Ada satu hal yang kerap luput dalam perhatian ketika sedang membahas seni. Yakni, seni bukan hanya tentang proses penciptaan karya, namun juga soal cara menjadikan ekosistem seni dapat menguntungkan setiap orang yang terlibat di dalamnya. Sebelum mewujudkan hal tersebut, pelaku seni harus terlebih dahulu paham mengenai kiat-kiat advokasi seni. Inilah yang diupayakan Koalisi Seni melalui program Kelas Advokasi Kebijakan Seni Indonesia (AKSI).
Diampu tenaga didik ahli dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Koalisi Seni, Kelas AKSI bertujuan memberi pemahaman tentang pentingnya mendorong kebijakan seni yang berpihak kepada para pelaku seni. Melalui program ini pula, peserta dapat mengetahui pengaruh beragam kebijakan publik bagi keberlangsungan ekosistem seni.
Lewat Kelas AKSI, peserta mempelajari kenyataan kondisi kesenian di Indonesia serta mampu menghubungkannya dengan kondisi kesenian di daerah masing-masing. Maka, pemahaman mereka mengenai kebijakan seni dapat menjadi lebih kaya. Ragam perspektif yang dihadirkan peserta dalam diskusi juga dapat mendorong adanya kebijakan seni lebih inklusif.
Regina Meicieza dari Tanahindie, Anggota Koalisi Seni, adalah salah satu peserta Kelas AKSI perdana yang berlangsung pada Juli-Agustus 2021. Ia berpendapat ada sejumlah masalah ekosistem kesenian di Makassar yang perlu dikaji lebih lanjut. “Antara lain persaingan politik pemerintah daerah yang sangat kuat, akses pendanaan yang terbatas, dana hibah dari pemerintah kota yang disalurkan tidak merata karena sudah ada lembaga seni ‘langganan’, dan ekosistem seni yang masih terus bertumbuh dan mencari bentuknya,” ujarnya saat diwawancarai pada 18 Oktober 2021.
Dari pengalamannya mengikuti Kelas AKSI, Regina menyadari kegiatan advokasi seni merupakan gerakan yang sistematis, terencana, dan berkelanjutan. “Ini saya sadari ketika mendengar masing-masing peserta kelas AKSI membagikan pengalaman advokasi di domisili mereka,” ucapnya. Seperti pergerakan lainnya, upaya menciptakan ekosistem seni sehat adalah sebuah perjuangan bersama. “Dalam melakukan advokasi, seniman tidak bisa sendiri. Ia harus bergaul, mempunyai jaringan yang banyak, kuat, suportif, dan bisa mempercepat perbaikan ekosistem,” Menurut Regina, Kelas AKSI menjadi medium yang tepat untuk memperkuat jaringan tersebut.
Sementara itu, Temanku Lima Benua, Anggota termuda dari Koalisi Seni yang masih berumur 16 tahun, juga membagikan pengalamannya sebagai peserta Kelas AKSI. Berdomisili di Klaten, Liben menyoroti dampak Covid-19 pada kesenian di daerahnya. “Masa pandemi ini, sektor seni rupa di daerah berjuang total. Undang-undang Pemajuan Kebudayaan yang digagas empat tahun lalu pun seolah takut pada pandemi,” kata remaja yang akrab disapa Liben itu.
Ketika mengikuti Kelas AKSI, Liben dihadapkan dengan kenyataan bahwa Klaten bukan satu-satunya daerah yang sektor kreatifnya terguncang pandemi. Lewat pengalaman itu, ia lebih optimistis ekosistem seni di setiap daerah dapat perlahan bangkit dan bersinar lagi. Menyadari pentingnya percakapan antardaerah seperti yang terjalin dalam Kelas AKSI, Liben berharap, “Kelas AKSI dapat terus beraksi.”
Menilik pengalaman Regina dan Liben, keberadaan program Kelas AKSI menjadi penting bukan hanya karena mampu membuka wawasan para pelaku seni tentang kondisi ekosistem seni di Tanah Air, namun juga memfasilitasi pesertanya untuk berdialog dan saling bertukar pengalaman.
Program Kelas AKSI angkatan kedua baru saja berakhir pada 25 Oktober 2021. Kamu yang ingin ikut juga tidak perlu khawatir! Nantikan program Kelas AKSI yang terbuka untuk publik pada tahun 2022 mendatang. Sampai dengan saat itu, semoga kita semua senantiasa selalu memperjuangkan ekosistem kesenian yang lebih adil, terbuka, dan aman bagi semua. (Ghina Prameswari Prabowo)