentukan formula pengembangan kesenian, seperti perumusan kebijakan, serta Dana Abadi untuk kesenian.
Secara spesifik, ada tiga hal yang menjadi fokus pertanyaan penelitian. Pertama, tentang profil lembaga kesenian dan status kelembagaannya. Kedua, mekanisme pendanaan dan akuntabilitas lembaga kesenian. Dan ketiga, partisipasi juga kebijakan pemerintah terhadap keberlangsungan aktivitas lembaga kesenian. Tujuannya untuk menghasilkan peta ekosistem kesenian, dengan fokus pada aktor utama lembaga seni, sebelum melangkah lebih jauh.
Sebenarnya, sudah ada beberapa lembaga yang telah melakukan penelitian pemetaan. Sebut saja, Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Yayasan Kelola, dan Parekraf. IVAA pernah menerbitkan Katalog Pameran Seni Visual bertema “Interkultur” dari 1990-2011. Adapun, Yayasan Kelola pernah membuat Direktori Seni dan Budaya Indonesia pada tahun 2000 dan 2004, yang berisi daftar lembaga seni budaya setiap provinsi. Sedangkan, Parekraf sendiri menerbitkan cetak biru berjudul “Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025” yang mencoba melihat potensi ekonomi kreatif melalui data-data kekuatan pasar.
Dengan ini, posisi penelitian Koalisi Seni kemudian menjadi pelengkap dari hasil penelitian yang sudah ada. Kami ingin memutakhirkan data direktori Yayasan Kelola (2004) mengingat minimnya data statistik kesenian. Maka dari itu, kami menggunakan direktori Yayasan Kelola sebagai guideline awal keberadaan lembaga kesenian di daerah-daerah. Direktori mereka membantu kami menyarikan tujuh kota sasaran yang kami percayai memperlihatkan gerak kesenian dalam lima tahun terakhir.
Dari sinilah, kemudian pekerjaan turun lapangan dimulai. Hingga hari ini, yaitu tanggal 10 April 2015, kami telah mengunjungi Bandung dan Bandar Lampung. Data responden yang telah terkumpul mencapai 73 responden, dari target 200 responden. Rinciannya sebagai berikut: 24 responden dari Bandung, 23 responden dari Jakarta –dan akan masih bertambah–, dan 26 responden dari Bandar Lampung. Dengan demikian, masih kurang 127 data lagi yang harus kami kumpulkan.
Melihat hal ini, kami sadar bahwa perjalanan kami masih panjang. Maka dari itu, kami sangat berterimakasih bagi lembaga-lembaga se. yang bersedia membantu kami dalam setiap prosesnya. Semoga penelitian ini menyumbangkan pemikiran yang berarti untuk jejak kesenian kita. [OMG]