–
Sepintas, gambar itu terlihat aneh. Seorang yang tak jelas jenis kelaminnya memakai kostum warna merah marun dengan penutup kepala berwarna kunyit. Hanya matanya saja yang nampak. Rantai membebat leher, sedangkan tangan kirinya membawa pedang yang ditusukkan ke telinganya.
“Berkostum moral, menunggu pendekar ahli benci,” begitu tulisan yang menjelaskan karikatur yang dibuat oleh seniman Yogyakarta, Eko Nugroho.
Karya Eko itu merupakan kritik sosial terhadap perilaku masyarakat akhir-akhir ini.
Dikutip dari Brilio.id, laki-laki lulusan Institut Seni Indonesia ini memang terkenal di Indonesia dan mancanegara. Karyanya yang cenderung satir telah banyak dipamerkan ke beberapa negara seperti Belanda, Australia, hingga Amerika Serikat. Tak heran, Eko masuk dalam Power 100 A Ranked List of The Contemporary Artworld’s Most Powerful Figures versi ArtReview dan Icon of The Year 2013 in Art and Culture yang diberikan oleh Majalah Gatra, Indonesia.
Yogyakarta memang dikenal pencetak banyak seniman dan budayawan terbaik di Indonesia. Tak hanya Eko Nugroho saja, sebut saja seniman dan budayawan seperti Butet Kertaradjasa, Martinus Miroto, Diwa Hutomo, dan masih banyak yang tumbuh dari kota seni ini. Hal dikarenakan Yogya sudah mempunyai ekosistem seni.
“Ketika ingin mengembangkan seni kita juga harus mengembangkan ekosistem seninya,” kata Aquino Hayunta, Manajer Program Koalisi Seni Indonesia ketika ditemui awal Juni 2018 lalu.
Aquino mencontohkan ekosistem seni di budaya membatik. Membicarakan batik, di dalamnya ada ekosistem yang meliputi teknik, alat, seniman pembatik, teknologi, pasokan bahan, hingga pendistribusian. Jadi, kalau pemerintah ingin melestarikan seni dan budaya, kata Aquino, ekosistem juga dipertahankan.
Saat ini, Aquino melihat hanya ada tiga kota yang sudah mempunyai ekosistem yang kuat yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Di Yogya misalnya, ekosistem tak hanya berisi seniman, tetapi juga ada kurator, museum atau galeri, kolektor. Bahkan, ekosistem ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah.
Sayangnya, ekosistem seni sulit ditemui di daerah lain, terutama di Indonesia timur. Alhasil, budaya lokal kurang berkembang. Padahal, lewat seni dan kebudayaan, kesenjangan ekonomi bisa diatasi. Contohnya, Korea Selatan mampu menghasilkan keuntungan dari budaya pop-nya. Namun jelas, pembangunan ekosistem seni membutuhkan waktu yang panjang lewat pembangunan kebudayaan.
“Di negara-negara yang budaya popnya bisa menghasilkan uang, ada sektor seni yang memang tidak bisa jadi profit kayak seni eksperimental, seni tradisional,” ujar Aquino.
Pembangunan ekosistem seni di daerah-daerah merupakan salah satu inovasi mengatasi kesenjangan di Indonesia. Inilah salah satu solusi yang dicari lewat Indonesia Development Forum 2018. Forum ini akan mengangkat tema ‘Pathways to Tackle Regional Disparities Across The Archipelago’. IDF 2018 digagas oleh Bappenas dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative. Tujuannya, menjaga kesinambungan pembangunan berbasiskan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan fakta untuk mendukung percepatan pembangunan di Indonesia yang lebih merata dan berkelanjutan.
Pembangunan kebudayaan sendiri, diartikan oleh Aquino, sebagai pembangunan yang bukan berdasarkan indikator-indikator ekonomi, melainkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusianya sebagai subjek pembangunan.
Peneliti Koalisi Seni Indonesia Annayu Maharani mengatakan sejatinya seni budaya dapat memelihara ekspresi masyarakat. Orang yang seni dan budayanya terpelihara biasanya lebih mempunyai pandangan terbuka terhadap hal baru dan mau berdiskusi saat terjadi perbedaan. Dengan seni dan budaya pula, kata Annayu, rekonsiliasi konflik seperti kubu Islam dan Kristen di Ambon bisa bersatu.
“Jadi, kami pikir seharusnya ada indikator kebudayaan menjadi salah satu tolok ukur pembangunan nasional, selain indikator ekonomi,” ujar Annayu.
Kembangkan Bukan Lindungi
Peneliti Koalisi Seni Indonesia Annayu Maharani mengatakan ada paradigma pemangku kebijakan yang mesti diubah saat membicarakan seni dan budaya. Selama ini, seni dan budaya selalu dipandang sebagai bagian yang mesti dilindungi. Alhasil, kebijakan terkait kebudayaan lebih cenderung preservasi dan konservasi.
“Padahal pelestarian tak cukup menjawab tantangan globalisasi,” kata Annayu.
Dia mengatakan seni dan budaya yang ada di Indonesia sebaiknya dikembangkan agar tak kalah bersaing dengan negara lain. Nyatanya, seni dan kebudayaan di Indonesia sudah diakui di mancanegara. Annayu menyontohkan seni rupa kontemporer Indonesia menempati urutan kedua terbesar di Asia. Sejumlah seniman sering kali hilir mudik ke negara-negara lain untuk menggelar pertunjukan bahkan ada yang karyanya laris manis dikoleksi penikmat seni internasional.
Masalah pengembangan seni dan budaya di Indonesia, menurut Annayu, lebih pada sistem pendukung (support system) dan infrastruktur pendukung. Hal ini bisa tercukupi bila ekosistem seni bisa berkembang dengan baik.
Manajer Program Koalisi Seni Indonesia, Aquino Hayunta mengatakan pengembangan seni dan budaya di Indonesia juga membutuhkan dukungan langsung dari pemerintah. Dia mencontohkan kebijakan pemerintah Amerika Serikat terkait film.
“Waktu Jerman kalah perang, Amerika bernegosiasi agar film-film Amerika tayang di bioskop-bioskop Jerman,” ujarnya.
Perlu dukungan pemerintah terkait promosi dan upaya regenerasi pegiat-pegiat seni di daerah-daerah. Aquino mengkritik pelaksanaan festival-festival di daerah yang jarang memikirkan keberlanjutan ekosistem dan regenerasi seniman baru.
“Festival itu bagus, tapi sebaiknya menjadi puncak setelah rangkaian usaha, riset, pertukaran informasi, ada seniman, ada pendidikan. Baru karya-karyanya ditampilkan di festival. Tanpa itu, festival hanya sekadar mengumpulkan seniman yang sudah terkenal dan mindahin tempat berkarya saja,” kata Aquino.