Pada Selasa, 15 Agustus 2017, Bekraf Financial Club mengadakan Simposium Permodalan Ekonomi Kreatif di Hotel Grand Mercure, Jakarta. Simposium itu mempertemukan institusi penyalur modal, baik lembaga perbankan maupun non perbankan, dengan asosiasi-asosiasi yang menaungi para pelaku industri kreatif. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sendiri memetakan industri kreatif Indonesia ke dalam 16 subsektor, yang di dalamnya juga mencakup musik, seni rupa, seni pertunjukan, dan film.
Pembawa acara menyampaikan bahwa simposium ini berbeda dari diskusi-diskusi yang diselenggarakan Bekraf Financial Club sebelumnya. Pada acara-acara sebelumnya, para pelaku industri kreatif berlaku sebagai narasumber dengan tujuan memberi gambaran tentang kegiatan kreatif masing-masing subsektor pada lembaga-lembaga penyalur modal. Kali ini, sebaliknya, lembaga-lembaga penyalur modal lah yang memaparkan skema permodalan yang mereka miliki kepada para pelaku industri kreatif.
Risiko dan Skema
Pada sesi skema permodalan perbankan, hadir dua narasumber yang masing-masing berasal bank konvensional dan bank syariah. Anton Siregar, Kepala Divisi Usaha Kecil BNI, mewakili bank konvensional, menawarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan pagu maksimal Rp100 juta sebagai skema pinjaman yang menurutnya cocok bagi industri kreatif.
KUR sebenarnya bukanlah sebuah skema yang disiapkan khusus bagi industri kreatif. Sebagai bagian dari program pemerintah yang telah berlangsung sejak tahun 2007, skema KUR diperuntukkan secara umum bagi Usaha Kecil, Mikro, Menengah, dan Koperasi dalam sektor usaha produktif. Penilaian kelayakan peminjam masih bertumpu pada hadirnya aset fisik berupa persediaan barang dan arus kas yang stabil, ditambah agunan tambahan berupa aset bergerak atau tidak bergerak. Maka, tidak heran jika skema ini lebih cocok untuk membiayai subsektor kriya, kuliner, desain, dan fashion.
Sigit Suryawan, Business Banking Group Head Bank Syariah Mandiri, menawarkan skema yang kurang lebih serupa dengan yang ditawarkan BNI. Dijalankan dalam kaidah ekonomi syariah, skema yang ditawarkan Bank Syariah Mandiri idealnya menyediakan modal tidak hanya berdasarkan ketersediaan aset fisik atau agunan, tapi juga atas keahlian atau kredibilitas pemilik modal. Pengembalian pinjaman sewajarnya dilakukan dengan prinsip bagi hasil yang tidak hanya mempertimbangkan keuntungan, tapi juga kerugian. Akan tetapi, masih perlu dikaji lebih lanjut apakah prinsip syariah ini memang benar diterapkan secara nyata di Indonesia.
Ketika menyentuh topik mengenai subsektor-subsektor lain, termasuk kesenian, yang menghasilkan aset tidak berwujud, belum terlihat solusi yang betul-betul siap dilaksanakan di lapangan. Anton mengemukakan bahwa hal ini disebabkan antara lain oleh belum adanya model pembiayaan yang disesuaikan dengan masing-masing subsektor dan besarnya risiko yang ditanggung perbankan dalam membiayai industri kreatif. Satu halangan lagi bagi kalangan perbankan adalah belum adanya payung hukum dari pemerintah yang menaungi pembentukan skema pinjaman khusus bagi industri kreatif.
Sigit sendiri memiliki pandangan yang cukup menarik, bahwa besarnya risiko ini bisa ditanggulangi dengan menilik kegiatan-kegiatan mana dalam proses penciptaan karya kreatif yang bisa dibiayai oleh perbankan, dan mana yang tidak. Misalnya, perbankan dapat membiayai kegiatan pra-produksi saja, alih-alih membiayai seluruh proses penciptaan. Sigit juga mengemukakan sebuah model pembiayaan di bidang pertanian dan peternakan yang bisa dicoba untuk dikembangkan pada industri kreatif. Model pembiayaan ini melibatkan pihak ketiga sebagai penjamin (avalist) atas pinjaman pelaku industri.
Alternatif Non-Perbankan
Pembahasan mengenai skema permodalan non-perbankan dimulai dengan paparan dari Jefri R. Sirait dari Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo). Meski bertajuk modal ventura, Jefri menyuguhkan data bahwa 75% dari permodalan yang disalurkan Amvesindo berbentuk pinjaman. Yang murni penyertaan modal dengan jangka waktu selama 10 tahun hanya 17%. Keputusan penyaluran modal ini masih sangat dipengaruhi oleh keputusan bisnis.
Satu alternatif skema lagi adalah investasi yang dilakukan oleh individu kaya-raya, yang disebut dengan angel investors, yang disampaikan oleh Valencia Dea dari Angel Investment Network Indonesia (Angin). Investasi ini berada di tengah-tengah, di antara tujuan profit dan tujuan sosial. Valencia mengemukakan bahwa keputusan pemberian modal oleh angel investors mempertimbangkan inklusivitas bisnis, daya saing di pasar, dan kewirausahaan sosial.
