Oleh Abduh Aziz, Ketua Pengurus Koalisi Seni
Op-ed ini dimuat Harian Kompas pada 28 Juni 2019
Setelah fokus pada pembangunan infrastruktur pada periode pemerintahan lalu, dalam visi-misi dan beberapa pernyataannya, Presiden Joko Widodo menegaskan akan memberikan perhatian kepada pembangunan manusia jika terpilih kembali. Di tengah dunia yang melaju begitu cepat berikut tantangan sulit diduga, pertanyaan mendasarnya adalah: apa basis pembangunan manusia Indonesia ke depan?
Kebudayaan adalah setiap hasil olah manusia berupa nilai maupun produk, baik yang kasat maupun tak kasat. Dari pengertian ini, makna kebudayaan merentang sangat luas, meski dipersepsikan dapat didefinisikan, secara substansial pengertiannya dapat menjadi sangat sederhana. Semesta kebudayaan tak terhindarkan menjadi basis pembangunan manusia Indonesia ke depan.
Maka, pembangunan manusia Indonesia ke depan akan sangat ditentukan prasyaratnya, yaitu pemajuan kebudayaan. Dari titik ini, pelacakan perlu ditujukan terhadap kesiapan negara dalam pengaktualisasian mandat itu. Dalam pendekatan yang lebih teknokratik, pertanyaan reflektif yang penting dijawab adalah sejauh apa substansi kebudayaan masuk dalam rencana pembangunan negara dan sejauh apa kesiapan pemerintah dalam memajukan kebudayaan?
Pelaksanaan amanat UU
Setelah naik dan turun dalam pembahasan selama 35 tahun, pada April 2017, tata kelola kebudayaan akhirnya dirumuskan dalam produk legal bernama UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Pemajuan Kebudayaan). Dalam UU itu, pemerintah pusat ataupun daerah diberi tanggung jawab sangat vital dalam pemajuan kebudayaan meskipun tidak menepis peran elemen lain seperti masyarakat.
Kini, setelah dua tahun pengundangannya, Koalisi Seni Indonesia mencatat beberapa temuan penting dalam mendorong pemajuan ekosistem kebudayaan dari sudut pandang peran pemerintah. Temuan dalam pemantauan dan evaluasi ini berkisar pada aspek penyusunan peraturan pelaksanaan, pendataan, dan pendanaan bagi pemerintah pusat. Sementara aspek kelembagaan, anggaran, dan visi daerah dalam pemajuan kebudayaan masih menjadi tantangan bagi pemda.
Salah satu aspek krusial yang penting jadi perhatian pemerintah adalah kejar tayang pembentukan peraturan pelaksanaan dari UU No. 5/2017. Dari 21 substansi yang diamanatkan diatur lebih lanjut, pemerintah baru menerbitkan satu peraturan, yaitu terkait tata cara penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Sebagai dokumen yang sifatnya berjenjang, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah ini akan dituangkan dalam bentuk Strategi Kebudayaan.
Secara substansi, Strategi Kebudayaan sudah dirumuskan pada Kongres Kebudayaan Indonesia, Desember 2018. Setelah itu, dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Substansi rencana induk ini yang nantinya jadi basis pengarusutamaan kebudayaan dalam dokumen pembangunan, terutama Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Namun, ada 20 substansi lainnya yang belum ditetapkan pemerintah dalam bentuk peraturan pelaksanaan. Padahal, amanat UU No. 5/2017 menyatakan paling lambat dua tahun setelah pengundangan, peraturan pelaksanaan harus diterbitkan. Tenggat ini telah lewat pada 29 Mei 2019. Terlebih penting, secara momentum, penyusunan RPJM (pusat dan daerah) 2020-2025 sudah dimulai. Ekses paling signifikan dari terpenuhinya mandat peraturan pelaksanaan ini adalah kesempatan untuk memasukkan substansi kebudayaan dalam perencanaan pembangunan.
