Jakarta—Seringkali, seni dipandang sebagai bagian yang terlepas dari keseharian. Padahal, seni budaya Indonesia menemukan nafasnya dalam berbagai praktik yang lekat dengan identitas dan semangat kolektif masyarakat. Menurut UNESCO, kebudayaan memungkinkan akomodasi keberagaman dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sehingga memungkinkan masyarakat untuk sejahtera dan madani.
Untuk mendorong lebih banyak filantropis yang memperhatikan seni budaya di Indonesia, Filantropi Indonesia dan Koalisi Seni Indonesia mengadakan Philanthropy Learning Forum (PLF) bertajuk Dampak Seni di Masyarakat di Ruang Komunal Indonesia Facebook pada Selasa, 30 April 2019. “Melalui forum ini, kami juga berharap mendapat masukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar lebih peduli terhadap seni budaya,” ujar Linda Hoemar Abidin, Pengurus Koalisi Seni Indonesia.
Hadir sebagai narasumber dalam forum ini adalah Hairun Nisa, Penanggung Jawab Harian Sanggar Anak Akar; Gita Hastarika, Direktur Yayasan Kelola; serta Reza Adhiatma, Direktur Roemah Martha Tilaar.
Nisa membuka sesi presentasi dengan menceritakan kiprah Sanggar Anak Akar yang telah menawarkan model pendidikan alternatif selama 25 tahun. Sasaran mereka adalah anak-anak yang tidak mendapatkan hak-hak dasar, seperti hak hidup, hak dilindungi dan hak untuk pendidikan. “Dalam pendidikan yang kami berikan, seni menempati peran yang penting. Melalui kelas musik, teater dan kerajinan tangan, anak-anak mampu mengembangkan kemampuan pribadi maupun kolektif,” ucapnya.
Desboy, seorang alumni Sanggar Anak akar yang kini mendirikan Sanggar Anak Harapan, membenarkan pernyataan Nisa bahwa seni memiliki dampak positif yang besar dengan mengembangkan imajinasi anak-anak seperti halnya ia dulu. Desboy juga menggugat penyematan istilah “anak jalanan”. Ia menyerukan, “Salah satu cara agar rantai kemiskinan tidak diwariskan ke generasi-generasi berikutnya adalah melalui bahasa. Saya tidak suka disebut ‘anak jalanan’ karena sebutan ini memberikan dampak ke bagaimana saya melihat diri saya. Begitu juga dengan sebutan seperti ‘anak yatim’, atau ‘anak panti’. Penggunaan bahasa ini harus diubah.”
Seperti Sanggar Anak Akar, Roemah Martha Tilaar yang bertempat di Gombong, Jawa Tengah, juga menggunakan kesenian untuk memantik terciptanya relasi sosial yang lebih inklusif. Menurut Reza, penduduk wilayah Gombong mengalami krisis identitas karena dalam sejarahnya diapit oleh masyarakat yang berkarakter homogen-religius di sebelah timur dan wilayah perdagangan yang heterogen di sebelah barat. “Roemah Martha Tilaar hadir sebagai ruang yang memungkinkan masyarakat Gombong dapat memahami identitas budaya mereka. Pemahaman akan identitas ini menumbuhkan rasa bangga, yang dengan sendirinya membuka berbagai kemungkinan baru,” jelas Reza.
Kini Roemah Martha Tilaar telah bekerja sama dengan 19 komunitas, sebagian di antaranya seniman lokal. Belum lama ini, mereka melakukan proyek dokumentasi dengan memetakan cerita rakyat Gombong ke dalam satu buku dengan ilustrator lokal. Buku ini juga diadaptasi menjadi pertunjukan sendratari.
Menurut Gita Hastarika, kepercayaan akan kekuatan seni sebagai perekat masyarakat dan peranti pemecahan masalah (problem solver) inilah yang membuat Yayasan Kelola bergerak mengelola pendanaan untuk seni. “Untuk membangun kembali sebuah kota—misalnya dari bencana atau konflik—aspek seni dan budaya sangat dibutuhkan untuk mengembalikan hal-hal intangible yang hilang. Salah satu penerima Hibah Cipta Perdamaian yang dikelola Yayasan Kelola, Komunitas Paparisa Ambon, menggunakan berbagai medium seperti seni urban untuk menimbulkan semangat keberagaman di wilayah pasca-konflik,” tuturnya.
Sayangnya, belum banyak inisiatif seperti Yayasan Kelola yang berupaya menggalang dukungan finansial kepada upaya-upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui seni budaya. “Padahal sama halnya dengan objek filantropi lain, seni membutuhkan dana untuk tidak hanya survive (bertahan hidup), namun juga thrive (tumbuh berkembang),” ujar Budhita Kismadi dari INSPIRIT yang berperan sebagai moderator untuk forum ini.
Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai peran seni dalam kehidupan sehari-hari adalah melalui dokumentasi dan diseminasi. Untuk itu, Koalisi mempublikasikan buku Dampak Seni di Masyarakat yang merangkum sejumlah komunitas yang menggunakan seni untuk menghidupkan masyarakat lokal. “Ekspresi budaya belum menjadi kekuatan Indonesia, padahal inilah yang dapat membuat kita melangkah jauh ke depan,” ucap Annayu Maharani, peneliti Koalisi Seni Indonesia, dalam penutupan forum. (Eduard Lazarus)