Koalisi Seni Indonesia bekerja sama dengan Kedutaan Besar Denmark dan Universitas Hassanudin (Unhas), mengadakan seminar seni dan budaya bertajuk “Membangun Bangsa melalui Kesenian”. Seminar yang diadakan pada 13 Desember 2016 itu digelar di Aula Matulada, Fakultas Ilmu Budaya, Unhas, Makassar.
Pemerintah Kota Makassar menggagas F-8 (Festival, Film, Fashion, Food, Flora, Folk, Fine Art, Future Jazz, dan Fiction Writers) untuk memicu gairah seni dan budaya di kota itu. Wali kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto mengatakan, sebagai seorang eksekutif pemerintah, tugasnya hanya memberi ruang untuk kesenian dan kebudayaan. Festival ini tak akan terlaksana tanpa bantuan Dewan Kesenian Makassar.
Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Casper Klynge, mengatakan Indonesia memiliki keragaman budaya yang tinggi. Hanya saja, masih sedikit yang menyadarinya. Potensi industri kreatif berbasis budaya dapat dikembangkan dari keragaman budaya tersebut. Salah satu, kata Klynge, upaya Kedutaan Denmark mendorong potensi itu melalui bantuan program residensi seniman ke Denmark.
Penanganan konflik yang kerap terjadi antara petani tradisional dan industri pariwisata di Indonesia menjadi landasan program kebudayaan yang digagas Denmark. Menurutnya, seniman bertugas menemukan hubungan yang berkelanjutan bagi perkembangan budaya di antara kedua hal itu. Dengan demikian, diplomasi kebudayaan dapat terjadi dari orang ke orang.
Indonesia, menurut Klynge, memiliki posisi penting bagi Denmark, karena negara ini memiliki keragaman budaya yang bisa dieksplorasi oleh seniman-senimannya.
RUU Pemajuan Ekspresi Budaya
Sementara itu, Ketua Koalisi Seni Indonesia, Abduh Aziz, menyinggung dua paradoks yang terjadi di Indonesia, yaitu lanskap kesenian luar biasa berkembang, tapi di sisi lain, tingkat intoleransi juga berkembang. Menurutnya, di sini peran sentral kesenian dibutuhkan.
Kesenian, menurut Abduh, jika tidak direduksi dalam bentuk tari-tarian atau nyanyi-nyanyian, sesungguhnya merupakan alat kebudayaan untuk bertukar ekspresi, nilai, dan pengetahuan. Ketiadaan sarana pertukaran membuat kecurigaan dan stereotype berkembang. Hal ini menegaskan, Indonesia tak memiliki strategi kebudayaan.
Ketidaksinambungan antara pengambil kebijakan di pemerintahan, terjadi akibat kaburnya pihak yang membidangi kesenian. Sebelas kementerian yang mengurusi kesenian, tak bisa menyelesaikan permasalahan kesenian di Indonesia.
“Kenapa kita masih kesulitan? TIM (Taman Ismail Marzuki) makin kumuh. Societeit de Harmonie tidak terurus. Masalahnya, selama ini tidak ada konsolidasi program. Seluruh peraturan dan anggaran tersebar. Jadi, interaksi antarkelembagaan menjadi lemah,” kata Abduh.
RUU Kebudayaan yang diharapkan dapat mengembangkan, memfasilitasi, atau mengakomodir kebudayaan justru memuat banyak kontrol di dalamnya. Dalam RUU tersebut, terdapat Dewan Pengendali Kebudayaan yang bertugas mendefinisikan mana kebudayaan positif dan negatif. Selain itu, dewan yang terpilih tidak diketahui berasal dari kalangan mana saja dan tidak diketahui mekanisme pemilihannya.
Hal ini yang mendorong Koalisi Seni dan Direktorat Jenderal Kebudayaan menolak RUU Kebudayaan yang sudah dibuat sebelumnya, kemudian menggagas RUU Pemajuan Ekspresi Budaya. RUU ini berisi tentang kewajiban negara dalam memfasilitasi, mengakomodir, dan memajukan ekspresi kebudayaan, seperti pengetahuan tradisional, teknologi, kepercayaan, kesenian, dan kebudayaan material.
Setidaknya, terdapat empat poin utama yang dibayangkan Koalisi Seni dalam RUU Pemajuan Ekspresi Budaya ini. Pertama, ada keberpihakan pemerintah dalam konteks regulasi, di mana negara melindungi ekspresi budaya.
Kedua, politik anggaran yang memihak kesenian. Ketiga, kelembagaan. Lembaga mana saja yang akan bersinergi mengurusi kesenian, dan siapa leading sektornya. Keempat, infrastruktur. Apa yang sudah ada dan perlu ditingkatkan. Apa yang belum ada dan mesti dibangun.
Abduh Aziz menutup diskusi dengan menginformasikan salah satu program yang sedang dijalankan Koalisi Seni di lima kota di Indonesia, yakni Curltural Hotspots. Program Cultural Hotspots ini diselenggarakan di Makassar, Palu, Kupang, Pekanbaru, dan Lombok.
“Ini adalah ruang pertukaran kebudayaan berbagai elemen yang berbeda, seperti seniman, para pemangku kepentingan, dan akademisi,” kata Abduh.