Amanat lain yang perlu diperjelas adalah Dana Perwalian Kebudayaan. Analisis pemberitaan dalam pemantauan dan evaluasi Koalisi Seni Indonesia menunjukkan wacana yang beredar baru seputar besaran dana. Pemilihan model kelembagaan, mekanisme pendanaan, akuntabilitas mekanisme pendanaan, dan akses pegiat kebudayaan yang sudah mulai digagas secara serius oleh Ditjen Kebudayaan sebaiknya melibatkan lebih banyak elemen masyarakat dalam pembahasannya.
Tata kelola kebudayaan di daerah
Salah satu persoalan penting bagi pemda dalam pemajuan kebudayaan adalah model kelembagaan. Beberapa asumsi menyatakan, model kelembagaan yang terlepas dari urusan lain akan berbanding lurus dengan porsi anggaran yang diterima. Namun, Koalisi Seni Indonesia menemukan model kelembagaan yang berdiri sendiri bukan merupakan faktor tunggal dalam dukungan anggaran.
Terdapat beberapa faktor lain yang memengaruhi. Pertama, visi daerah yang secara eksplisit mendorong pemajuan kebudayaan. Visi ini harus diterjemahkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam bentuk mata anggaran. Kedua, kemampuan mendorong kegiatan di luar kegiatan rutin yang sudah dianggarkan. Ketiga, kemampuan mencari peluang pendanaan alternatif di luar APBD, misalnya dana desa atau kerja sama pemerintah-swasta.
Namun, model kelembagaan yang berdiri sendiri perlu dipertimbangkan untuk mendorong pengarusutamaan substansi kebudayaan pada setiap rencana kerja OPD. Hal ini berarti pembentukan dinas kebudayaan di setiap daerah perlu menjadi pertimbangan bagi upaya pengarusutamaan substansi kebudayaan. Terutama dalam mendorong pemerintah pada setiap tingkat untuk tak hanya menjadi administrator, tetapi pemimpin budaya di daerahnya.
Tantangan lain, soal sistem pendataan kebudayaan terpadu yang secara visioner diposisikan bukan sebagai pangkal data melainkan dasar untuk benefit sharing dalam pemajuan kebudayaan. UU No. 5/2017 mengamanatkan sistem pendataan kebudayaan ini disusun oleh menteri. Untuk itu, perlu kejelasan dan langkah segera dari pemerintah pusat untuk menyusun sistem ini bersama pemda.
Berikutnya, pendanaan, terutama hubungan pendanaan pemerintah pusat dan daerah. Tanggung jawab perlindungan memang melekat pada setiap level pemerintahan, tetapi stimulus pendanaaan bagi daerah ini penting untuk mendorong pemajuan kebudayaan di luar kegiatan rutin. Pemerintah harus mengupayakan pemajuan kebudayaan lebih dari pelaksanaan kegiatan kebudayaan, apalagi jika pengertian kebudayaan hanya dipersempit sebagai kesenian dan cagar budaya.
Pada konteks ini, relasi pusat dan daerah menjadi sangat penting. Tanpa menepis keberadaan desentralisasi dan otonomi daerah, peran pemerintah pusat dalam mendorong pemajuan kebudayaan di daerah sangat dibutuhkan. Bukan dalam bentuk mendorong sentralisasi isu kebudayaan, melainkan usaha untuk memaknai ulang hubungan pusat dan daerah dalam pemajuan kebudayaan.
Dengan demikian, dari perspektif tanggung jawab, beban pemajuan kebudayaan berada di tangan pemerintah. Artinya, pembangunan manusia Indonesia ke depan akan ditentukan dari seberapa siap pemajuan kebudayaan sudah dan akan dilakukan oleh pemerintah. Prasyarat bagi upaya besar itu adalah memperkuat instrumen dasar bagi tata kelola kebudayaan dan memberikan tenaga yang lebih bagi kelembagaannya.