Alia Swastika
Penulis dan kurator seni, serta Anggota Koalisi Seni
Pada Februari 2021 lalu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan peraturan teknis baru berkaitan dengan program Fasilitasi Bidang Kebudayaan.
Regulasi itu menyebutkan prioritas utama penerima program adalah kelompok difabel, perempuan, dan pelaku seni di daerah 3T.
Tentu saja, keputusan ini disambut baik oleh para aktivis perjuangan kesetaraan gender dan difabilitas di ranah seni budaya. Di satu sisi, hal ini menunjukkan perubahan kebijakan yang positif atas orientasi prioritas peraih hibah atau penerima manfaat program pemerintah. Di sisi lain, menunjukkan bagaimana lembaga pemerintah merespons kritik atau lontaran yang berkait dengan kebijakan pemerintah pada isu gender—misalnya kasus yang menimpa Balai Bahasa.
Salah satu strategi penting dalam menciptakan kesetaraan kesempatan adalah pengarusutamaan. Pengarusutamaan ini seringkali berkait dengan “kuota” atau “jumlah minimal”, untuk menjadi prasyarat awal kesertaan kelompok tertentu dalam sebuah kebijakan. Pengarusutamaan terutama banyak menjadi strategi politis untuk memasuki atau menjalankan rencana-rencana jangka panjang agar dapat meraih tujuan kesetaraan lain yang lebih luas.
Jika melihat fakta-fakta tentang partisipasi seniman perempuan dalam program-program kebudayaan secara umum, memang ada peningkatan ketinampilan (visibilitas), tetapi kita melihat juga bagaimana tidak ada kebijakan yang mendukung partisipasi tersebut, sehingga hal ini sangat tergantung pada visi personal pembuat kebijakan, baik dalam lingkup institusi negara maupun inisiatif sipil. Selain kasus penghargaan sastra yang nominenya semua penulis lelaki, ada beragam contoh lain yang menunjukkan belum setaranya akses kesempatan pada laki-laki dan perempuan, di luar perkara kualitas dan kemampuan, yang sering menjadi argumen bagi absennya nama perempuan dan gender nonbiner dalam panggung-panggung seni.
Catatan yang dibuat Koalisi Seni menyebutkan bahwa dari 34 Dewan Kesenian di berbagai provinsi, hanya tiga yang dipimpin oleh perempuan. Keterlibatan perempuan di banyak panggung, festival dan ruang pamer pun masih sangat terbatas dibandingkan dengan visibilitas seniman laki-laki. Karya-karya perempuan sering kali berhenti sebagai proposal yang tidak diwujudkan atau menunggu kesempatan lain untuk diwujudkan.
Pengarusutamaan memang bukan (satu-satunya) langkah yang ideal menuju kesetaraan. Berbagai kritik telah dilontarkan berkaitan dengan penerapan gagasan kuota sebagai salah satu metode pengarusutamaan terutama yang berbau kekhawatiran bahwa jika hanya mengejar kuota, biasanya tidak tercipta kesetaraan dalam hal kualitas, dan justru ini berpotensi menjadi serangan balik bagi advokasi kesetaraan gender. Yang lebih sinis acap mengatakan jika perkara kuota menjadi bagian dari kebijakan, biasanya perempuan hanya diposisikan sebagai wajah bagi sebuah proyek seni, tetapi program dan esensinya disusun laki-laki. Pandangan demikian juga berakar dari budaya yang tidak menempatkan perempuan sebagai figur yang memiliki agensi sendiri sehingga selalu berada dalam bayang-bayang patronase figur seniman laki-laki.
Pandangan-pandangan yang sinis terhadap langkah afirmasi dan pengarusutamaan memang tidak sepenuhnya dapat dihapus. Tetapi, justru pada titik ini pula penting bagi pendukung dan kelompok yang mengadvokasi menunjukkan bahwa peningkatan jumlah partisipasi perempuan juga berarti pengakuan atas pencapaian dan kualitas pemikiran dan kekaryaan seniman perempuan. Artinya, gender dan feminisme tidak sekadar menjadi tema bagi penciptaan karya, tetapi justru menjadi perspektif yang dimunculkan dalam berbagai tema yang diolah dalam karya. Bisa jadi seniman-seniman tersebut tertarik untuk mengulik tema sejarah, kehidupan urban, ekologi, identitas budaya, dan sebagainya, tetapi dalam wilayah tersebut selalu ada perspektif gender yang menjamin tidak adanya penguatan stereotip negatif kaum perempuan, penghapusan peran perempuan dalam sejarah, ataupun bahasa ungkap yang mengeksploitasi pengalaman tubuh perempuan. Kemampuan untuk mengartikulasikan perspektif dan narasi gender dengan bahasa karya yang imajinatif sehingga bisa menjadi karya kuat inilah yang perlu terus didorong melalui serangkaian diskusi, lokakarya, atau wahana lain untuk mendistribusikan pengetahuan.
Dengan ditegaskannya seniman atau pelaku seni perempuan sebagai kelompok prioritas dalam program FBK, terbuka peluang untuk memasukkan narasi perempuan dalam berbagai sisi karya kebudayaan kita. Artinya, negara telah melihat nilai penting untuk mengumpulkan kembali narasi yang (di)tersembunyi(kan) ini menjadi arus utama dalam diskursus kebudayaan dan mengakui peran penting perempuan sebagai pihak yang merawat pemikiran, kepercayaan, tradisi dan adat dalam kehidupan masyarakat. Nyatanya, ada banyak sekali data di mana kita menemukan pentingnya peran ini dalam kehidupan masyarakat: perempuan yang menjaga pangan dan keseimbangan dengan semesta, perempuan yang menenun untuk merekam legenda, mitos dan dongeng yang merupakan bagian dari pengetahuan bersama, atau perempuan yang menari dan menyanyi sebagai sebuah persembahan pada kekuatan di luar diri manusia.
Dalam petunjuk teknis program ini disebutkan pula bahwa peserta perorangan hanya dapat melamar jika berasal dan berdomisili di daerah terdepan, terluar, tertinggal (3T). Hal ini menunjukkan semangat untuk memeratakan akses kesempatan yang selama ini didominasi oleh seniman-seniman dari daerah tertentu saja. Berkaitan dengan pengarusutamaan gender, hal ini berarti bahwa di luar daerah 3T, para seniman perempuan didorong untuk bekerja secara kolaboratif dan lintas bidang, sehingga produksi pengetahuan menjadi sebuah proses kolektif yang melibatkan banyak pemikiran berbeda. Pengetahuan dan penciptaan perempuan tidak lagi menjadi proses yang terpusat baik secara geopolitik maupun imajinasi individual, melainkan sebuah cara untuk membuka ruang percakapan yang luas bagi berbagai konteks budaya.
Ilustrasi: Proxima Studio via Canva