Keheningan di Sanggar Seni Yayasan Batara Gowa, Makassar petang itu pecah oleh bunyi instrumen gendang, pui-pui, dan kecapi. Musik yang rancak itu terdengar makin keras. Basri Baharuddin Sila, Maestro Musik asal Sulawesi Selatan, Sila tampak menggebu-gebu memukul gendang diiringi instrumenyang lain. Sementara itu, tiga darah manis dengan lemah gemulai memainkan Tari Ma’lino karya Maestro Tari Andi Ummu Tunru yang tak lain adalah istri Basri.
Begitulah suasana rutin saat petang menjelang di Sanggar Seni Yayasan Batara Gowa yang diasuh oleh Basri. Di tempat itu para muridnya baik dari dalam negeri dan luar negeri datang berguru kesenian tradisional Sulawesi Selatan seperti tari, musik, teater, dan permainan rakyat. Bahkan taman baca untuk anak-anak juga tersedia disini. “Sudah ratusan murid saya.” Katanya.
Basri menuturkan bahwa sejak kecil dirinya telah terbiasa mendengar musik. Di Makassar banyak sekali ritual dan itu selalu berkenaan dengan musik. “Musik itulah yang telah merasuki saya sejak kecil dan saya merasakan itulah dunia saya.” Tutur Daeng Bas begitu ia selalu disapa.
Ia mulai berguru pada seorang maestro gendang asal Gowa, yaitu Anrong Guru Rapo. Lalu ia merantau ke Yogyakarta mengikuti pendidikan kesenian di Padepokan Seni Bagong Kusudihardjo pada tahun 1983 – 1985. Ia juga rela menuntut ilmu sampai keluar negeri. Tahun 1967 misalnya, ia mengkuti program Indonesia Art and Cultural Exchange di Jepang, Malaysia, dan Singapura.
Dan, ia tak pernah berhenti belajar dan terus menjalin kolaborasi dengan banyak musisi. Bahkan tahun 2015, Daeng Bas sempat berkolaborasi dengan group musik rock terkemuka Indonesia Slank, dalam pertunjukan tari dan musik Slank “Reog ‘n Roll”
Ia juga tidak hanya bertemu dengan orang seni, tahun 2006 ia mengkuti World Meditation Gathering di Surakarta, Jawa Tengah. Tahun 2007 ia mewakili Indonesia pada International Himalaya Meditation Centre di Risikesh, India. Di sini ia mendapat penghargaan dari Swami Veda Barathi, pemimpin spritual Yoga dan Meditasi Himalaya International. “Seni itu jembatan kemanusiaan.” Katanya tentang sifat seni yang selalu menyatukan.
Buah manis di dunia kesenian yang kini dipanennya tidak datang dengan mulus. Ia melakukan perubahan yang luar biasa terhadap musik tradisional yang digelutinya. “Biasanya musik tradisional dipakai untuk mengiringi lagu seperti Anging Mammiri sampai sekitar tahun 1980-an. Saya rombak musik tradisional itu dengan sistem perkusi dengan melodi sederhana yang saya buat.” Ceritanya.
Perubahan itu tak serta merta diterima. Banyak yang tak mengerti dan menolak musik yang diciptakan oleh Daeng Bas. Akan tetapi ia jalan terus dengan musik pilihannya. “Sekarang semua biasa menerima musik saya.” Katanya lega. Bila para pelaut asal Sulawesi Selatan yang ulung itu bisa keliling dunia karena kemahiran berlayar, Daeng Bas dengan kemahiran bermusik justru bisa berlayar keliling lima benua: Afrika, Eropa, Amerika, Asia, dan Australia. Tahun 2005 misalnya , Daeng Bas tampil pada South Sulawesi Performance Night pada Easter Festival di Cape Town, Afrika Selatan.
Namanya melambung ketika diminta menjadi asisten komposer dan musisi pada pementasan “ I La Galigo: yang disutradarai oleh Robet Wilson di beberapa kota dunia pada 2004 sampai 2008 yaitu di Singapura, Madrid dan Barcelona (Spanyol), Lyon (Perancis), Ravenna (Italia), Amsterdam (Belanda), New York (Amerika Serikat), Melbourne (Australia), dan Taipei (Taiwan). Tahun 2011 ia kembali dipercayakan menjadi asisten komposer dan musisi pada pementasan “I La Galigo” di Fort Rotterdam, Makassar.
Dari musik, tari, dan teater, Daeng Bas menjelajahi dunia perfilman dengan menjadi pengarah musik (Music Director) untuk film Atambua 39derajat Celsius yang disutradarai oleh Riri Riza. Ia juga menggaram musik untuk film dokumenter Rasa karya sutradara dari Perancis, Brune Charvin
Tak heran bila seniman ini telah mendapat berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Penghargaan terbaru yang diterimanya adalah Anugerah Kebudayaan 2017 kategori Pelopor, Pencipta, dan Pembaharu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Penghargaan ini sungguh membuat saya tambah percaya diri. Juga memberi motivasi bagi saya untuk terus mengembangkan dan melestarikan musik asal Sulawesi Selatan” kata putera dari Baharuddin Daeng Paewa yang merupakan tokoh ppejuang kemerdekaan Indonesia. Ketika mengucapkan itu, matanya berkaca-kaca.
Musik telah memberikan banyak penghargaan bagi saya. Makna musik bagi saya sendiri, ya, untuk menghibur diri. Musik itu jembatan kemanusiaan. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa musik. Hidup tanpa musik itu hamba” kata musisi yang berjuang menyejajarkan musik tradisional di Nusantara dengan musik-musik dari belahan dunia lain.
Dikutip dari Buku Profil Penerima ANUGERAH KEBUDAYAAN DAN PENGHARGAAN MAESTRO SENI TRADISI 2017 terbitan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.