Hingga pertengahan 2000-an, media massa seperti majalah, tabloid, dan koran masih menjadi referensi utama para penggemar musik untuk mendapatkan informasi terbaru. Namun kini, saat semua orang punya ponsel pintar di genggaman yang memungkinkan siapa pun menjadi jurnalis musik dan pencipta konten, masih perlukah praktik jurnalisme dan media musik konvensional?
Pertanyaan itu dibahas dalam Temu Tamu Anggota Musik Koalisi Seni, forum internal anggota Koalisi Seni, pada Selasa, 1 Desember 2020. Temu Tamu kali ini berlangsung sekitar 90 menit, dengan pembicara Karlina Octaviany dan Nuran Wibisono.
Karlina Octaviany, digital antropolog sekaligus mantan jurnalis musik, membuka forum dengan membahas kaitan jurnalisme dan industri K-Pop di Korea Selatan melalui strategi boy band Beyond the Scene alias (BTS).
Perempuan yang akrab disapa Alin ini memaparkan peran besar Army – sebutan bagi penggemar BTS – di balik melejitnya kiprah BTS di kancah musik dunia. Army dari latar belakang keahlian berperan dari hulu hingga ke hilir ekosistem musik BTS.
“Mereka membuat riset dan paper akademik tentang pencapaian BTS, juga memberikan tips mengatur playlist di media sosial. Mereka benar-benar mempelajari ini dengan serius,” katanya.
Dampaknya, penjualan album BTS terus meroket, dari 3,7 juta keping pada 2019 ke 4,1 juta keping sepanjang 2020. Sementara untuk live streaming di platform digital, lagu Life Goes On meraih 7,3 juta penonton yang antara lain disumbang 333.618 warganet Indonesia, jumlah yang lebih besar ketimbang Filipina (323.314), India (283.987), dan Malaysia (90.995).
Meski tampak bersinar di depan, menurut Alin, di belakang panggung BTS tak lepas dari isu diskriminasi seperti rasisme dan hegemoni kulit putih di Amerika Serikat. Bahkan, di negara asalnya pun, BTS, Kpop, dan kesenian tak mendapat tempat ideal di media massa arus utama. Alin sepakat dengan pendapat kritikus musik Korea Selatan, Kim Young Dae, sehebat apa pun kiprah BTS sebagai musisi, seperti juga pegiat seni budaya lainnya, tak membuat redaksi tertarik menjadikannya isu utama media massa.
“Karenanya, BTS menggandeng Army untuk melawan hegemoni media arus utama itu dengan menciptakan ekosistem sendiri. Karena, isu seni budaya selalu dianggap tak penting dan berbiaya besar,” ujar Alin.
Porsi seni dan budaya yang minim dalam narasi media massa arus utama di Korea Selatan juga terjadi di Indonesia. Menurut Nuran Wibisono, Redaktur Tirto.id, ini dikarenakan industri media begitu rapuh, pemasukan bergantung pada persaingan kue iklan dan umpan klik. “Dalam pandemi ini, banyak kawan dipecat. Fokus utama (media) selalu berita politik yang menjual. Kalau mau liputan musik, editor akan bertanya, bisa dapat berapa viewers nih?” ucap penulis buku Nice Boys Don’t Write Rock and Roll ini.
Nuran menambahkan, ada pengaruh senjakala media cetak yang membuat redaksi mengurangi halaman rubrik musik atau seni. Berdasarkan pemaparan Bambang Bujono, jurnalis senior Majalah Tempo dalam peluncuran buku Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1994) pada awal 2020, redaksi Majalah Tempo dan media massa umumnya perlu minimal 10% dari jumlah pembaca untuk mempertahankan satu rubrik. Sayangnya, kata dia, rubrik seni lazimnya hanya mampu menarik perhatian pembaca sebanyak 3%. Data ini diperolehnya dari survei internal Majalah Tempo.
“Selain bisnis media yang memang bermasalah sejak awal, energi para jurnalis yang setiap hari dituntut menulis 8-12 berita dengan upah yang minim sudah terkuras. Tak punya waktu membaca buku, apalagi berefleksi untuk mengulik lagu yang disukai,” kata Nuran.
Diskusi ini disambut antusias oleh belasan anggota dan regu Sekretariat Koalisi Seni. Ratri Ninditya, Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya, bertanya tentang masa depan jurnalisme musik: apakah solusinya adalah media berbasis penggemar?
Melihat logika industri media massa arus utama itu, Nuran menyarankan pegiat musik yang ingin tetap menyalurkan kesenangannya menulis musik membuat media alternatif sendiri. “Bisa membuat homeless media, media berbasis penggemar, donasi, dan iuran yang memanfaatkan orang yang mau membiayai. Agar lebih murah, pakai platform ketiga, yaitu media sosial, dan urun tulisan dari teman-teman yang berminat menulis musik. Jangan berpikir soal uang. Istilahnya, media bersenang-senang lah,” ucapnya.
Senada dengan Nuran, Alin melihat jurnalisme musik sulit bertahan di ruang media arus utama dengan ekonomi politik redaksi yang ketat. Karenanya, ia mengusulkan strategi BTS dan Army-nya yang sukses menciptakan ekosistem sendiri, sebagai alternatif masa depan jurnalisme musik. Ia mengharapkan adanya filantropis seni budaya dan kanal donasi yang dapat menjaga jurnalisme musik tetap hidup sebagai bagian ekosistem kesenian.
“Bisa saja para filantropis itu mendonasikan bunga dari tabungannya untuk bikin media musik. Dengan hal itu, sebenarnya mereka nggak benar-benar berdonasi kan? Bahkan dari bunganya saja sudah bisa membantu media musik kita,” kata Alin menutup percakapan. (Dian Putri)