Salah satu contoh bisnis yang dibiayai oleh Angin adalah situs crowdfunding Kitabisa.com. Namun, keputusan pemberian investasi ini sepenuhnya berada di tangan individu pemodal yang menjadi mitra Angin dan setiap individu tentu memiliki minat masing-masing, apakah akan berinvestasi di usaha rintisan digital, wirausaha sosial, atau kegiatan kebudayaan.
Paparan terakhir mengenai skema permodalan non-perbankan disampaikan oleh Timotheus Lesmana dari Perhimpunan Filantropi Indonesia. Dari sekian banyak paparan yang disampaikan, skema filantropi masih menjadi skema yang paling bisa diakses oleh pelaku seni. Hal ini disebabkan oleh tujuan penyaluran filantropi yang memang murni untuk kepentingan sosial. PFI merencanakan untuk bisa memaksimalkan penyaluran modal ke bidang kreatif dari penggalangan dana zakat, infak, dan sedekah.
Hanya saja, seni bukan satu-satunya bidang yang menjadi target penyaluran dana filantropi. Bidang seni juga harus “bersaing” dengan bidang pendidikan, lingkungan, dan lainnya. Apalagi, Timotheus menyampaikan bahwa PFI akan lebih mengutamakan penerima dana yang memiliki model kegiatan yang terstruktur dan berjangka panjang demi kepentingan tercapainya dampak sosial yang lebih besar dan berkelanjutan.
Industrialisasi Seni
Permasalahan permodalan adalah masalah klasik bagi pelaku industri kreatif pada umumnya, dan pelaku seni pada khususnya. Pada sambutan pembukaannya, Fadjar Hutomo, Deputi Akses Permodalan Bekraf, mengemukakan bahwa kesulitan terbesar pelaku industri kreatif adalah mengakses permodalan, dan hal ini disebabkan oleh keterbatasan agunan (collateral) yang dimilikinya.
Fadjar kemudian menjelaskan bahwa ada dua hal yang dapat dipenuhi oleh pelaku industri kreatif untuk mengatasi keterbatasan agunan tersebut. Yang pertama adalah memanfaatkan (utilisasi) hak kekayaan intelektual (intellectual property) dari produk kreatif. Kedua, adalah membangun reputasi di dunia digital (digital credibility).
Penataan hak kekayaan intelektual memang sudah semestinya dilakukan oleh industri kreatif Indonesia, termasuk oleh pelaku seni. Masalahnya, apakah penerapan proteksi terhadap hak kekayaan intelektual ini sudah cukup memadai hingga membuatnya bisa dimanfaatkan secara komersial? Dan apakah kalangan penyalur modal juga sudah bisa memandang hak kekayaan intelektual sebagai sebuah aset yang cukup kuat untuk menopang keberlangsungan sebuah kegiatan kreatif?
Bahkan sebelum berbicara tentang model bisnis dan skema permodalan, masalah proteksi dan pengelolaan hak kekayaan intelektual ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu. Jika hal ini dapat diatasi, maka dapat dibentuk model bisnis yang sehat, sehingga risiko dapat diperkirakan, dan pada akhirnya terbentuk skema permodalan yang sesuai.
Dalam hal reputasi digital, apa yang sebenarnya mesti dilakukan pelaku seni? Jika jejak digital adalah sebatas peliputan atau ulasan secara internasional, tidak sedikit pelaku seni Indonesia yang telah melakukannya. Atau, misalnya, cukup dengan bernaung dalam sebuah asosiasi seperti Koalisi Seni. Ataukah mesti ada sebuah digital platform yang memamerkan karya kepada khalayak yang lebih luas, misalnya yang dilakukan situs Cennarium.com terhadap seni pertunjukan Amerika? Dan kembali, jika ini sudah dilakukan, apakah cukup diterima sebagai kriteria penilaian yang layak oleh kalangan penyalur modal?
Jika ditarik ke belakang, agunan sebenarnya bukan satu-satunya masalah yang masih membentengi posisi penyalur modal dan pelaku industri kreatif. Bahkan, belum tampak kesamaan pandangan dari kedua belah pihak terhadap penciptaan nilai pada sebuah karya kreatif.
Kekayaan budaya–yang kemudian diolah menjadi karya kreatif–kerap diusung sebagai kekayaan Indonesia yang tak ternilai. Istilah “tak ternilai” di sini malah menjadi pertanyaan: apakah nilainya begitu tinggi hingga sulit ditakar dengan alat tukar atau justru tidak punya nilai–dalam konteks komersial? Apakah penciptaan nilai hanya bisa dibentuk oleh ongkos bahan baku ditambah keuntungan, tanpa menyertakan penghargaan atas proses olah pikir, sejarah, dampak sosial, dan keunikannya?
Dan akhirnya, jika memang sudah terlihat hasil atas usaha dari pemerintah dan kalangan penyalur modal untuk mengakomodasi hal-hal di atas, siapkah para pelaku seni Indonesia untuk menjadikan seni sebagai industri, termasuk menghadapi konsekuensi–baik atau buruk–yang mengikutinya?