Jakarta – Rancangan Undang-undang (RUU) Permusikan adalah salah satu prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2019. Para pelaku musik, yang kinerjanya akan sangat terpengaruh jika RUU tersebut diundangkan, menemui Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk mengawal pembuatan regulasi ini.
“Kami ingin RUU Permusikan dapat melindungi, memberi manfaat, serta tidak menimbulkan dampak buruk bagi pelaku musik di Indonesia,” ujar musisi Glenn Fredly, Senin, 28 Januari 2019.
Dalam pertemuan dengan Bambang Soesatyo, penggagas Konferensi Musik Indonesia (KAMI) tersebut menyampaikan hasil kajian RUU Permusikan yang dilakukan bersama Koalisi Seni Indonesia. “Secara umum, naskah RUU Permusikan belum menyasar tata kelola industri musik secara komprehensif. Ada juga beberapa pasal yang berisiko menghambat kebebasan berekspresi pelaku musik,” kata Glenn.
KAMI dan Koalisi Seni Indonesia menilai seharusnya RUU Permusikan fokus pada tata kelola industri musik. Caranya, dengan memberikan aturan main tegas kepada setiap pemangku kepentingan di dalam ekosistem musik. Aturan tegas ini bisa dilihat dari UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Meski tak sempurna, regulasi itu berhasil mengatur tata kelola industri film dengan secara tegas memisahkan ekosistem kegiatan perfilman nonkomersial dengan industri perfilman, serta peran setiap pemangku kepentingan di dalamnya. Ini belum terlihat dalam RUU Permusikan. Naskah RUU Permusikan justru banyak mengulang hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain seperti UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, serta UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Sejumlah aturan dalam naskah RUU Permusikan pun berpotensi membelenggu musisi dalam berkarya jika disalahgunakan oleh pihak yang sedang berkuasa atau berkepentingan membungkam pelaku musik. Pasal 5 RUU Permusikan adalah salah satu aturan yang rentan disalahgunakan. Pasal itu melarang musisi mendorong kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, pornografi, kekerasan seksual, eksploitasi anak, serta memprovokasi pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan antargolongan. Pasal ini juga melarang musisi menistakan atau menodai nilai agama, mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, membawa pengaruh negatif budaya asing, serta merendahkan harkat dan martabat manusia. Pasal 50 lantas menyatakan pelanggar pasal 5 diancam hukuman pidana penjara.
Ketentuan tersebut dapat membuat musisi melakukan swasensor karena takut terhadap ancaman pidana. “Keadaan seperti itu berakibat menumpulnya daya imajinatif musisi. Padahal, tanpa imajinasi yang bebas tidak akan ada musik yang menggugah jiwa,” tutur peneliti Koalisi Seni Indonesia, Hafez Gumay.
Adapun vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, mempertanyakan kegunaan sertifikasi pelaku musik yang tercantum dalam RUU Permusikan. Ia memandang sertifikasi berpotensi membuat kelas elite dalam industri musik, sehingga bertentangan dengan cita-cita membuat musik bersifat inklusif dan dinikmati banyak orang.
“Pembentukan elite dalam kalangan musik ini bertolak belakang dengan keinginan musik menjadi nafas orang banyak. Seolah ada hierarki dalam musik, ada yang jadi pemusik, ada yang jadi pendengar. Padahal kalau musik menjadi nafas orang banyak, pemusik bisa jadi pendengar, dan pendengar bisa jadi pemusik,” tuturnya.